4. Play the Game

1416 Words
Di dalam ruang rawat VVIP itu, Anna digoda dan Roger menggoda habis-habisan. Perempuan itu tidak mengambil hati. Lagi pula dia lelah sekali. Lebih baik dia istirahat saja. Mana sebelum menjenguk Roger sebenarnya dia belum istirahat sama sekali meski berada di rumah tidak melakukan apa-apa. "Na? Kau nyaman berada di sini, kan? Kalau tidak, aku akan pergi ke kamar sebelah biar tidak menganggumu." Anna tergelak mendengar Roger mengatakan hal seperti itu. Ayolah, Anna mengenal Roger sedari dulu. Menganggu Anna sampai menangis adalah keahlian Roger yang tidak dimiliki oleh kedua kakak laki-lakinya. Jadi, kalau Roger menganggu atau apapun itu, Anna tidak terkejut sama sekali. Roger memang sudah seperti itu sejak awal. Justru malah aneh kalau Roger berbaik-baik kepadanya. "Ya sudah, Kakak pergi saja. Lagi pula, dari tadi hanya mengangguku kerjaannya." "Betulan? Tidak apa-apa?" Roger bertanya sekali lagi berupaya memastikan. "Tidak takut ditinggal sendirian. Aku juga tidak akan menaggumu lagi setelah ini. Istirahat saja." "Aku akan tidur." Jawab Anna sekenanya. Dia lelah sekali hari ini. Mana jatuh tadi membuat Anna malas melakukan apa-apa. Roger menghela nafas berat, masih merasa menyesal karena membuat Anna sampai seperti ini. "Maafkan aku Anna, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi." Ungkapnya penuh penyesalan. Anna sampai harus menoleh kembali. Risih saja Roger terus meminta maaf kepadanya. Padahal sedari tadi Anna sudah bilang kalau sudah dimaafkan, tidak apa-apa. Tapi tetap saja meminta maaf yang membuat kepala Anna tambah pusing mendengarnya. "Hai? Tidak apa-apa. Kenapa minta maaf terus, Kak?" "Coba mengaca. Kepalamu memar karena aku." Kata Roger lesu, menatap kening Anna yang kebiruan. "Kalau kedua kakak dan ayahmu tahu, mereka pasti langsung memberikan pelajaran kepadaku. Dan aku memang pantas menerimanya." "Mau aku laporkan?" Anna menatap Roger dengan senyuman miring, seperti orang menantang. "Aku bisa menelfon mereka dan meminta mereka ke sini saat ini juga. Mau mereka ke sini?" "Hmm, panggilkan saja biar aku tenang. Kau tidak akan tega memberi pelajaran padaku. Jadi, minta mereka saja datang ke sini." Anna menghela nafas berat mendengar nada lesu dari Roger. Pendar matanya meredup karena mengantuk. Mungkin karena efek obat yang diberikan oleh Dokter Zen tadi. "Tidur saja, Kak, aku mengantuk sekali." Perempuan itu mengeluh seraya memejamkan matanya dalam-dalam. "Ya, tidur saja, aku menemanimu di sini." Roger mengulurkan tangannya, mengusap tangan Anna pelan yang membuat perempuan itu berangsur-angsur makin terlelap dalam tidurnya. Dan beberapa waktu kemudian, bisa melihat nafas Anna yang teratur damai, Roger tersenyum tipis dengan perasaan lega. Dia tidak menyangka kalau bisa berdua seperti ini dengan Anna. Mereka sudah seperti pasangan yang serasi, kan? Ya, mereka pasti serasi sekali seandainya Roger segera datang ke rumah dan melamarnya seperti yang dikatakan pria itu di awal. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kejelasan lagi. Anna bahkan hanya menganggap perkataan Roger saat itu hanya candaan belaka. Jadi ya sudah. Kalaupun tidak berakhir dengan Roger, Anna pasti berakhir dengan Ilyas karena pria itu yang gencar mendekatinya selama ini dan selalu Anna tolak juga. Dan poin pentingnya, Anna tidak milik siapa-siapa. Perempuan itu milik dirinya sendiri. Sudah banyak pemuda dengan berbagai latar belakang yang bisa dibilang sama dengannya datang ke rumah untuk melamar. Namun, Anna memang tidak ingin Deng salah satu diantaranya. Hatinya sudah jadi milik orang lain. Sedari dulu, bahkan sampai sekarang. "Na? Kau betulan tidur?" Roger bertanya setelah hening menghiasi keduanya. Pria itu bahkan sampai mencolek-colek tangan Anna tapi perempuan itu tidak terbangun, malah seperti orang pingsan saja."Aku ditinggal tidur." Bisik Roger sedih, lantas ikut-ikutan mencoba tidur juga. Lagi pula, dia lelah karena sok-sokan merajuk yang jatuhnya malah membuat Anna sampai seperti ini. Dan daripada melanjutkan keisengannya, Roger tidur menghadap Anna, masih setia mengusap tangan perempuan itu yang halus dan berharap sangat memang wajah inilah yang menjadi pendampingnya kelak. Karena sedari dulu, memang Roger pahlawannya Anna. Perempuan itu bahkan sudah mengakuinya. "Tidur yang nyenyak, Sayang." Setelah berbisik lirih di telinga Anna, Roger langsung tertidur juga, pulas sekali. *** Seperti deja vu yang tanpa sadar datang begitu saja, ini juga yang tengah Roger rasakan. Dia seperti pernah dalam keadaan ini sebelumnya. Ketika terbangun dan ada perempuan cantik yang begitu ia rindukan setelah sekian lama tidak bisa melihatnya dan sekarang bisa melihatnya kembali. Roger mengerjakan matanya berkali-kali, melihat ke arah Anna dengan mata yang menyipit dan perlahan terbuka dengan jelas. Dan beberapa detik kemudian, ketika otaknya sudah genap memproses apa yang mata tajam pria itu tangkap, senyuman tipis sama-sama terukir di bibir keduanya. "Hai, you okay?" Roger bertanya pelan sebagai orang yang lebih dulu sadar kalau ulahnya lah yang membuat Anna sampai seperti ini. "Kepalamu sudah tidak sakit?" Anna tersenyum sekali lagi, lantas menggeleng. Tangan kanannya yang bebas terulur untuk mengelus dimana keningnya yang lebam. "Sudah tidak. Kakak bagaimana keadaannya?" "Aku?" Roger malah menatap Anna dengan alis terangkat. "Aku baik-baik saja. Memangnya aku pernah tidak baik-baik saja?" "Kenapa balik bertanya kepadaku?" Anna tergelak dicekoki pertanyaan yang menurutnya aneh dan bagaimana seperti itu. "Kan Kakak yang merasakan? Harusnya Kakak yang menjawab, bukan melempar jawabannya padaku. Memangnya aku monitor yang bisa mendeteksi apa yang sedang Kakak rasakan?" "Seperti itu, ya?" lantas, pria itu terlihat berpikir. "Yaa, aku memang baik-baik saja. Tidak pernah sebaik ini sebelumnya." "Hm, kalau begitu, aku mau pulang dulu. Aku sudah terlalu lama di sini. Nanti Kakak dan Papa khawatir aku tidak pulang-pulang." "Kata siapa?" Anna yang sudah menoleh menyerngit bingung melihat Roger menatapnya penuh arti. "Aku sudah mengatakan kalau kau ingin tidur di sini, menemaniku. Jadi, tidak ada alasan untuk menghindar dariku. Paman malah bilang kalau lebih baik aku menyekapmu di sini saja daripada kau kembali ke butik dan bekerja seperti orang gila. Kesehatanmu jangan disepelekan Anna. Semua orang akan khawatir kalau kau sampai kenapa-kenapa." "Dan lagi, jangan suka keluar malam. Aku khawatir ada yang menggaggumu lagi seperti malam itu. Di sini sehari lagi denganku." Kata Roger panjang lebar, sudah seperti satpamnya saja. "Kakak bilang ingin pergi ke Singapure. Kenapa malah Ingin berlama-lama di sini?" Beberapa detik kemudian, Anna sadar kalau pertanyaannya salah. Tadi dia juga bertanya hal yang menjurus ke arah sana. Dan sekarang, tanpa pikir panjang, Anna langsung menarik perkataannya kembali. "Lupakan saja." Ujarnya cepat-cepat, takut kalau pembicaraan mereka lari ke hal yang sensitif lagi yang bisa memicu perbedaan pendapat di antara mereka berdua. Roger yang seakan sadar langsung menghela nafas berat. "Maaf, ini tidak akan terjadi lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu Anna. Kecuali, kamu meninggalkanku lebih dulu, aku pasti mencarimu sampai kemana-mana untuk memohon maaf." "Permohonan maaf diperuntukkan untuk orang yang bersalah, Kak. Kakak tidak melakukan kesalahan apapun." Melihat Anna yang menatapnya teduh, Roger merasa lega. Dia merasa beruntung sekali bisa mengenal Anna dan pernah menaruh hati pada perempuan itu. "Jadi, mau tidur bersamaku, kan?" "Hai, mana ada tidur bersama?" Roger langsung menggeleng, "maaf, maksudnya istirahat semalam di sini, menemaniku. Tenang saja, urusan butik, aku sudah meminta orang untuk mengurusnya. Jadi jangan khawatir." "Baiklah, aku akan di sini." Anna memutuskan dengan ciri khas nadanya yang lemah lembut. Siapa coba yang tidak mencari calon istri yang seperti Anna ini. Kalau Roger sampai kedahuluan orang, dia pasti sangat menyesal sekali. Anna adalah satu dan satu-satunya. Karena jelas, tidak ada dua orang berbeda yang bisa memiliki sifat sama persis. Merasa senang, Roger yang memang sudah duduk mendekatkan tubuhnya ke arah Anna, mencuri cium di kening perempuan itu yang malah membuat Anna marah. Dan untuk pertama kalinya, ciuman agak memaksa saat tatapan Roger turun dan melahap bibir ranum perempuan ini, Anna merasakan sesak di sekujur tubuhnya. Bukan seperti ini yang Anna inginkan. Dicium paksa bukanlah mimpinya. Sayangnya, semuanya sudah terlanjur terjadi dan yang dirasakan Anna sekarang bukanlah mimpi. Roger benar-benar melakukan tindakan asusila padanya. Padahal, Anna tidak melakukan apa-apa. Pakaiannya juga tertutup rapi. Memang dasarnya Roger yang tidak bisa menahan diri. Kalau seperti ini, jatuhnya selalu perempuan yang disalahkan. Padahal, Anna sudah menjaga dirinya, membatasi dirinya sendiri agar tidak diganggu. Meskipun begitu, dia tetap saja diganggu oleh laki-laki hidung belang yang ada di sekitarnya. Dan mungkin, Roger merupakan salah satu lelaki hidung belang itu. Anna yang berupaya menghindar malah membuat Roger semakin gencar memperdalam lumatannya agar Anna luluh bersedia bermain bersama dengannya. Sayangnya, mungkin Roger lupa kalau Anna memang tertutup, tidak seterbuka perempuan-perempuan yang pernah dia temui saat di luar dulu. Kalau di sana itu adalah hal yang biasa dan tidak ada artinya sama sekali. Maka berbeda bagi Anna. Ini jelas tindak asusila terhadap perempuan. Dan Anna tidak bisa menerimanya. Karena apa yang sudah tersentuh, maka selamanya sudah tersentuh. Anna menjaga dirinya untuk suaminya kelak. Kalaupun iya memang Roger yang perempuan itu cintai, bukan berarti Anna bodoh sampai memberikan apapun yang lelaki itu inginkan atas dirinya apalagi tubuhnya. Itu jelas kalau bukan hati yang bekerja melainkan nafsu semata dan Anna tidak bisa menerimanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD