Tiga bulan berlalu. Baby Arthur tumbuh menjadi bayi tampan yang sehat dan menggemaskan. Dia juga sangat aktif dan sudah pandai tengkurap. Tubuhnya semakin montok dan pipinya putih bulat seperti bakpau. Siapapun yang melihatnya pasti tak tahan hendak mencium bayi tersebut.
"Apa kabarmu hari ini, Ruby?" Garcia yang baru saja sampai mengunjungi Ruby langsung menyapa.
"Seperti yang Nyonya lihat, saya dan Arthur sehat," sahut Ruby sambil tersenyum.
Garcia langsung mengambil alih Arthur dari gendongan Ruby dan menimang bayi lucu itu sambil mengajaknya bicara. Terlihat seperti seorang nenek yang sedang menimang cucunya.
"Oma tidak datang menemuimu baru dua minggu ini, tetapi kenapa kamu sudah terlihat sudah besar. Mamamu memberikanmu makan apa? Katakan pada Oma?" Garcia bertanya pada Arthur dengan gaya khas berbicara pada bayi. Arthur menanggapi dengan menggumam tak jelas sambil sesekali tertawa.
Garcia memang selalu memperlakukan Arthur seperti cucunya sendiri. Setiap kali dia datang, selalu ada saja barang yang dia bawa sebagai hadiah.
"Aku tidak memberinya apapun, hanya Asi saja." Ruby yang menagggapi.
"Kenapa kamu menyela?" Garcia menoleh sejenak. "Pembicaraan ini hanya di antara aku dan cucuku," lanjutnya sembari kembali tersenyum lebar ke arah Arthur yang masih bergumam ceria.
Ruby tersenyum kecut. Lucu sekali rasanya setiap kali ada perasaan tersisih yang hadir di hatinya setiap kali Garcia mengabaikannya karena Arthur.
"Oh, iya, Ruby. Ada yang ingin aku bicarakan serius denganmu," ujar Garcia kemudian setelah puas menimang Arthur dalam gendongannya.
"Bicara serius?" Raut wajah Ruby juga berubah menjadi lebih serius. "Tentang apa, Nyonya?"
Garcia tak langsung menjawab. Dia menyerahkan Arthur terlebih dahulu kepada Ruby, lalu meminta Ruby menidurkan anaknya itu terlebih dahulu.
"Kalau Arthur sudah tertidur, datanglah ke ruang kerjaku," pinta Garcia sembari bangkit dari duduknya.
Ruby mengangguk tanpa kata, lalu menatap Garcia yang berlalu dari hadapannya. Di rumah tersebut, Garcia memang memiliki sebuah ruangan khusus yang digunakannya untuk bekerja selama ada di sana. Ruby sendiri sampai saat ini tak begitu tahu apa sebenarnya pekerjaan wanita paruh baya itu.
Sepeninggal Garcia, Ruby langsung membawa Arthur ke kamarnya. Dia memberikan asi pada putranya itu sembari menidurkannya, hingga Arthur pun akhirnya terlelap. Ruby terlebih dahulu meminta Mia menjaga Arthur, sebelum akhirnya pergi ke ruang kerja Garcia.
"Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Nyonya?" Ruby bertanya. Selama beberapa bulan mengenal Garcia, dia semakin menyadari jika wanita paruh baya itu pasti bukanlah orang sembarangan, meski Ruby sendiri juga belum mengetahui latar belakang Garcia yang sesungguhnya.
"Duduklah dulu, Ruby," titah Garcia. Ada kalanya wanita itu terlihat begitu berkharisma dan tak bisa dibantah di mata Ruby, sama seperti saat ini.
"Pembicaraan kita kali ini mungkin akan memakan waktu yang cukup lama." Garcia menambahkan.
Ruby pun duduk dengan patuh, sedikit penasaran dengan apa yang akan Garcia bicarakan padanya.
"Sebelum itu, ada yang ingin aku tanyakan padamu, Ruby." Garcia merapikan semua dokumen yang tampaknya baru selesai dia periksa. "Apakah kamu masih memiliki keinginan untuk membalas dendam pada mantan suami yang telah membuangmu ke penjara?"
Sontak Ruby mendongak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Garcia. Tak seperti biasanya yang selalu bertutur kata dengan lembut, kali ini Garcia mengucapkan kalimat pertanyaannya dengan tajam dan lugas.
"Itu ...." Ruby tampak ragu dan canggung. Bukan karena keinginan balas dendamnya yang menyurut, tetapi dia merasa telah begitu banyak merepotkan Garcia, sehingga tak ingin membuat repot lebih jauh lagi.
"Katakan dengan jujur, Ruby, apakah kamu mau membiarkan mantan suamimu itu hidup tentram dan bahagia dengan istri barunya, setelah apa yang dia lakukan padamu?" Garcia kembali bertanya dengan nada yang terdengar agak memprovokasi. "Jika itu yang kamu inginkan, aku memastikan kalau kehidupanmu bersama anakmu akan terjamin. Tetapi, perlu kamu ingat, tujuan utamaku mengeluarkanmu dari penjara adalah untuk membuka jalan agar kamu mendapatkan keadilan. Meskipun begitu, aku tidak akan melarang jika kamu menginginkan hal yang berbeda. Itu hak dan pilihan hidupmu."
Ruby terdiam dan berpikir sejenak, lalu menatap ke arah Garcia yang saat ini juga sedang menatap ke arahnya. Dia merasa sungkan karena takut terlalu banyak merepotkan wanita itu, tetapi jika memang Garcia telah menyiapkan segalanya untuk mendukung Ruby mendapatkan keadilan, tentu saja hal itu takn boleh disia-siakan.
"Apakah jika saya ingin membalas dendam pada Arslan dan ibunya, itu tidak akan terlalu merepotkan Anda?" tanya Ruby kemudian. "Saat ini, saya tidak memiliki kekuatan sedikitpun. Anda tahu sendiri--"
"Kamu tidak perlu memikirkann hal itu, yang terpenting adalah keinginan hatimu, apakah masih mau menuntut keadilan atau kamu sudah cukup puas dengan keadaanmu yang sekarang." Garcia memotong sebelum Ruby menyelesaikan kalimatnya. Dia tak ingin Ruby menyimpan kata hatinya dalam-dalam hanya karena tak ingin merepotkan terlalu banyak. "Aku sudah berjanji di depan makam ibumu, Ruby. Aku tidak akan menarik kembali janjiku itu, kecuali jika memang kamu yang menginginkannya."
"Saya ingin melihat Arslan hancur." Ruby akhirnya bergumam. Meski lirih, tetapi gumaman itu terdengar jelas di telinga Garcia.
"Katakan sekali lagi, Ruby, dengan tekad yang lebih kuat," titah Garcia.
"Saya ingin melihat Arslan hancur! Saya ingin dia mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang telah dia lakukan pada saya!" Kali ini Ruby berseru dengan lebih emosional.
Senyum Garcia tampak terulas tipis, menyukai percikan api yang kini mulai terlihat keluar dari dalam diri Ruby.
"Baguslah, Ruby. Aku telah menyiapkan semuanya," ujar Garcia. Wanita itu kemudian menyodorkan salah satu dokumen yang sebelumnya dia baca. "Bacalah," titahnya.
Ruby menerima dokumen tersebut dan membacanya seperti yang diperintahkan oleh Garcia. Sejenak Ruby terdiam dengan kening yang nampak sedikit mengerut.
"Ini ... apa maksudnya, Nyonya?" tanya Ruby sembari memperlihatkan ekspresi bingung.
"Mulai saat ini, jangan panggil aku Nyonya lagi, tapi Mama," pinta Garcia.
Ruby masih terlihat bingung dan tak paham. Dokumen yang dilihatnya tadi adalah hasil tes DNA yang menginformasikan jika Ruby dan Garcia adalah pasangan ibu dan anak.
"Itu adalah hasil tes rekayasa, Ruby. Setelah ini, kamu akan menjadi anakku yang hilang lima belas tahun yang lalu, dia juga bernama Ruby."
"Ya?" Mata Ruby tampak sedikit melebar.
"Sebenarnya, putriku sudah ditemukan enam bulan setelah dia menghilang, dan dia tidak selamat. Tetapi untuk memunculkanmu kembali tanpa kecurigaan, aku akan membuat seolah telah menemukan putriku yang asli," ujar Garcia menjelaskan.
Ruby tampak agak terperangah tanpa mampu mengatakan apapun. Dia sungguh tak menyangka jika Garcia akan membantunya dengan memakai cara di luar dugaan semacam ini.
"Jadi, selamat datang kembali ke rumah, Ruby Atalarie." Garcia kembali mengulas senyumnya pada Ruby.