Baby Arthur

1019 Words
Hampir tiga jam Ruby bergelut dengan rasa sakit yang tak tertahankan, sebelum akhirnya seorang bayi lelaki lahir dengan selamat. Bayi yang memiliki kulit putih kemerahan dan hidung mungil yang begitu mancung, juga iris mata berwarna hazel. Wajah yang begitu menyerupai ayah biologisnya. Ruby menatap bayi yang kini telah berada dalam gendongannya itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia bahagia, tetapi juga ada rasa sakit dan sesak yang menyusup di dadanya. Hal yang melegakan adalah, meski wajah bayi tersebut sangat mirip dengan Arslan, Ruby bersyukur karena tak memiliki perasaan benci saat menatapnya. "Nona, apa Nona sudah memiliki nama untuk bayinya?" Terdengar Daiya bertanya, membuyarkan lamunan Ruby. "Ah ... itu ...." Ruby sedikit tergagap. Entah apa yang ada di dalam kepalanya selama ini, sehingga dirinya tak pernah sekalipun memikirkan nama untuk calon anaknya. "Mungkin saya akan menunggu Nyonya Garcia dulu," ujar Ruby akhirnya. Sejujurnya, sekarang dia merasa bersalah pada anak yang baru saja dilahirkannya itu. Bahkan, sekedar nama saja tidak ia persiapkan, seolah anak itu lahir tanpa dikehendaki. Daiya tak mengatakan apapun lagi, sepertinya berusaha untuk memahami posisi Ruby saat ini. Meski pelayan itu tak tak tahu mengenai latar belakang Ruby, tetapi setidaknya, dia tahu kalau Ruby saat ini tak memiliki suami. Hamil, kemudian melahirkan dan akan membesarkan anak sebagai ibu tunggal bukanlah hal yang mudah, pasti penuh dengan perjuangan. Itulah yang dipikirkan oleh Daiya tentang Ruby. "Ruby!" Seseorang memanggil nama Ruby dengan agak berseru. Ruby dan Daiya menoleh secara bersamaan. Rupanya Garcia telah tiba, mendekati Ruby dengan wajah antusias dan napas terengah. Sepertinya, wanita paruh baya itu datang menemui Ruby dengan agak terburu-buru. "Bayinya sudah lahir rupanya. Syukurlah ...." Garcia menghela napas lega. Sesaat kemudian, dia seperti ingat akan sesuatu. "Ah, iya, aku harus mencuci tangan terlebih dahulu." Ruby hanya bisa memandangi Garcia yang pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Untuk sesaat, Ruby membayangkan jika Garcia adalah ibunya. Mungkin kurang lebih reaksi yang ditunjukkan oleh ibu Ruby menyambut kelahiran cucunya akan terlihat sama dengan yang ditunjukkan oleh Garcia saat ini. Atau mungin bisa jadi akan lebih antusias. Entah kenapa, Ruby menjadi agak emosional. "Sekarang tanganku sudah bersih. Aku boleh menggendongnya, kan?" tanya Garcia kemudian. "Ya, tentu saja," sahut Ruby sambil tersenyum tipis, lalu menyodorkan bayi yang baru dilahirkannya itu pada Garcia. Mata Garcia terlihat begitu berbinar. Dia menggendong bayi Ruby sambil tersenyum lebar, seakan bayi itu adalah cucunya sendiri. "Dia laki-laki atau perempuan?" tanya Garcia tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah bayi itu. "Laki-laki." Ruby menjawab. "Ah, lelaki ...." Senyum Garcia tampak semakin lebar. "Tampan sekali kamu, Sayang. Terima kasih karena telah lahir dengan sehat. Cepatlah besar supaya kamu bisa menjaga mamamu," ujarnya lembut sembari menatap wajah bayi Ruby dengan penuh kasih sayang. Serasa ada air dingin yang saat ini membasahi hati Ruby saat mendengar ucapan Garcia pada bayinya. Tanpa sadar, sudut matanya menjadi berair, meski dengan cepat dia seka. "Apa kamu sudah menyiapkan namanya?" tanya garcia kemudian, membuat Ruby kembali tergagap. "Itu ... saya belum memikirkan mau memberinya nama apa." Ruby menyahut sembari sedikit menundukkan kepalanya. Dia merasa agak malu pada ketidaksiapannya menyambut kelahiran anaknya sendiri. "Kalau aku