Seperti biasa, mereka selalu bersih-bersih terlebih dahulu sebelum tidur. Anna yang memakai kamar mandi lebih dulu, baru Roger yang menyusul. Mereka memang selalu mengutamakan kebersihan. Apapun yang mereka lakukan, kebersihan adalah yang utama. Karena memang kebersihan yang membuat mereka nyaman melakukan sesuatu. Berkeringat sedikit saja sudah membuat mereka risih bukan main.
Begitu selesai, Roger hanya mengenakan boxer dan kaos oblong polos berwarna hitam. Dia agak berhenti di pertengahan ruangan, menatap Anna dengan dahi mengerut dari kejauhan. “Kenapa memakai baju?” tanyanya.
“Hm?” alis Anna lantas terangkat sebelah, bingung. “Masak aku harus telanjang, Kak?”
Roger menggeleng pelan dengan senyuman yang menawan, langkahnya mulai mendekat. “Kau tidak ingat apa yang mereka doakan, Na? Mereka mendoakan kita supaya cepat memiliki momongan. Jadi?”
“Jadi apa?” Anna balik memancing dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya yang jelita.
Lelaki yang ditatap ini tidur perlu mengatakan apa-apa, dia hanya perlu beraksi.
Anna tersenyum tulus saat malam-malam indah selalu memenuhi malamnya yang tak pernah redup sejak Roger bersamanya. Ketika tubuh mereka menyatu, tanpa jarak sama sekali, yang merangkap arti pernikahan yang sesungguhnya, Anna selalu bahagia. Selalu bahagia. Bersama Roger dia bahagia.
“Sayang?” Roger yang sudah menjauhkan tubuhnya mengusap sisi wajah Anna lembut, yang langsung dibalas dengan senyuman meski tatapannya nanar, terlihat lelah, mengantuk. “Lelah?”
“Hmm, sepertinya belum.” Jawab Anna seadanya.
Anna memejamkan matanya dalam-dalam saat Roger menarik tubuhnya menjauh, kemudian menahan nafas sekuat yang dia bisa saat merasakan kecupan hangat menghujani perutnya. “Cepat hadir Sayang, kami menunggumu.” Ujar lelaki itu lirih sekali, Anna bahkan hampir tidak mendengar kalau saja tidak menggunakan kekuatan pendengarannya secara penuh.
“Kak?”
Tidak. Roger tidak berhenti. Dia masih belum berhenti. Dia masih ingin berlama-lama di sana, menantikan sang jabang bayi di tengah-tengah keluarga mereka. Sang jabang bayi, yang mereka damba-dambakan sejak dulu.
Kalau ditanya sakit apa tidak yang Anna rasakan sekarang, maka masih sebatas sesak yang langsung merongrong dadanya. Dia tahu Roger sangat menginginkan buah hati. Namun Anna belum bisa memenuhinya sampai sekarang. Tapi apa yang Roger lakukan? Dia tak pernah lelah berusaha dan terus berdoa. Karena Roger percaya kalau mereka pasti akan diberikan kepercayaan untuk memiliki seorang putra. Hari itu pasti akan datang.
Terkadang, Anna juga ingin berpikir positif seperti itu, ingin terus berpikir seperti itu. Namun masalahnya, namanya juga manusia, sedih, takut, khawatir, terkadang selalu datang dan menghantui malam-malamnya yang seharusnya membahagiakan. Anna tidak bisa menampik rasa takut yang sering kali datang dan menari-nari di kepalanya. Dan kalau seperti ini, Anna merasa kalau lebih baik dia menutup matanya dalam-dalam, lantas menghilang.
Banyak yang menyalahkan perempuan di saat tubuhnya tidak bisa memberikan keturunan. PAdahal, sesunggunya memiliki keturunan ataupun tidak sudah menjadi ketetapan Tuhan, manusia tidak bisa menebak, hanya bisa menerima jika memang ditakdirkan semacam itu. Manusia tidak pernah bisa menolak takdir yang Tuhan berikan. Karena sesungguhnya, memang itulah yang terbaik yang memang Tuhan berikan.
“Sayang?” Roger melirih tersekat saat mendapati Anna menangis tanpa suara saat mengangkat kepalanya. Dia tidak pernah membayangkan ini sebelumnya, Anna selalu tersenyum saat membahas anak, tapi sekarang dia malah menangis pilu.
“Sayang?” Roger sekali lagi memanggilnya begitu pelan, mendekat ke arah Anna, mengusap air mata perempuan itu penuh sayang. “Jangan menangis, tolong. Semuanya akan baik-baik saja.”
Namun sayangnya, perkataan Roger kali ini tak serta merta bisa membuat Anna tenang, yang ada tangisannya terasa kian pilu hingga Roger harus membangunkan tubuh Anna agar duduk dan memeluknya perlahan, tak peduli meski keduanya tak ditutupi sehelai benang sekalipun. Mereka sudah sah. Melakukan hubungan suami istri malah menghdirkan rahmat untuk keduanya.
“Kenapa menangis, hm?” Roger mengusap punggung Anna yang terbuka perlahan, sesekali menghadiahi kecupan hangat di bahu Anna yang terbuka.
“…”
“Tidak apa-apa, Na. Kita belum ada satu tahun menikah. Kita masih punya banyak waktu dan kesempatan, hm?”
“Kakak jangan menghiburku,”
“Aku sedang tidak menghiburmu, aku menghibur diriku sendiri, Na. Kalau istriku sampai menangis, apa gunanya aku sebagai suami kalau tidak bisa membuatnya berhenti bersedih. Bukan dirimu salah, pasti aku yang membuatmu tidak senang.”
“Bukan seperti itu.” Kata Anna dengan isakan yang tadi sempat mereda, kini memuncak kembali. “Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa harus aku yang kecelakaan? Kenapa harus aku yang sulit punya anak? Aku ingin hamil, ingin memberikan keturunan untuk Kakak, untuk keluarga Gustavo, kaluarga Abraham. Kenapa sulit sekali?” tangisnya.
Kalau biasanya Roger mengatakan banyak hal agar Anna tenang, sekarang Roger hanya akan diam saja. Dia tidak akan membuat Anna berhenti menangis. Sekarang, dia ingin mendengarkan semua yang perempuan itu ingin katakan. Karena sesungguhnya, hanya di saat-saat seperti ini Anna bisa mengatakan apa yang sesungguhnya dirinya rasakan, terutama rasa sakit yang kian dalam karena dirinya sendiri yang menciptakan rasa sakit itu.
“Setiap telat datang bulan, aku selalu melakukan test pack, tapi tak sekalipun hasilnya positif, hasilnya kabur-kabur pun tidak pernah, selalu garis satu. Aku juga sudah menerapkan pola hidup sehat. Semua yang doktrr katakan, aku selalu melakukannya. Apa yang kakak nasihatkan, aku juga selalu melakukan juga. Tapi kenapa tidak hamil-hamil juga?”
Roger diam memandang Anna yang terus menangis. Dia pernah mendengar Barack bercerita kalau Anna benar-benar dalam suatu keadaan, terkadang perempuan itu tidak sadar akan apa yang dirinya baru saja katakan. Karena itu Roger diam saja, karena dia merasa kalau kali ini adalah hal yang Barack katakana waktu itu, istrinya benar-benar tertekan akan ini semua.
Kalau biasanya Roger menasihati banyak pasangan suami istri yang begitu sabar menunggu diberikan kepercayaan memiliki seorang anak setelah bertahun-tahun bahkan ada yang sampai berpuluh-puluh tahun juga, untuk saat ini Roger tidak akan mengatakan apa-apa. Anna hanya butuh didengar. Karena itu Roger hanya mendengarkan. Dengan begitu juga, setidaknya dia bisa mengurangi rasa sesak yang tengah mendera istrinya sekarang ini.
“Kakak bisa menikah lagi kalau-“
“Anna!”
Perempuan yang dipanggi dengan suara agak menekan ini langsung terdiam dengan tatapan mata lurus-lurus kea rah suaminya. Mata Roger yang entah mendadak merah membuat nyali Anna menciut.
“Dari tadi aku mendengarkan,” katanya pelan. “Aku menerima kalau kau sedih, tapi tidak dengan berkata seperti itu. Aku sudah berjanji hidup semati bersamamu. Apa kau lupa sampai mengatakan hal sampah seperti tadi?”
Anna lantas menggeleng tegas. “Aku-?”
“Pernikahan kita belum ada satu tahun, Na. Kenapa kau menangis sampai sebegitunya untuk hal yang bukan kau yang menjadi tanggungjawabnya. Kau boleh menangis, sangat boleh, aku tidak akan melarang. Tapi, tolong jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi. Kau tahu, dengan mengatakan itu semua, itu sama saja kau tidak percaya padaku."
Anna sudah menggeleng lagi dengan sudut mata yang kembali dialiri muara sungai, tapi sepertinya Roger sudah terlanjur muak dan pergi dari sana saat itu juga.
“Kak? Kak Roger?" lirihnya yang seakan sia-sia.
“…”
Roger bilang, dia tidak apa-apa jika memang tidak memiliki seorang anak. Hanya saja, Anna tahu kalau di saat bersamaan, Roger juga menginginkan kehadiran jabang bayi mereka begitu besar. Kalau kata Anna tadi demi melanjutkan keturunan Gustavo, maka memang itu benar. Anak pamannya adalah perempuan, jadi memang Roger yang dituntut untuk segera memiliki momongan. Namun, ini bukan sinetron yang akan membuatnya menikah lagi dengan orang lain agar bisa memiliki seorang putra. Baginya, Anna adalah satu dan satu-satunya, apapun yang terjadi. Bahkan di saat kedua hayat tidak lagi di raganya sekalipun.
Anna terdiam dengan tatapan nanar saat melihat punggung Roger yang melaju pergi kian jauh. Dia sungguh tidak sadar sudah mengatakan apa tadi. Tapi yang jelas, kalau Roger sampai pergi, tidak mau tidur seranjang dengannya, itu artinya Anna sudah tanpa sengaja menyakiti egonya karena Roger bukanlah orang yang suka mempermasahkan hal-hal sepele. Entah apa yang dirinya katakan, stress membuatnya melupakan banyak hal.
Anna come on, overthingkinmu menyakiti banyak orang, batin perempuan itu merutuki dirinya sendiri.
Namun Anna tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Roger memang butuh waktu sendiri. Anna tidak bisa mengganggunya di waktu seperti ini. Selain tidak punya keberanian, rasa bersalah Anna yang ada kian bertambah besar. Sudah tidak bisa memberikan anak, membuat sakit hati juga. Anna ingin menjerit sejadi-jadinya saja daripada ditinggal pergi seperti ini.