b******a dengan Roger mungkin sudah tidak terhitung jumlahnya bagi Anna karena memang sering sekali sekaligus usaha agar segera memiliki momongan.
Namun dari banyaknya percintaan yang mereka lakukan, baru kali ini Anna merasa ingin pingsan karena kakinya sakit sekali ketika digerakkan. Tapi dia hanya diam, menikmati apapun yang masih bisa dirinya nikmati, rasa sakit sekalipun setidaknya masih bisa dirinya rasakan.
Dia sudah membuat Roger sedih tadi, jadi ini yang bisa Anna lakukan untuk Roger. Dia tidak mau menjadi istri durhaka. Dia sudah banyak menyusahkan Roger.
"Sayang?"
Anna melenguh pelan saat Roger mencium lehernya. Pinggulnya sedikit diangkat yang membuat Anna memejamkan matanya dalam-dalam karena Roger menghujamnya tanpa henti. Namun Anna menyukainya.
"Kalau sakit bilang, biar aku berhenti."
Tawa tipis Anna tampilkan. Dia menerima ciuman yang Roger berikan dengan senang hati. Kalau boleh memilih, Anna ingin melakukan ini dan ini lagi.
"Aku tidak apa-apa, Kak."
"Tapi tadi muntah, perutnya sakit? Kepalanya sakit?" tanya Roger nanar.
Belum mendapat jawaban, Roger langsung menarik tubuhnya menjauh, kemudian mengusap perut Anna perlahan. "Makanya kalau makan dihati-hati. Tadi malam tidak makan yang macam-macam, kan?"
Anna menggeleng yakin. "Hanya tidak bisa tidur, jadinya pusing, ingin muntah."
"Ya sudah, kita istirahat lagi." Kata Roger final.
"Tapi Kakak belum selesai. Diselesaikan dulu."
Roger tertawa, kemudian mencium Anna, "tidak, besok, masih ada waktu."
"Tapi aku ingin." Anna merengek.
Alis tebal Roger terangkat dengan senyuman tak menyangka. "Anna,. tidak boleh nakal, ya?"
"Aku tidak nakal, tidak boleh berhenti di tengah jalan tahu?"
Baiklah, karena Anna yang meminta, Roger akan melakukan apa yang istrinya ini minta.
"Pelan-pelan," Anna memejamkan matanya saat Roger kembali naik ke atas tubuhnya, mencari posisi ternyaman yang bisa membuatnya tidak menyakiti Anna. Karena Anna bukan untuk disakiti, tapi disayang.
Begitu melihat Anna menikmati permainannya, Roger mempercepat ritmenya, mengejar sesuatu yang membuat keduanya merasa lega masih diberi kesempatan untuk berusaha lebih keras lagi.
"Sayang." Roger memggumam pelan saat tubuhnya jatuh di atas tubuh Anna. Dia suka berlama-lama di d**a berisi istrinya ini. Mau pergi ke belahan dunia manapun, Roger tidak akan bisa mendapatkan yang seperti Anna kecuali Anna sendiri. "Terima kasih." Lanjut Roger kemudian.
"Terima kasih kembali, Kak."
Roger menarik tubuhnya menjauh, namun tidak pergi kemana-mana. Roger malah berakhir mendekap tubuh perut Anna sayang, mengusap perut rata istrinya itu penuh harapan.
Namun saat satu patah, dua patah mereka lontarkan, suara kehebohan di lantai bawah membuat Anna dan Roger yang dasarnya memang belum tertidur jadi bangun, buru-buru memakai pakaian untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Baik Anna dan Roger mereka saling membantu, takutnya karena saking terburu-buru malah ada yang terlupa, bisa gawat ceritanya kalau seperti itu. Mau ditaruh ke mana wajah mereka nanti. Makanya gorong-royong di waktu ini pun tak kalah pentingnya.
Saat Anna dan Roger turun, mereka melihat Shilla dituntun oleh Khris. Anna yang tiba-tiba lemas langsung berpegangan pada lengan Roger. "Kak?" panggilnya lirih.
"Shilla mau melahirkan. Kau mau ikut bersama mereka?" tanya Roger lebih tenang karena dia memang tidak panik sama sekali.
"Dengan Kakak saja."
Roger mengangguk saja, dia kembali ke kamar untuk mengambilkan jaket Anna dan jaket untuk dirinya sendiri.
"Na? Sayang? Mau ikut ke rumah sakit? Turun, Nak." Irish yang terlihat cemas kebetulan menoleh dan menanyai Anna yang diam saja di anak tangga teratas.
"Aku bersama Kak Roger akan menyusul, Ma."
"Hati-hati, ya. Mama pergi dulu." Irish langsung menyusul Khris dan Shilla yang sudah menghilang di depan pintu. Sementara tinggal Anna di sana dan Roger baru keluar dari kamar kemudian lengkap membawa jaket dan memakaikannya untuk Anna. "Hawanya dingin, nanti masuk angin lagi."
Anna menurut. Mereka turun beriringan dan Roger benar pergi bersama dengan Anna ditemani oleh dua ajudan saat menuju rumah sakit.
Selama perjalanan, Anna tak ada henti-hentinya berdoa semoga Shilla dan bayinya selamat. Kalau mau dibandingkan rewel waktu kehamilan siapa diantara Kania dan Shilla maka jawabannya adalah Kania. Di awal kehamilan pun Kania sudah diharuskan untuk Caesar waktu lahiran nanti. Sementara Shilla tadi masih mampu berdiri dan tidak mau digendong. Semoga saja Shilla sekuat yang orang-orang doakan. Semoga persalinannya dilancarkan sampai akhir. Sampai buah hatinya hadir di dunia ini.
"Tenang, Shilla sehat, tidak perlu ada yang dikhawatirkan."
Anna memang tidak mengatakan apa-apa, tapi Roger tahu karena suhu tubuh Anna yang dingin pasti karena merasa tertekan dan tidak bisa bebas. Itulah karena Roger menemani Anna. Istrinya ini sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Pasti juga lelah karena melayani dirinya sedari tadi.
Entah pada detik ke berapa mobil yang khusus Anna dan Roger datang di rumah sakit. Anna dan Roger pergi bersama-sama menyusul keluarganya yang sudah masuk ke ruang rawat lebih dulu. Shilla memang sudah waktunya melahirkan.
Tadi Anna sempat mendengar kalau Shilla bisa melahirkan normal karena tubuhnya kuat dan tidak ada masalah. Ibu dan janinnya sehat. Namun perjuangan ibu untuk melahirkan anaknya memang tidak pernah mudah. Nyawa yang menjadi taruhannya. Anna yang melihat Shilla meringis sedari tadi merasa tidak tega sendiri. Sesekali menangis yang kemudian ditenangkan oleh Khris kalau semuanya akan baik-baik saja.
"Sayang?" Khris mengusap perut Shilla pelan, kemudian memutar ke pinggang, berharap itu bisa mengurangi rasa sakit yang sekarang tengah dirasakan oleh istrinya.
Irish yang memang sudah berpengalaman. "Sakit Sayang?" Dengan begitu perhatian, Irish mengusap puncak kepala membantunya yang tengah meringkuk seraya menyebut nama Tuhan-nya karena kontraksi palsu yang dialaminya semakin intens. Dan Shilla belum boleh mengejan sebelum bukaan sepuluh.
"Sakit, Ma." Shilla meremas tangan ibu mertuanya erat sekali dengan pelipis yang dibanjiri keringat dingin. Khris yang biasanya petakilan kini hanya bisa menatap istrinya nanar, masih setia mengusap punggungnya, dan tak mampu menahan juga, akhirnya Khris menangis. Dia tidak pernah tega melihat istrinya kesakitan seperti ini. Sungguh tidak tahu diri sekali jika ada lelaki yang meninggalkan istrinya yang baru saja melahirkan dengan alasan sudah tidak tertarik karena bentuk tubuhnya berubah setelah hamil. Benar-benar biadab kalau ada yang melakukan hal seperti itu.
Perempuan bukanlah alat pencetak anak yang bisa gunakan seenaknya dan ditinggalkan begitu saja saat tidak menarik lagi.
"Kak, duduk di depan Shilla." Irish menatap putranya sendu. Irish tahu betul karakter ketiga anaknya. Khris memang yang paling petakilan, tapi dia juga yang lebih lembut daripada Jordan. Makanya melihat Shilla sedari tadi meringis dia ikut meringis dan berkahir menangis. Dia tidak bisa membayangkan sesakit apa yang tengah Shilla rasakan sekarang. Ingin meminta dokter untuk memindahkan rasa sakitnya itu jelas sesuatu yang sia-sia. Mau diapakan pun, seorang ayah tidak akan pernah bisa menjadi ibu.
"Kak, tidak apa-apa." Irish menyakinkan Khris sekali lagi. "Shilla membutuhkanmu."
Meski berat, akhirnya Khris mau bangkit, memutari ranjang Shilla dan duduk di depan perempuan itu. "Kenapa tidak mau duduk di depanku?" tangisnya.
"Sayang, hai, jangan menangis, aku sudah di sini."
"Sakit, Kak." Shilla menangis, menumpukan wajahnya pada bantal sementara tangannya meremas bantal erat sekali.
Khris mana tega melihat itu. Yang ada dia malah menangis terus karena tidak tega melihat Shilla terus kesakitan seperti itu.
"Kau kuat Sayang. Sebentar lagi bayi kita lahir. Kau kuat." Kata Khris menenangkan, atau lebih tepatnya menegangkan dirinya sendiri yang tidak bisa tenang sedari semalam, saat Shilla terus bergerak gelisah di atas ranjang dan berakhir mengadu kalau sepertinya akan segera melahirkan.
"Nanti ditemani, ya?" Shilla menatap Khris nanar sementara Khris asal mengangguk saja, karena kalau boleh jujur, dia juga takut kalau diminta menunggui. Jangan sampai kalau dirinya pingsan nanti. Dia harus bisa siap sedia untuk Shilla dan buah hatinya yang sebentar lagi lahir di dunia.
"Iya Sayang, aku tidak akan pergi kemana-mana."
Setelah itu, Khris hanya bisa membantu seperti yang diinteruksikan oleh perawat dan dokter. Dia memang Shilla berjalan, menjadi tumpuan Shilla juga saat berdiri, menunggui perempuan itu tanpa henti di kamar mandi. Kemudian menunggui juga saat kembali ke kamar, untuk mengecek sudah sampai pembukaan berapa.
Belum apa-apa seperti ini rasanya Khris sudah mau pingsan. Bagaimana kalau sudah waktunya Shilla melarikan nanti,. Khris bisa kejang-kejang saking takutnya. Padahal Khris tidak phobia dengan darah, tapi sekarang dimintai menunggui Shilla melahirkan, takutnya bukan main.
Anna dan Roger yang duduk di kursi tidak mendekat karena tidak mau mengganggu. Mereka hanya melihat apa yang dilakukan Khris untuk Shilla dari kejauhan. Anna sendiri juga tidak tega jika harus ditempatkan di tempat seperti itu. Pasti sudah menangis.
"Kakak tidak takut kan, Kak?"
"Hm, takut apa Na?" mereka sama-sama menoleh dengan tatapan yang tertuju satu sama lain.
"Saat orang melahirkan."
Ada jeda cukup panjang yang Roger ambil setelah mendengar pertanyaan Anna. Dia tidak pernah tahu proses persalinan itu seperti apa. Dia juga tidak tahu kalau ditanyai sekarang. "Mungkin aku hanya bisa berdoa kalau tidak berani masuk ke ruangan, Na."
Kening Anna mengerut dalam."Kenapa tidak berani masuk, Kak?"
"Karena seorang suami manapun tidak akan sanggup kalau dihadapkan dengan istrinya yang tengah berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan anaknya."
"Kak Khris sayang sekali dengan Kak Shilla dan dia berani menunggui."
"Lihat saja nanti, kakakmu akan pingsan."
Anna malah tertawa pelan. "Kakak jangan bercanda. Aku sedang serius tahu."
Roger tersenyum tipis seraya merengkuh bahu Anna erat, mengusapnya perlahan. "Shilla dan bayinya akan baik-baik saja. Dan kakakmu akan pingsan, sudah itu saja."
"Kakakku pemberani tahu, Kak. Kakak jangan solimi, ya?"
"Tidak. Lihat saja nanti."
Anna kembali tertawa yang membuatnya sedikit lebih lega. Jujur, entah Roger hanya bercanda atau memang itu benar adanya yang akan terjadi, tapi Anna bersyukur sekali masih diberi kesempatan oleh Tuhan bernafas sampai saat ini. Dengan gratis, tanpa embel-embel apapun itu.
Di detik ini doa yang Anna tetaplah sama. Dia berdoa agar persalinan Shilla berjalan lancar, bayinya juga sehat tidak kurang suatu apapun. Dan satu lagi, semoga kakaknya tidak pingsan seperti yang suaminya katakan. Kalau Khris betulan pingsan, Anna mau menangis saja.
"Sudah, tidak apa-apa, kau jangan panik, Na. Semuanya akan berjalan baik-baik saja."
"Aku tahu, Kak. Terima kasih selalu membuatku tenang."
"Terima kasih juga karena sudah bersedia menjadi istri lelaki yang penuh kekurangan sepertiku, Na."
Tatapan lembut yang Roger berikan membuat Anna tertular senyum itu. Dia tidak khawatir dengan apapun lagi mulai sekarang. Tuhan bersamanya. Semuanya akan baik-baik saja atas seizinnya. Semuanya akan baik-baik saja.
***
Yang Anna tahu sudah berjam-jam semua orang menunggu dan Shilla masih pembukaan delapan. Intensitas kontraksi yang Shilla rasakan makin kuat dan datangnya mulai cepat jika dibandingkan dengan waktu tadi.
Semua orang masih setia menunggui, melangitkan doa tanpa henti. Sementara wajah Shilla sudah pucat bukan main. Dia bahkan tak sanggup berdiri lagi. Hanya bisa rebahan di ranjang dengan kaki yang dibuka lebar-lebar untuk mempermudahkan jalan lahir sang bayi nanti.
Ini yang memang merupakan momen ataupun pengalaman pertama bagi Khris hanya bisa duduk di samping istrinya, menumpukan kepalanya di dekat kepala perempuan itu dan membisikkan doa-doa di telinga Shilla agar istrinya ini terus terjaga, tidak menutup mata.
Khris takut sekali saat Shilla berulang kali hampir memejamkan mata. Sungguh dia tidak tahu Shilla itu mau tidur atau apa Khris tidak tahu. Yang jelas satu, doanya tidak terputus sedari tadi. Dia selalu menyebut asma Tuhan, memohon keselamatan untuk istri dan calon anaknya. Agar istrinya selamat dan anaknya terlahir normal tanpa kurang suatu apapun.