Anna tidak bisa tidur semalaman karena Roger tidak kembali sejak kepergiannya malam tadi. Perempuan yang sekarang tengah meringkuk dalam selimut itu mengusap matanya yang berair kasar. Dirinya akui kalau sudah menyakiti Roger. Namun sungguh, Anna tidak bermaksud seperti itu. Dia tidak pernah benar-benar berniat ingin menyakiti Roger. Roger adalah suaminya, ladang pahalanya. Semalam, apa yang dikatakan oleh Anna itu mungkin karena efek kelelahan yang membuatnya tidak sadar dan tidak bisa mengontrol perkataannya sendiri. Anna jelas merasa menyesal kepada suaminya sendiri. Anna ingin minta maaf. Hanya saja, entah kenapa tiba-tiba serumit ini.
Hampir tujuh bulan pernikahannya, Roger tak sekalipun pernah marah padanya. Sekalipun tidak pernah. Anna berbuat salah, Roger menasihatinya baik-baik. Dan Anna menyukai Roger yang seperti itu. Namun apa yang tengah terjadi pada dirinya sekarang, masih semata-mata cobaan Tuhan yang harus Anna segera selesaikan. Dia harus meminta maaf saat bertemu Roger nanti.
Anna ingat apa yang dikatakan oleh Roger perihal jangan terlalu sering meminta maaf karena membuat sebagian orang akan berakhir tidak dihargai oleh orang lainnya. Namun tetap saja Anna ingin minta maaf. Dia tidak ingin kalau ada yang sakit lagi karena dirinya, apalagi ini Roger suaminya sendiri. Anna tidak mau, Anna tidak bisa. Dia tidak akan membiarkannya.
Sayangnya karena terus berpikir sampai pagi, kepalanya berdenyut hebat. Anna bahkan tah habis pikir sendiri bisa seperti ini. Tubuhnya memang seringnya tidak bisa diajak berkompromi.
Hingga waktu yang rasa Anna sudah waktunya datang, perempuan itu pergi ke kamar mandi dengan tangan kanan yang mendekap perutnya erat, menekannya. Jangan berpikir kalau Anna hamil karena Anna memang tidak sedang hamil. Dia memang seperti ini kalau sedang stress. Mentalnya langsung menyerang ke fisik. Makanya jangan menyepelekan penyakit mental. Stress yang dianggap masalah mental sederhana saja bisa naik level menjadi depresi.
Di kamar mandi, Anna berlutut di depan closet saking nyeri perutnya. Ditekannya itu perutnya perlahan, juga dengan ringisan yang kentara sekali kalau tubuhnya sakit. Hingga suatu kejadian tak terduga saat Anna merasakan tengkuk lehernya tiba-tiba dipijat dari belakang.
Anna tidak perlu bertanya ataupun mendongak karena dia tahu harum siapa yang masuk ke dalam indera penciumannya. Dia memang Roger, suaminya. Sosok yang begitu Anna pikirkan sedari tadi hingga tubuhnya jadi seperti ini. Karena sudah cukup mengurut isi perutnya, Anna berdiri dan dibantu Roger.
"Kak Roger?" Anna memanggil Roger pelan saat lelaki yang tak menampilkan ekspresi apa-apa ini menuntun tubuhnya menuju ranjang. "Kakak aku mau bicara." Tambah perempuan itu lagi saat sadar perkataannya tidak direspon sama sekali oleh suaminya ini.
"..."
"Aku minta maaf, jangan mendiamiku." Pinta Anna lirih, untung Anna tidak pakai menangis. kalau menangis ya sudah, mungkin Roger langsung muak dan meninggalkannya begitu saja.
Anna jelas stress bukan tanpa alasan. Ada banyak hal yang membuatnya bisa sampai seperti ini.
"Apa aku harus selalu menangkap diam-diam baru kau mau jujur, Na?"
Maksudnya? Anna hanya menoleh ke arah Roger, tidak mengatakan apa-apa karena dia tahu kalau pasti ada kelanjutannya lagi dari perkataan Roger yang belum sampai. Namun bukan jawaban lisan yang Anna dapatkan, justru Roger berbalik pergi, mengambil sesuatu dan saat kembali langsung memberikannya pada Anna. Sebuah pesan ancaman yang Anna sendiri sudah berusaha untuk mengabaikannya seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu sekarang, Roger malah datang dan menodongkan hal tersebut padanya?
Perfect! Suaminya ini memang jeli sekali. Roger memang tidak bisa dibohongi. Roger terlalu jeli untuk dikibuli. Anna menyesal kenapa tidak bilang saja beberapa bulan yang lalu kalau teror itu kembali datang menghantuinya.
Roger bukanlah orang yang ngoyo sekali. Dia juga bukan penganut paham patriarki. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya pada Anna. Namun kalau masalah keselamatan, ini beda cerita. Jelas Roger tidak akan tinggal diam dan bersedia menyadap nomor telepon Anna kalau hal ini terulang untuk ketiga kalinya.
