3. Bad Dream

2386 Words
Mereka saling diam setelah Anna mengucap kalimat yang Roger rasa—perempuan itu memang tidak sedang main-main. Tapi apapun itu, Roger tidak perlu mengambil hati. Orang dia tidak melakukan apa-apa, kan? Jadi untuk apa dia khawatir? Perasaan takut hanya diperuntukkan untuk orang yang bersalah. Lagipula, Roger merasa percaya diri kalau justru dirinya yang akan menjadi mimpi indah untuk Anna di kemudian hari. Pria itu akan menjadi mimpi indahnya. Dan Roger akan membuktikan itu sebentar lagi. Dia akan mewujudkannya. “Sudah merasa lebih baik?” tanya Roger memastikan saat Anna terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Roger saja bingung. Yang sakit siapa, yang terlihat lebih sakit siapa. Untung Roger masih punya cukup tenaga untuk membantu Anna. Lebih tepatnya menyadarkan perempuan itu dari mimpi buruknya. Yang katanya—Anna selalu mimpi buruk selama ini. Tapi sebentar. Memangnya ada orang yang selalu mimpi buruk atau hanya kiasan saja? Di awal, Roger enggan percaya. Namun, melihat Anna sampai berkeringat dingin dan wajahnya pucat seperti tadi, Roger rasa, Anna persis sekali dengannya saat bermimpi buruk. “Tidak pernah sebaik ini,” balas Anna pelan seraya menegakkan tubuhnya yang membuat Roger ikut menyandarkan tubuhnya yang lelah pada punggung sofa. Dua sejoli ini terdiam satu sama lain. Roger malah mengambil kesempatan untuk menyandarkan kepalanya yang lelah pada bahu Anna yang diterima oleh perempuan itu dengan senang hati. Mereka hanya diam. Setelah bermenit-menit berlalu sekalipun mereka masih terdiam, saling meresapi satu sama lain. Ketika Anna diam membisu, Roger lebih lagi menghela nafasnya. Mungkin dadanya sesak, karena itu nafasnya agak berat. Bahu Anna yang dijadikan sebagai sandaran saja seakan bisa merasakannya. "Dadanya sesak ya, Kak?" Anna bertanya pelan yang tak dijawab oleh Roger sama sekali. Jangankan menjawab, bersuara sedikit saja atau hanya mengangguk pelan, Roger saja tidak melakukan itu semua. Mungkin pria itu lelah sekali karena ikutan repot karena membangunkan Anna. Karena tidak direspon, Anna hampir saja pergi. Bukan karena merasa tidak dibutuhkan, Anna malah takut kalau jatuhnya dia hanya mengganggu. Sayangnya, Roger menahan Anna, menggenggam tangan perempuan itu erat sekali dengan mata yang terpejam rapat. "Jangan pergi kemanapun. Tetap di sini Anna, tolong temani pria ini lebih lama." Ujar Roger agak berat. "Kenapa sulit sekali bertemu denganmu meski aku sudah kembali sekalipun? Apa poin pentingnya aku pulang ke sini lagi kalau yang kutuju malah seakan menghindar?" Butuh tiga detik Anna mencerna dan langsung menggeleng di detaik itu juga. "Aku tidak menghindar, Kak. Memang banyak pekerjaan. Kakak juga punya banyak pekerjaan. Aku sedang sibuk mengurus pesanan gaun pengantin." Anna memang tidak berbohong. Sebagai pemilik butik, dia tidak bisa memasrahkan semua pekerjaannya begitu saja dengan asistennya. Bahkan kalau mau, Anna bisa membayar orang lagi untuk mengerjakan pekerjaannya. Hanya saja, dia memang orang yang totalitas dan profesional. Kerjaannya maka dia sendiri yang harus menyelesaikan. Kalau memang bener-bener berhalangan atau terkendalikan sesuatu yang benar-benar genting, Anna baru memasrahkan pekerjaannya pada orang lain. Namun memang hampir tidak pernah Anna melakukan itu semua. Dia lebih percaya pada dirinya sendiri ketimbang dengan orang lain meski orang kepercayaannya sekalipun. "Aku ada dinas ke SG. Besok malam take off." Roger memberi tahu pelan dengan tatapan lurus ke arah dinding. Sementara Anna belum merespon sama sekali. Memangnya dia harus berespon bagaimana lagi? Mereka bahkan baru saja bertemu. Apa iya harus dipisahkan lagi? Dulu, yang terakhir kali Anna tahu, Roger memang dibawa pamannya ke SG. Dan sekarang, saat kembali pun, Roger kerap kali terbang ke SG. "Kakak belum sembuh total. Kenapa tidak minggu depan saja? Memangnya pekerjaan Kakak akan maksimal kalau kondisi tubuhnya sedang tidak fit? Istirahat dulu saja, ya?" Roger tersenyum tipis, semakin merebahkan kepalanya di bahu Anna. "Aku harus tetap ke sana. Ada banyak pekerjaan di sana." Bisiknya pelan. Jujur saja, Anna tidak bisa menghakimi Roger. Jangankan menegur Roger, menegur dirinya sendiri pun, Anna tidak mampu. Dia terus-terusan seperti menyiksa dirinya sendiri dengan bekerja keras. Padahal, usaha yang dibangun Anna dari nol itu sudah mendapat banyak penghargaan dan Anna juga berasal dari keluarga kaya raya--yang jelas saja tidak akan membuat perempuan itu kekurangan materi sedikitpun. Sayangnya, ini memang mimpi Anna sedari dulu. Dia suka sekali menggambar dan saat sekolah menengah pertama, dia semakin menekuni keahlian mendesain baju-baju unlimited yang memang Anna sendiri yang menjadi perancangnya. Jajaran orang penting di negeri ini juga menjadikan Anna sebagai desainer langganan mereka. Maka tak heran jika yang datang ke butiknya mobil-mobil sport ataupun orang terpandang. Bahkan, ada deretan artis ternama yang menjadikan Anna sebagai desainer tetap. "Kakak istirahat lagi saja, aku mau pulang dulu." "Tidak bisa lebih lama?" Roger sekali lagi menahan Anna yang beranjak ingin pergi. Dia masih merindukan perempuan ini. "Temani aku sedikit lebih lama, Na. Setelah ini, kita bisa bertemu lagi setelah dua minggu ke depan." "Kalau memang harus seperti itu, kenapa harus dipermasalahkan?" Anna bertanya pelan, tidak paham kenapa Roger harus merasa khawatir tidak bisa bertemu dengannya. Lagipula, Anna tidak pergi kemana-mana. Datang saja ke rumah atau butik, Anna pasti ada di salah satu tempat tersebut. Kecuali kalau Anna memang sedang ada di luar, ada acara atau apapun itu yang mengharuskannya pergi. "Ya sudah, pulang saja, hati-hati." Roger langsung beranjak pergi, bukan ke tempat tidurnya tapi malah keluar dari ruangan rawatnya sendiri. Anna bahkan sampai meringis melihat Roger masih mengenakan pakaian rumah sakit dengan sandal kulit langsung pergi saja seperti itu. Ayolah, pria itu belum sembuh. Perasaan, dulu Anna yang suka merajuk. Dia yang selalu menangis kalau Roger pergi. Entah pergi berenang dengan teman-temannya atau pergi karena keharusan sekolah, Anna selalu merajuk dan berakhir menangis. Namun sekarang, saat Roger kembali, bukan Anna yang merajuk seperti anak kecil, melainkan Roger yang seperti berubah menjadi anak kecil. Hanya tubuhnya saja yang tinggi besar. Tapi sikapnya seperti anak kecil. "Kak?" Anna berupaya mengejar. Berjalan cepat untuk menggapai Roger yang berjalan lebih dulu memasuki sebuah ruangan. Bahkan tanpa sadar, Anna jadi masuk di ruangan itu juga. "Kak-" Langkah Anna terhenti begitu saja saat melihat Roger dengan raut datar tengah memakai kemeja dan menyambar kunci mobil asal yang berada di ruangan salah satu dokter yang dinasnya di rumah sakit tempat Roger dirawat ini. Anna tebak, dokter laki-laki ini temannya Roger. Namun, lebih dari apapun itu, Anna lebih khawatir saat melihat wajah pria itu yang masih pucat. Sungguh, Roger masih sakit. Yang terakhir kali saja, Anna masih bisa merasakan keringat yang membanjiri pelipis Roger. "Kak? Hai, mau kemana? Kakak belum sehat betul." Anna menahan Roger pergi dengan berdiri di depan pria itu, menengadah, menatapnya penuh harap. Sayangnya, mungkin perkataan Anna tidak sengaja menyinggung Roger atau memang dasarnya Roger yang terlalu mengambil hati. Karena itu dia memilih pergi. Padahal, Anna tidak bermaksud seperti itu. Justru Anna khawatir kepadanya. Apa hal sesederhana "khawatir" ini perlu Anna katakan kepada Roger? Bahkan tanpa melihat, Roger sudah tahu. Lalu kenapa dipermasalahkan yang malah membuat kepala Anna pusing. Masih baik dia meluangkan waktu dan sekarang malah ingin ditinggal seperti ini. "Ayo bicara dulu." Sekali lagi Anna memohon kepada pria di depannya ini. Wajahnya datar sekali. Anna malah takut. Seumur-umur, baru sekarang Anna melihat wajah Roger segarang ini. Namun apapun itu, kesehatan Roger yang utama. "Kak tolong dengarkan dulu. Aku tidak jadi pergi. Mari bicara." Ajaknya. Mungkin, Roger muak dan memang enggan berbicara lebih jauh. Karena itu dia langsung pergi begitu saja bahkan saat Anna menahannya sekalipun. Dokter yang berada di dalam saja sampai membisu. Mungkin, dokter itu sendiri juga bingung. Nahasnya, Beliau juga tidak ada niatan untuk menahan Roger. Seakan sudah tahu kalau percuma saja menasihati pria ini karena tidak akan didengarkan. Jadi, daripada percuma, lebih baik dia diam saja. Endingnya malah membuang-buang tenaga saja kalau memaksa orang keras kepala seperti Roger. Masih mengabaikan Anna, Roger berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sementara Anna tidak menyerah. Dia juga mengikuti Roger bahkan sampai basement dengan langkah yang begitu berat karena dipaksakan untuk berlari ataupun berjalan cepat sedari tadi. Rasanya, Anna ingin pingsan saja daripada seperti ini. "Kak Roger, tolong dengarkan dulu." Mohonnya dengan sangat. Sayangnya pria itu tetap berjalan cepat seakan takut kalau ditinggal pesawat yang sudah menjadi tujuan terakhirnya. Sementara Anna di belakang terus saja Roger abaikan seakan tak terlihat keberadaannya sama sekali. Seakan-akan apa yang dikatakan perempuan itu sedari tadi tidak ada artinya sama sekali. Hingga saat mereka sampai di basement dan Roger lebih dulu dengan tangkas membuka pintu dan menyalakan mobilnya, Anna hanya mampu mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil Roger berharap akan dibukakan. "Kak jangan kekanakan? Kakak masih sakit? Tolong buka dulu pintunya. Ayo kita bicara. Aku minta maaf kalau-Kak Roger!" Anna menatap nanar pria yang tengah melihat jalanan tak berekspresi ini. Hingga saat Roger menjalankan mobilnya tergesa, Anna yang tidak siap, terkejut dan tubuhnya terhempas begitu saja dan jatuh di mester yang kotor. Dan di detik tahu kalau Anna terjatuh, Roger berbelok dan mencari keberadaan perempuan itu, tidak jadi pergi. Begitu melihat Anna masih duduk di lantai, Roger langsung keluar dan menghampiri perempuan itu. "Anna?" panggilnya pelan seraya menatap perempuan yang memejamkan matanya ini. Pihak keamanan rumah sakit bahkan sampai menghampiri mereka berdua karena keributan yang berhasil mereka ciptakan. "Anna?" Roger memaksa melihat apa yang terjadi pada wajah Anna karena perempuan itu terus saja menutupinya. Seakan yang Anna lindungi tidak boleh kalau sampai dilihat oleh orang lain. Sambil sedikit memaksa, Roger membuka pertahanan tangan Anna dan matanya beralih redup melihat wajah Anna yang lecet. Hidungnya berdarah bahkan sampai mimisan. Keningnya juga lebam, mungkin terantuk mester dengan keras. "Anna?" Roger menatap perempuan di depannya ini nanar. "Jangan pergi. Ayo bicara. Kakak belum sembuh. Nanti kalau kenapa-kenapa di jalan bagaimana?" Anna bertanya dengan mata yang berpendar redup. Cantik-cantik malah dibuat babak belur karena menghantam kerasnya mester. Tanpa pikir panjang atau melakukan drama kekanakan, Roger langsung menuntun Anna untuk bangkit dan menemani perempuan itu kembali ke dalam rumah sakit. Roger tidak tega melihat Anna yang tadi masih baik-baik saja sekarang malah dibuat nyusruk olehnya. Harusnya perempuan ini tidak menahannya agar tidak sampai sakit seperti ini. Kalau sudah terlanjur, Roger malah menyalahkan dirinya sendiri sebagai orang yang tidak berguna menjaga Anna. Belum apa-apa, dia yang membuat Anna sampai seperti ini. Kalau sudah jauh berjalan nanti, bisa jadi Anna bisa mendapat bencana lebih buruk daripada ini. Roger membawa Anna ke ruangannya, lantas meminta Dokter Zen yang sudah menjadi kenalannya untuk memeriksa keadaan Anna. Sementara perempuan itu hanya terduduk bersandar di punggung sofa. Matanya terpejam rapat. Entah berapa kecepatan Roger membelokkan mobilnya tadi hingga Anna bisa mendapat luka bisa dibilang lumayan parah. Bukan karena luka luar, melainkan luka dalam yang begitu kentara. Kalau diusut, Anna pernah diserang dan masuk rumah sakit. Jangan sampai kecelakaan kecil yang dialaminya kali ini membuatnya masuk rumah sakit juga. Sungguh, pekerjaannya masihlah banyak sekali. Butiknya bisa chaos kalau Anna sampai sakit. Bayangkan saja, semua pekerjaan jadi tertunda karena pemiliknya berhalangan hadir dalam setiap acara ataupun rapat internal yang begitu penting untuk kelangsungan usaha yang sedang naik-naiknya. Anna diminta untuk merebahkan diri di ranjang rawat yang kemudian langsung diperiksa oleh Dokter Zen. Sementara Roger yang khawatir sekaligus menyesal, turut menyalahkan diri sendiri karena tidak sengaja membuat Anna terluka. Harusnya Anna baik-baik saja sekarang, bukan malah dibuat sakit seperti ini. Kalau Pak Barack Abraham dan kakak-kakaknya tahu, habis sudah riwayatnya. Dia pasti dicoret mentah-mentah dari daftar calon suami Anna karena tidak bisa menjaga putri dan adik mereka satu-satunya. "Gimana, Dok?" Roger bertanya pelan saat Dokter Zen memintanya untuk berbicara sebentar. Sebelum menjawab, Dokter Zen tersenyum, mungkin tidak menyangka kalau Roger bisa sekhawatir ini dengan orang lain. "Dok?!" "Kekasihmu tidak apa-apa. Tadi hidung dan kepalanya terbentur cukup keras, makanya mimisan parah." "Perlu dilakukan MRI atau CT-scan?" Roger menatap Dokter Zen serius. "Tidak perlu, dia istirahat pasti mendingan sendiri. Nanti saya resepkan obat biar nyerinya berkurang. Minta dia makan dulu." Roger hanya menatap kepergian Dokter Zen dalam diam. Kemudian menghampiri Anna kembali yang tahu-tahu sudah memejamkan mata di ranjangnya. "Na, hai?" Roger memanggil Anna pelan. "Tidur? Kepala kamu sakit?" Anna hanya membalas dengan gumaman pelan, lantas membuka matanya, tersenyum tipis ke arah pria itu. "I am fine, Kak. No need to worries." "Maaf. Gara-gara aku, kau jadi sakit seperti ini." Roger menatap Anna penuh penyesalan. "Tidak apa-apa." Anna tersenyum menenangkan. "Aku baik-baik saja, Kak. Jangan khawatir." "Ya sudah. Istirahat saja." Roger mengusap tangan Anna pelan. "Aku akan mengabari kakakmu dulu." "Jangan!" Anna langsung menahan Roger yang ingin pergi. Semuanya seperti terulang kembali. Kalau tadi Roger menahan Anna pergi sekarang Anna yang menahan Roger pergi. "Kakak di sini juga, istirahat saja. Jangan mengabari Kak Khris, nanti dia marah padamu." "Tidak apa-apa. Aku biasa dimarahi kakak-kakakmu dari dulu. Tidak terkejut kalau kali ini dimarahi lagi." Anna meringis pelan. Roger memang sering dimarahi kakak-kakaknya kalau sampai Anna kenapa-kenapa. Jatuh sendiri bukan Anna yang dimarahi tapi malah Roger yang tidak tahu apa-apa dimaki kedua kakaknya. Memang siapapun yang jadi kekasih atau suami Anna nantinya, harus kuat-kuat iman. Kalau tidak, pingsan saja sekalian karena Anna benar-benar diprotek oleh orang tua dan kakak-kakaknya yang berbadan besar. Mahkluk saja karena Anna memang satu-satunya putri di keluarga mereka. Jadi ya semua perhatian larinya ke Anna. "Aku minta orang-orang menaruh bed baru, ya? Biar kamu ada temennya." Belum sempat menolak, Roger lebih dulu pergi ke luar untuk meminta orang-orang menyiapkan apapun yang diperlukan nantinya. Anna hanya mengembuskan nafas pelan. Nafasnya mendadak berat. Dan benar saja, tak lama kemudian, Roger datang dengan seperangkat orang dengan membawa bed yang isinya Roger tengah diberi bantuan pernafasan yang membuat Anna terkejut bukan main. "Kak? Kakak kenapa?" Anna terduduk tergesa, lantas melihat ke arah Roger yang malah tersenyum tipis. "Sus, teman saya kenapa?" perempuan itu gantian bertanya pada perawatnya. "Tadi Bapak sesak nafas, Buk. Jadi diberi oksigen." Jelas sang perawat secara singkat. Anna lantas melihat ke arah Roger yang sudah tidur di sebelahnya, berjarak sedikit karena memang sengaja diberi spacs agar tidak terlalu dekat. "Sudah dibilang istirahat saja! Sakit lagi kan sekarang?" Anna berujar pelan dengan tatapan bisa dibilang kurang bersahabat. Sementara yang ditatap seperti itu hanya tersenyum tipis seadanya, seakan-akan yang terjadi padanya tidak masalah sama sekali. "Hanya sedikit sesak, Na. Jangan khawatir." "Kakak ada masalah paru? Makanya jangan makan rokok." "Rokok tidak dimakan, hei?" Roger tertawa. "Sama saja." Anna bersikeras. Lantas tiduran membelangi Roger tidak peduli. Roger melihat ke arah Anna kembali, kemudian menggunakan handphonenya untuk mencolek bahu Anna. "Sayang, hei?" "Aku bukan kekasihmu." Anna langsung protes, tidak terima dipanggil sayang tanpa status yang jelas. "Awas saja kalau aku datang ke rumahmu, Na." Anna lantas menoleh ke arah Roger, menatap meremehkan. "Memangnya mau apa? Kan keputusan di tanganku." Roger balas tersenyum meremehkan. "Lihat saja nanti. Jangan mencariku kalau aku hilang, ya?" Dan, Anna tidak mengerti maksud tatapan yang Roger berikan kepadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD