Garcia melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah, sementara Ruby mengganti seragam tahanan yang digunakannya dengan pakaian yang ada di dalam paper bag pemberian Garcia. Itu adalah pakaian khusus untuk ibu hamil dengan bahan yang sangat nyaman.
"Terima kasih," gumam Ruby, entah untuk pakaian yang dikenakannya saat ini, atau untuk kedatangan Garcia untuk menjemputnya.
"Tidak perlu berterima kasih. Saya justru mau meminta maaf karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengurus semuanya," sahut Garcia. "Yah, situasinya agak rumit dibandingkan dengan perkiraan saya."
Ruby hendak mengatakan sesuatu, tetapi urung dia lakukan. Dalam hati, ia jadi merasa bersalah karena sebelumnya sudah berprasangka buruk terhadap Garcia.
"Sejujurnya ... saya pikir, Anda tidak benar-benar serius saat mengatakan akan menjemput saya," ujar Ruby kemudian dengan nada lirih, setengah bergumam. Ia menundukkan wajahnya saat mengatakan itu.
Terdengar Garcia terkekeh mendengar pengakuan Ruby.
"Tidak apa-apa. Wajar saja kalau kamu berpikir seperti itu. Selama mempersiapkan semuanya, saya sengaja tidak mengunjunginmu lagi ataupun mengirim pesan untukmu melalui sipir. Itu pasti membuatmu merasa kalau saya hanya mengucapkan kata-kata bohong saja." Garcia menyahut. "Sebenarnya, saya melakukan itu untuk menghindari kecurigaan. Kamu tahu sendiri kan kalau mantan suami dan mantan mertuamu itu bukan orang sembarangan. Kita harus berhati-hati dan tak boleh sampai menarik perhatian mereka untuk sementara ini."
"Ya, Anda benar." Ruby mengangguk paham. Kini dia tahu jika Garcia adalah orang yang cermat dan penuh pertimbangan. "Tapi ngomong-ngomong, apakah sekarang sudah tidak masalah membawa saya keluar dari penjara seperti ini? Tidak akan berimbas buruk pada Anda, kan?"
"Tidak perlu khawatir. Saya sudah mengatur agar semuanya tidak menjadi masalah," sahut Garcia.
Ruby mengangguk dan berusaha tersenyum. Meski sebenarnya dia masih merasa khawatir, tetapi kali ini ia mencoba untuk benar-benar percaya dengan ucapan Garcia tanpa keraguan seperti sebelumnya.
Garcia membawa Ruby ke sebuah rumah yang terletak di pinggiran kota. Rumah tersebut hanya memiliki satu lantai dan terlihat sangat sederhana, tetapi sangat rapi dan juga bersih. Saat Ruby memasukinya, kesan nyaman langsung terasa. Tempat tinggal yang sangat cocok untuk seseorang yang ingin sejenak menenangkan diri seperti dirinya.
"Untuk sementara, kamu tinggal di sini terlebih dahulu. Setidaknya sampai kamu melahirkan," ujar Garcia memberi tahu. "Bulan ini sudah masuk bulan ke sembilan, kan?" Garcia menyentuh perut Ruby yang membesar, tetapi hanya sekilas karena tak ingin Ruby merasa tak nyaman.
"Ya, bulan ini sudah masuk bulan ke sembilan, sudah hampir waktunya bagi saya untuk melahirkan dia." Ruby menyahut sembari memandangi perutnya.
Ruby masih tak percaya jika sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang ibu di tengah kondisi dan situasi yang rumit ini. Dulu, dia pernah berkhayal jika dirinya dan Arslan akan membangun keluarga kecil yang bahagia dengan anak-anak lucu yang melengkapi kebahagiaan itu. Sekarang dia tak tahu harus merasa bagaimana. Terkadang dirinya takut, saat anaknya terlahir nanti, apakah dia bisa menjadi ibu yang baik? Apakah bisa dia membesarkan darah daging Arslan tanpa kebencian?
"Saya akan menempatkan dua orang pelayan yang akan menjaga kamu dan menyiapkan kebutuhanmu setiap harinya. Saya juga akan mengirim dokter kandungan untuk memeriksa kandunganmu." Ucapan Garcia membuyarkan lamunan Ruby. "Barang-barang keperluanmu juga sudah saya siapkan di dalam kamar. Jangan sungkan mengatakannya pada saya jika kamu membutuhkan sesuatu."
"Ah, iya–" Ruby sedikit tergagap. "Terima kasih banyak, Nyonya. Semua ini sudah lebih dari cukup."
Garcia menatap Ruby sejenak, lalu tersenyum tipis seolah hendak menenangkan. Wanita paruh baya itu seakan tahu kegundahan hati Ruby saat ini.
"Untuk sementara ini, jangan terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak. Fokus saja pada persiapan persalinan. Pastikan untuk menjaga tubuhmu agar selalu bugar, supaya bisa melahirkan dengan normal. Itu lebih baik karena masa pemulihannya akan jauh lebih cepat," ujar Garcia sembari mengusap pelan pundak Ruby.
"Ya." Ruby mengangguk, "Sekali lagi, terima kasih, Nyonya."
"Tidak perlu memanggil saya Nyonya, Ruby. Saya adalah sahabat ibumu. Jika kamu mau, kamu bisa menganggap saya sebagai pengganti ibumu," sahut Garcia.
Ruby menunduk, hatinya kini dipenuhi dengan perasaan haru yang entah bagaimana membuatnya ingin sekali menangis, tetapi sekuat tenaga berusaha ia tahan. Dia tak boleh cengeng, karena apa yang akan dihadapi ke depannya adalah sesuatu yang jauh lebih besar.
"Anda juga tidak perlu berbicara terlalu formal pada saya," ujar Ruby kemudian.
"Baiklah, jika itu yang kamu mau, Ruby." Garcia tersenyum.
Setelah mengantar Ruby masuk ke dalam kamarnya dan memperkenalkan dua pelayan yang ke depannya akan melayani Ruby, Garcia pun pamit undur diri. Namun, sebelum itu, dia menunjukkan paper bag yang kini telah berisi baju tahan milik Ruby.
"Aku rasa kamu mau membakar ini dengan kedua tanganmu sendiri," ujar Garcia sembari memberikan paper bag tersebut.
Ruby menerimanya. "Tidak, saya tidak akan membakarnya sebelum melihat kehancuran seseorang yang menyebabkan saya memakai pakaian ini," sahutnya dengan tatapan mata yang berubah menjadi tajam.
"Baiklah, seperti itu juga bagus," sahut Garcia sebelum benar-benar meninggalkan Ruby.
Sepeninggal Garcia, Ruby duduk di pinggiran tempat tidur sembari menatap ke arah sekeliling kamarnya. Benar-benar kamar yang nyaman dan juga menenangkan. Ruby masih tak percaya jika dirinya akan kembali menghirup udara bebas secepat ini.
"Nona Ruby, permisi." Salah seorang pelayan yang ditugaskan menjaga Ruby datang. Namanya Mia, terlihat jauh lebih muda ketimbang Ruby.
"Nona ingin makan apa untuk menu makan malam nanti?" tanya Mia dengan sopan.
"Apa saja," sahut Ruby. "Saya tidak memiliki alergi dan tidak memiliki masalah soal makan, jadi bisa makan apa saja asalkan tidak terlalu pedas dan asin."
"Baiklah." Mia berlalu dari hadapan Ruby.
Ruby kembali tertegun, masih tak percaya situasi dirinya bisa berubah secepat ini. Tadi saat makan siang, dirinya masih menikmati makanan di dalam sel isolasi. Lalu sekarang ia sudah berada di sebuah kamar yang nyaman. Bukankah hidup memang banyak dipenuhi misteri dan kejutan?
Mungkin karena merasa agak lelah setelah perjalanan, Ruby terrtidur tanpa disadarinya. Saat terjaga, dia melihat pelayan lain yang usianya lebih tua dari Mia membereskan lemari yang ada di kamar itu. Nama pelayan itu Daiya.
"Oh, Nona sudah bangun rupanya. Maaf, saya masuk tanpa permisi. Saya sedang menyusun pakaian yang akan Nona gunakan sehari-hari. Tadi Nona tidur nyenyak sekali, jadi saya tidak tega membangunkan Nona," ujar pelayan itu sopan.
"Iya, tidak apa-apa," sahut Ruby dengan suara yang terdengar agak serak, khas orang yang baru bagun tidur.
"Apakah Nona mau mandi. Saya akan menyiapkan air hangat untuk Nona berendam. Tunggu sebentar ya, Nona." Daiya berlalu dari hadapan Ruby sebelum Ruby sempat menjawab.
Ruby tertegun sejenak. Sudah sangat lama dia tak diperlakukan dengan baik begini oleh seseorang, sehingga kini perasaannya kembali dipenuhi rasa haru. Semoga saja ini awal yang baik untuk kehidupannya ke depan nanti.