"Kak, ini..."
"Mau alasan apa? Kau sampai berpikir seperti semalam karena pesan ini kan? Kau lebih percaya kertas ini sampai mempertaruhkan nyawamu sendiri dengan diam saja? Kau anggap apa aku, Na? Kalau terjadi sesuatu yang buruk padamu bagaimana? Aku yang akan mati!"
Anna menggeleng yang membuat kepalanya makin sakit. "Aku tidak bermaksud seperti itu." Anna menangis pelan saat ditatap Roger dingin.
Roger pernah mengatakan ini bukan kalau dia tidak suka dengan perempuan cengeng? Dia tidak suka dengan perempuan yang lebay atau berlebihan saat menghadapi sesuatu, termasuk dengan berpikir negatifnya.
Karena Roger hanya berdiri di depannya, Anna memberanikan diri untuk mendongak, menatap nanar ke arah dimana lelaki itu berada. "Kak, jangan marah." Mohonnya. "Ak-"
Anna tak mampu melanjutkan perkataannya lagi saat Roger yang setengah menunduk langsung menyambar bibirnya penuh nafsu. Anna kualahan mengimbangi. Dia hanya pasrah seraya meremas kemeja sang suami, membiarkan Roger menginvasi tiap sudut rongga mulutnya.
"Kau membuatku takut." Roger berujar pelan di atas bibir Anna yang merekah karena ulahnya.
"Aku tidak bermaksud seperti itu." Sesal Anna bukan main. "Kakak jangan marah lagi.
Roger sedikit menjauhkan wajahnya, menatap Anna sungguh-sungguh. Dia tidak pernah terlihat seserius ini sebelumnya.
Tangan hangat lelaki itu kembali terulur, mengusap sisi wajah Anna yang terasa dingin di tangannya. "Aku minta maaf."
"Jangan. Jangan minta maaf, aku yang salah." Anna mengakui kesalahannya. Sungguh dia benar-benar tidak bermaksud merahasiakan ataupun membuat orang lain bersedih karena dirinya.
"Kau tahu, Na?"
Anna hanya diam, menatap mata suaminya ini nanar.
"Yang membuatku lebih sakit bukan perkataanmu yang memintaku menikah lagi jika kemungkinan paling terburuk yang terjadi, tapi karena kau tidak pernah bercerita tentang masalahmu, tentang apa yang menjadi sebab tertekan mu selama ini."
"Aku tidak mau membuat Kakak kepikiran."
"Apa kalau ini tidak sampai di tanganku, kau hanya akan diam, Na? Ini sudah sangat menganggu, dan aku tidak terima kau diberikan pesan semacam ini, Na. Laporkan polisi. Aku yang akan mengurusnya!"
"Aku mohon, jangan. Biarkan saja, aku tidak apa-apa." Dengan mata yang kian layu itu, Roger mendesah lelah dan kembali menarik tengkuk leher Anna perlahan, menyesap bibirnya tidak sabaran hingga Anna hampir kehabisan nafas.
Roger bahkan tidak memberikan Anna kesempatan untuk protes. Lelaki itu kalut, terus mendesak Anna hingga tubuh keduanya berakhir tak dihiasi apa-apa sama sekali.
"Kak Roger?" Anna memggumam lirih saat pandangannya blur, kepalanya seperti dihamtam bahan keras karena dadanya yang sesak tidak bisa digunakan untuk bernafas. Nafsu Roger bercampur murka karena kejadian tadi.
Namun Roger memang tidak mau berhenti. Dia menyentuh apa yang mau dirinya sentuh, mencium apa yang memang ingin dirinya cium. Penyatuan hangat mereka yang terasa lebih menyakitkan bagi Anna ini berhasil membuat perempuan yang berada di bawah kungkungan Roger sedari tadi hanya bisa menahan desahannya mati-matian.
"Kak Roger?" Anna mengulang perkataannya lagi. Ini benar-benar menyakitkan dari yang pernah Anna rasakan sebelumnya. Tubuhnya belum siap saat Roger langsung menggedor begitu saja, tanpa pemanasan.
Sadar karena sudah dikuasai hawa nafsunya sendiri, Roger berhenti, masih menumpukan kedua lengannya pasa yang masing-masing sisi ke ranjang. Matanya yang nanae bersibobrok dengan mata Anna yang memerah nanar. "Pelan-pelan," pintanya.
Roger kian menatap Anna nanar. Kepalanya yang hangat mendadak jatuh di d**a Anna, menyembunyikan wajahnya di sana. "Maafkan aku, Na. Aku tidak bermaksud kasar padamu."
"No, Kakak tidak kasar. Kita hanya kurang pemanasan, Kak. Tidak apa-apa," Anna menenangkan dengan tangan yang mengusap kepala dengan punggung lelaki itu bersamaan.