yang memberinya nama, apakah kamu berkenan?" tanya Garcia lagi. Kali ini, Ruby mendongak dan menatap sejenak ke arah Garcia dengan tatapan yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata. Padahal, Garcia adalah orang yang baru saja dia kenal, tetapi Ruby seperti merasakan sosok ibunya berada dalam diri wanita paruh baya itu. Seolah Tuhan memang mengirimkan Garcia untuk menggantikan sosok ibu yang telah meninggalkan Ruby dengan cara yang begitu menyakitkan. "Sebenarnya, saya memang ingin meminta Nyonya memberikan nama untuk anak saya," ujar Ruby kemudian dengan nada lirih. "Jika bukan karena Nyonya, saat ini saya pasti melahirkan di dalam penjara. Anak saya juga pasti akan besar di penjara. Nyonya yang membuat dia lahir di tempat yang layak, jadi saya harap Nyonya bisa memberkatinya sekali lagi lewat sebuah nama." Suara Ruby terdengar agak emosional. Garcia balas menatap Ruby sejenak. Meski ia telah meminta agar Ruby tidak memanggilnya nyonya, tetapi sepertinya Ruby masih canggung untuk menyapa dengan panggilan yang lebih akrab. Meski begitu, Garcia merasa senang karena Ruby tidak terlalu menutup diri darinya. "Jika memang kamu tidak keberatan, aku akan memberinya nama," ujar Garcia kemudian. Dia terdiam sejenak, tampak sedang berpikir. "Bagaimana kalau ... Arthur?" "Arthur?" "Ya, kelak dia akan tumbuh menjadi lelaki perkasa, pemberani, dan terhormat seperti Raja Arthur." Ruby tersenyum tipis dan mengangguk. Nama yang diberikan oleh Garcia untuk sang putra bukan hanya sekedar identitas, tetapi juga doa dan pengharapan yang terlihat begitu tulus. "Arthur, nama yang luar biasa. Terima kasih, Nyonya." Ruby mengucapkan rasa terima kasihnya dengan sepenuh hati. Garcia tampak senang karena Ruby menyukai nama yang dia buat untuk bayinya. Saat Garcia mencoba memanggil baby Arthur dengan nama barunya, bayi tersebut tampak berkedip-kedip sambil menatap Garcia, seolah dia juga menyukai nama tersebut. "Arthur yang tampan dan gagah berani, jadilah anak yang baik, ya," ujar Garcia sebelum kemudian kembali menyerahkan Arthur ke dalam gendongan Ruby. Ruby menatap putranya itu sejenak. "Arthur ...," gumamnya dengan suara yang lirih dan hampir tak terdengar. Ada getaran hebat yang kini memenuhi ruang hatinya, perasaan yang membuncah saat ia menyebut nama sang putra. Ruby menyadari jika ia menyayangi Arthur lebih dari yang ia bayangkan. Setelah dirawat dua hari di rumah sakit, Ruby dan baby Arthur diperbolehkan pulang karena mereka berdua dinyatakan sehat. Selama seminggu Garcia mendampingi Ruby menjalani perannya sebagai ibu baru. Hal itu sangat membantu karena banyak yang Garcia ajarkan pada Ruby. Setelah seminggu, Garcia berpamitan untuk kembali pergi karena ada pekerjaan yang sifatnya mendesak yang harus ia kerjakan. "Sampai kapan saya akan tinggal di sini, Nyonya? Tidak mungkin saya terus merepotkan Nyonya, kan?" tanya Ruby sebelum Garcia pergi. "Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau, Ruby. Sebenarnya, ada banyak hal yang telah diatur dan dipersiapkan untukmu, tetapi sekarang bukan saatnya aku menjabarkan semua itu," sahut Garcia. "Maksud Nyonya?" Ruby menatap dengan penuh tanda tanya. Sebelumnya, Ruby memang ingat jika Garcia pernah berjanji hendak membantu Ruby mendapatkan keadilan atas apa yang terjadi padanya, tetapi bukankah semua yang dia dapatkan sekarang saja sudah terlalu banyak? "Sekarang fokus dulu pada pemulihanmu, Ruby. Jika aku merasa kamu telah siap, aku pasti akan membicarakannya lagi denganmu," ujar Garcia sebelum akhirnya berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD