Malam-malam Roger terbangun dari tidurnya yang melelahkan. Dan begitu membuka mata, di luar sudah gelap gulita kalau tidak ada cahaya kelap-kelip lampu bangunan pencakar langit lainnya. Cahayanya terlihat indah malam ini. Roger sampai merasakan kedamaian di dalamnya.
Saat memandang sekeliling ruangannya yang besar dan kemudian netranya berlabuh di sebelah kanan, matanya menangkap sosok Anna tengah memainkan iPad dengan satu dengan, tubuh setengah duduk setengah selonjoran. Rautnya nampak serius sekali yang membuat Roger langsung memekik tanpa sadar.
"Anna, apa yang kau lakukan?! Istirahat saja. Apa uang begitu penting untukmu? Paman Barack bisa memberimu uang satu gedung tanpa kamu minta. Berhenti memegang itu!" titahnya tanpa sadar. Dalam pikiran Roger paling waras sekalipun, Anna sedang melakukan pekerjaannya.
Dasarnya Anna memang terkejut hanya membalas Roger dengan senyuman tipis, dengan tujuan menenangkan yang sebenarnya Anna sendiri tahu kalau itu hanya sia-sia. "Sebentar lagi, Kak."
"Sebentar apanya? Sekarang!" Roger menatap Anna tak terbantahkan. "Sejak kapan kau bermain dengan itu?"
"Sejak sore." Jawab Anna kalem, terus melanjutkan kegiatan yang sudah menjadi passionnya selama ini.
"Astaga, kau ini benar-benar. Anna? Berhenti kubilang." Seandainya Anna baik-baik saja, Roger akan melempar sesuatu ke arah Anna agar perempuan itu berhenti. Sayangnya tidak ada apa-apa. "Kau masih sakit. Lihat saja hidungmu masih diselang begitu. Hai? Ayolah, istirahat? Anna!"
Mendengar Nada yang begitu frustasi dari Roger, akhirnya Anna mau menurut dan berhenti merancang gaun baru dan memilih meletakkan iPad itu ke nakas yang bisa dijangkau oleh tangannya.
"Kau sudah baik-baik saja?" Roger menatap Anna nanar. Kepala perempuan itu diperban di kening sebelah kanan. Sementara kening yang lain memarnya bertambah parah dari yang terakhir kali Roger lihat.
"Anna, maafkan aku. Aku sungguh menyesal." Ucapnya betul-betul. Roger tidak menyangka kalau Anna akan berakhir kecelakaan seperti ini. Padahal, dia pikir kalau Anna akan menyukai dan menikmati ciumannya. Ternyata, dia tidak melakukan apa-apa kecuali menyakiti Anna. "Tolong maafkan aku. Aku minta maaf."
Hening melanda keduanya karena Anna tidak kunjung menjawab di bagian ini. Perempuan itu malah menatap titik kosong di udara.
"Kakak tahu seberapa ingin aku memukul wajahku sendiri?" tanya Anna tiba-tiba setelah beberapa waktu lalu memilih diam. Jujur saja dia jijik dengan dirinya sendiri.
"Anna?"
"Sudahlah, Kak. Sudah terlanjur juga. Tidak perlu menyesalinya. Nasi sudah menjadi bubur. Di masa yang akan datang nanti, jika Kakak ingin melakukan hal yang sama pada perempuan lain, tolong pikirkan perasaannya. Dengan melakukan hal paksa semacam itu, Kakak hanya menginjak-injak kami. Dan itu sangat merendahkan bagi kaum perempuan."
Karena sadar kalau dirinya salah, Roger tidak mau mendebat. Dia membiarkan Anna mengeluarkan seluruh keluh kesah terhadap dirinya yang memang kurang ajar.
"Apa harus menjadi suamimu dulu kau baru akan memaafkanku, Anna? Jangan marah dan mendiamiku seperti ini. Aku tidak bisa." Roger menatap Anna dalam, berharap tatapan matanya bersambut. Sayangnya, Anna memang tidak mau balas menatapnya sama sekali.
Anna menoleh ke arah Roger dengan wajah yang tidak berekspresi apa-apa. "Seandainya Kakak punya istri, apa Kakak mau dengan perempuan yang sudah menikah atau yang sudah pernah disentuh orang lain sebelumnya?"
"Aku rasa tidak." Anna menjawab pertanyaannya sendiri, tidak memberikan kesempatan kepada Roger untuk menjawab.
"Aku sering mengikuti kasus pelanggaran HAM pada perempuan. Dan sering kali, pelakunya adalah suaminya sendiri. Dan Kakak tahu apa yang suami lakukan pada istrinya?"
Roger diam memprihatikan. Dia sudah bersumpah dalam hati untuk tidak memotong perkataan Anna sampai perempuan itu sendiri yang memberinya kesempatan untuk berbicara. Mungkin, memang ini hukuman yang harus Roger terima. Dia harus sadar kalau tidak semua yang ia inginkan bisa menjadi kenyataan. Dunia tidak seramah itu.
"Begitu selesai malam pertama, sang suami tidak menemukan tanda-tanda berdarah yang katanya, selaput dara perempuann akan robek kalau berhubungan badan untuk pertama kalinya. Dan dengan begitu teganya, dia menuduh istrinya sudah tidur dengan pria lain sebelum ini. Dan itu hanya gara-gara selaput dara. Bahkan sampah diceraikan."
"Apa kehormatan perempuan hanya dihargai sampai sebatas itu? Kami para perempuan tidak sadar jika pernah jatuh, kecelakaan atau bahkan bersepeda yang bisa saja membuat selaput dara robek. Jelas setiap perempuan memiliki bentuk selaput dara yang berbeda-beda. Ada yang tebal, ada yang tipis, ada juga perempuan yang tidak memiliki selaput dara sejak lahir."
"Kakak tidak perlu membayangkan yang jauh-jauh. Kalau Kakak punya anak perempuan dan diperlakukan seperti itu, Kakak pasti marah sekali dan tidak akan terima. Aku tidak paham dengan budaya patriarki di negara ini. Tentang pakaian, tentang kodratnya perempuan. Kami tahu tugas dan kewajiban kami. Tapi, para lelaki juga harus tahu kalau kami punya batasan. Kami bukan robot yang siap sedia kerja 24 jam. Dan paksaan yang Kakak lakukan tadi, itu bisa menjadi kebiasaan yang tidak baik. Bagaimana aku bisa menerima kalau belum apa-apa Kakak sudah memaksaku?"
"Jangan diam saja, Kak. Kakak juga punya hak untuk membela diri kalau ada perkataanku yang salah."
Roger menggeleng pelan. "Tidak, Na. Kau benar, aku memang salah." Akunya. Sudah dibilang, Roger tidak akan membela diri. Dia memang pantas untuk dihukum. Roger harus mendengarkan ini semua agar sadar dengan kesalahannya.
Mungkin bagi perempuan yang terbiasa berciuman random atau bahkan tidur sana sini dengan pria lain, yang dialami Anna bukanlah hal besar dan tidak perlu dipermasalahkan. Namun tidak bagi Anna. Roger benar-benar orang pertama yang berani memaksa untuk mencium bibirnya.
"Aku minta maaf, Anna. Jangan mendiamiku seperti ini."
"Kakak makan dulu, nanti diminum obatnya." Anna sibuk mengambil iPadnya lagi dengan satu tangannya dan melakukan sesuatu di sana. Dan beberapa saat kemudian, ada perawat yang datang membawakan makanan khusus untuk Roger.
"Kau sudah makan dan minum obat?" Roger melirik Anna yang tersenyum menyambut perawat yang membawa makanan.
"Sudah, sebelum Kakak bangun."
Karena tidak ingin membuat Anna semakin kecewa padanya, Roger menerima makanan itu dari sang perawat dan langsung melahap makanannya meski terasa pahit tanpa mengeluh sedikitpun. Sesekali, matanya melirik Anna yang diam saja dengan pandangan lurus ke dinding. Kalau seperti ini terus-menerus, Roger tidak tahan untuk tidak melamar Anna. Dia yang membuat perempuan itu sampai seperti ini, dirinya juga yang harus bertanggungjawab.
Buru-buru menghabiskan makanannya, Roger ingin menyampaikan maksud hati pada perempuan yang sudah meninggali relung hati terdalamnya ini.
"Na, apa aku boleh datang ke rumahmu? Aku ingin melamarmu."
Mendengar itu, dengan sorot mata yang lelah, Anna menoleh ke arah Roger. "Datang saja, Kak."
"Pasti diterima, kan?" Roger menatap Anna penuh harap. Memang ini tujuan hidupnya, meminang Anna menjadi istri dan bagian dari hidupnya.
Anna hanya tersenyum tipis sebagai balasan, lantas mengambil nampan kosong di depan Roger sebisanya, lantas meletakkannya di tempat makan yang suka didorong oleh para perawat. Juga meletakkan meja yang digunakan untuk makan di dekat nakas "Kakak istirahat dulu saja. Dokter akan segera ke sini."
"Apa kepalamu dijahit?" Roger menatap Anna sendu. Mata Anna bengkak sebelah karena kecelakaan yang dialaminya tadi.
Tangan Anna terangkat, menyentuh kepalanya hati-hati. "Tidak sakit, Kakak jangan khawatir.
"Apa keluargamu menunggu di luar? Aku bisa bicara dengannya sekarang, kan?"
Anna tersenyum kecil dengan sikap Roger yang begitu tergesa sekali ingin menemui keluarganya. "Hanya ada penjaga, Kak. Aku sudah meminta mereka pulang. Kakak istirahat lagi saja."
Sayangnya, Roger tidak bisa istirahat kalau otaknya sedang kepikiran sesuatu. "Kau mau kulamar kan, Na? Mau menjadi istriku, kan?"
Tidak ada balasan yang berarti kecuali senyuman manis yang Anna berikan pada Roger. Dan senyuman itu tidak bisa menjadi parameter kalau lamaran Roger akan diterima. Malah kemungkinan besarnya, Roger ditolak setelah semua perbuatannya yang tidak bermoral pada Anna.
Roger sudah ingin istirahat seperti yang Anna katakan padanya. Hanya saja, pria itu tidak tenang melihat Anna yang tadinya sudah berhenti sekarang malah sibuk dengan iPad-nya lagi.
"Ya Tuhan Anna, kenapa sulit sekali menurut kepadaku? Aku tidak akan melarangmu kalau kau baik-baik saja. Tolong bekerjalah saat sudah sembuh nanti."
"Tidak bisa, Kak. Kalau tidak kucicil sekarang, nanti tidak selesai-selesai. Tangan kananku akan dioperasi. Jad-"
"Apa? Operasi? Kenapa? Kenapa dioperasi? Tanganmu retak? Tidak patah, kan?" detak jantung Roger langsung menggila mendengar kabar seperti itu. Dia tidak tahu kalau karena keserakahannya, Anna benar-benar jadi korban seperti ini.
Roger mengamati tangan kiri Anna yang baik-baik saja meski ada beberapa lecet. Anna juga bisa menggerakkan tangan kirinya dengan baik. Lalu di mana masalahnya?
Ini! Orang kalau sudah panik pasti jatuhnya salah informasi dan sebangsanya. Padahal, tadi Anna sudah mengatakan kalau tangan kanannya yang bermasalah tapi mentang-mentang tangan kiri Anna yang paling dekat dengan jangkauannya, Roger menyamaratakan tangan kiri dengan tangan kanan perempuan itu. Jelas berbeda lah!
Anna menghela nafas pelan. Lantas mengigit bagian dalam pipinya saat mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan di detik itu juga, Roger menelan ludah susah payah melihat pergelangan tangan Anna bengkak dan memar parah.
"Astaga, ada apa dengan tanganmu, Na? Sakit?" Roger menatap tangan Anna nanar. Meski tahu kalau itu pasti sakit sekali, Roger tetap saja bertanya seperti orang bodoh atau memang pura-pura bodoh?
"Tidak sakit." Jawab Anna jujur karena sekarang ini dia hanya seperti mati rasa setelah tadi tangannya nyeri parah.
Pada akhirnya, Roger sedikit mendekat, mengamati tangan kanan Anna baik-baik. "Besok pemeriksaannya? Aku temani, ya? Aku mau tahu apa yang dokter bilang. Kalau perlu, ikut terbang ke Singapura saja denganku, perawatan di sana.
Anna malah tergelak mendengar perkataan Roger. "Ini tidak apa-apa, Kak. Sudah tidak sakit."
"Tidak sakit karena kau minum obat. Kalau tidak, pasti sakit. Itu sepertinya patah tulang, tulang menonjol."
"Sungguh, ini-"
"Kenapa kau keras kepala sekali? Aku pernah patah tulang. Dan itu sakit, Anna. Kenapa sulit sekali membagi sesuatu padaku. Kau bilang sakit pun, aku tidak akan menghakimi. Karena aku juga pernah merasakannya. Dan itu memang sakit dan tidak enak melakukan apa-apa hanya menggunakan satu tangan selama proses penyembuhan."
Apa Anna terlalu mengabaikan rasa sakitnya? Sepertinya tidak. Roger saja yang terlalu berlebihan. Tapi, Anna memakluminya. Mungkin Roger masih merasa bersalah. Karena itu dia terus-terusan merasa khawatir pada Anna.
"Iya Kak, kan besok diperiksa. Kakak istirahat lagi saja. Aku ingin mengirim pesan sebentar pada asistenku."
Meski sudah dibilangi seperti itu, Anna tetap saja memperlakukan dirinya sendiri seperti robot.
"Anna Putri Abraham, yang paling cantik, kesayangan semua orang, istirahat dulu, ya?" Roger berbicara sok manis. "Kau tadi berbicara tentang patriarki. Aku setuju dengan pendapatmu. Tapi, apa bedanya budaya patriarki itu dengan kau yang sekarang bekerja seperti orang yang tidak kenal lelah. Aku tahu ini passionmu, cita-cita yang kau inginkan sedari kecil. Tapi, Na, memaksakan diri sendiri juga tidak baik. Kalau sakit, istirahat dulu. Kalau sudah lebih baik, tidak apa kalau mau bekerja lagi. Kau tau kalau orang sakit dipaksakan jatuhnya semakin sakit, ujung-ujungnya tidak sembuh-sembuh juga dan malah berakhir membutuhkan banyak waktu untuk pemulihan. Karena itu, istirahat dulu, ya? Tidur dulu, ini sudah malam juga. Aku yang telat bangun."
Anna menggeleng pelan. "Aku juga baru bangun tadi, hanya beda setengah jam, Kak. Belum mengantuk lagi."
Sudahlah, Anna memang keras kepala. "Kau memang tidak pernah berubah ya, Na. Keras kepalamu terbawa hingga sekarang."
Dibilangi seperti itu, Anna sekali lagi hanya tersenyum seadanya.
"Ini kenapa bed-nya tidak disatukan saja? Kenapa harus dikasih jarak?" Roger menatap space di antara tempat tidur Anna dan tempat tidurnya datar. "Takut kucium paksa lagi?" tebak Roger langsung saja karena tidak ada alasan yang paling tepat yang bisa Roger ungkapan saat ini kecuali kelakuan bejatnya itu lagi.
Anna menoleh, menatap mata Roger dalam. Dan kalau diusut punya usut, ada banyak luka di sana. Dan Roger, dia sendiri ragu tidak bisa melihat luka di mata Anna.
"Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang salah pada wajahku?" Roger menepuk pipinya pelan.
Perempuan itu menggeleng pelan, tangan kirinya yang memang paling dekat dan paling bisa menjangkau Roger terangkat, mengusap rahang tegas pria itu perlahan dengan tatapan yang juga lurus ke arah sana. "Sudah berapa kali mencium perempuan, Kak?"
Roger terdiam. Matanya terkunci pada wajah Anna yang begitu ayu di pandangannya. Dan beberapa detik kemudian, dia menggeleng kaku sendiri yang membuat Anna tertawa tanpa bisa dicegah. "Tidak apa-apa, Kak. Tidak perlu dijawab. Aku hanya iseng."
"Dengan Lili. Aku hanya berciuman dengannya selama ini."
"Hanya sebatas ciuman? Tidak sampai lebih? Kalau Kakak mau melamarku, aku harus tahu hal dasar ini terlebih dahulu baru bisa memutuskan." Anna masih sempat tersenyum, merasa tidak masalah dengan jawaban dari pertanyaan tadi.
"Belum. Hanya sebatas ciuman, tidak lebih." Balas Roger terlihat tidak begitu tertarik tapi Anna tahu kalau pria ini sedang tidak berbohong kepadanya.
"Ya, silakan datang ke rumah. Aku sudah mendapat jawabannya."
"Apa?!" tanya Roger langsung saja.
Dan seperti tadi, Anna hanya tertawa seadanya. Ada waktunya sendiri untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan Roger hari ini. "Nanti, aku akan menjawabnya."
Baiklah, memang sudah seharusnya Roger tidak memaksa. Setiap orang memang memiliki hak atas pilihannya sendiri. Entah nanti Anna menerimanya ataupun tidak, itu mungkin sudah menjadi hal terbaik dari yang terbaik yang Tuhan takdirkan untuk mereka.
Roger melihat ujung kakinya sejenak, lantas menoleh ke arah Anna dan tersenyum tipis. "Kau belum bisa tidur, kan? Aku juga. Ayo aku temani bergadang."
"Boleh." Anna mengiyakan. Lagi pula, dia memang belum bisa tidur. Jadi daripada pikirannya sampai kemana-mana, lebih baik dia berbicara dengan Roger saja.
"Mau bercerita tentang apa? Masa kecil kita? Atau saat kita berjauhan?"
"Masa kecil." Jawab Anna mantap dengan senyuman tipis di bibirnya. "Ada banyak yang aku lupakan. Jadi, tolong buat aku ingat apa yang terlanjur aku lupakan, Kak."
"Baiklah. Kita mulai dari kau tercebur kolam. Kau masih mengingatnya, Anna?"
Butuh beberapa waktu sampai Anna mengangguk samar karena dirinya sendiri tidak yakin dengan ingatannya. Apa-apa yang sempat menjadi traumanya terlupakan begitu saja.
"Saat usiamu enam tahun, kau tercebur kolam renang karena dilempar pelampung oleh Khris. Jantungmu hampir berdetak dulu. Untung Jordan memberikan bantuan pertama saat kau sudah diangkat di tepi kolam. Dan, kau bernafas lagi."
"Benarkah?" Anna nampak berpikir. "Pantas saja Kak Jordan sering kali ditatap tajam oleh Papa dan Kak Khris. Jadi itu alasannya."
"Hm, saat kau dibawa di rumah sakit, aku tetap di rumah bersama Jordan. Dia dihukum Paman."
"Dipukuli?" Anna bertanya dengan nafas tercekat.
"Hanya sedikit cambukan sampai membuat punggungnya berdarah. Kau betulan tidak ingat? Kau yang memarahi Paman saat tahu Jordan dihukum." Roger menatap Anna yang masih saja terlihat seperti orang punya banyak masalah.
Anna memejamkan matanya dalam-dalam. Sayangnya, dia tidak ingat apa-apa. Yang dia ingat, Jordan menangis tersedu-sedu dan meminta maaf kepadanya. Dia tidak ingat yang lainnya.
"Aku tidak ingat dan tidak bisa berenang sampai sekarang." Bisik Anna lirih. "Tenang saja, aku kan bisa renang, aku bisa mengajarimu. Aku tidak akan seperti guru jahat yang menenggelamkan paksa muridnya."
"Sepertinya Kakak pernah mengajariku, tapi aku setengah ingat setengah tidak. Yang aku menangis karena tidak bisa-bisa, kan? Kakiku selalu terangkat satu dan tenggelam yang lain sampai hidungku mimisan."
Roger tergelak. "Kau bahkan tidak bisa meluncur, Anna. Padahal, itu gaya paling dasar."
Anna akui dia memang secemen itu kalau urusan berenang. Tapi kalau menggambar, semua orang di rumah kalah darinya. Anna yang jago. "Tapi aku pintar gambar. Tuhan Maha Adil tahu, Kak. Aku tidak bisa berenang, tapi aku bisa menggambar sesuatu sampai detail. Jadi, adil, kan?"
"Hm, Dia memang memberikan setiap hambw-Nya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi jangan insecure."
"Hai, memangnya siapa yang insecure?" Anna merasa tersendir mendengar Roger mengatakan hal seperti itu.
"Waktu melihat Lili bersamaku, kau cemburu, kan? Aku bisa melihatnya. Kau shock sekali."
"Mana ada? Tidak, ya!" Anna menggelak, tidak terima meksi kenyataannya memang itu yang terjadi. Untung saja dia tidak sampai menangis di sana.
"Alasan. Boleh kupeluk?" tanya Roger tiba-tiba.
Anna terdiam beberapa saat, mengangguk setelahnya. Dan Roger, dengan senyuman yang begitu lebar, dia mendekap tubuh Anna hati-hati, berharap jika pelukannya tidak sampai menyakiti Anna lagi.
"Terima kasih sudah menjadi temanku, Anna."
"Terima kasih juga sudah menjadi temanku, Kak. Tapi maaf, aku tidak bisa membalas pelukannya?" Anna menggerakkan tangan kirinya yang terjepit tangan Roger. Dan detik setelahnya, mereka malah tertawa seperti orang bodoh. Padahal, tidak ada yang lucu sama sekali.
Mungkin, mereka sedang merayakan pertemuan mereka kembali secara resmi setelah kemarin-kemarin ada-ada saja dramanya.