Seperti yang sudah Roger katakan, dia ingin menemani Anna saat menjalani perawatan. Karena itu, pagi ini, ketika mereka terbangun setelah semalam menghabiskan waktu untuk bertukar cerita, Anna dibantu perawat untuk persiapan menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Sementara Roger yang merasa keadaannya lebih baik tetap kekeuh ingin menemani Anna meski dia tidak bisa masuk ke ruangan yang sama dengan perempuan itu sekalipun.
Dan sekarang, dengan dibantu oleh perawatnya, Anna diminta menggunakan kursi roda karena tadi hampir limbung karena kepalanya sakit saat digunakan untuk berdiri. Sementara Roger hanya berdiri di belakang, mengikuti kemanapun Anna dibawa pergi.
Kalau Roger sendiri baik-baik saja, dia pasti sudah pamit pergi ke Singapura. Namun ya sudah lah, Anna jadi seperti ini juga karena ulahnya. Jadi apapun yang terjadi, dia harus tanggungjawab penuh. Bahkan, dia ingin melamar Anna di waktu dekat ini. Entah yang dikatakan Roger beberapa saat lalu hanya candaan belaka atau memang serius, tidak ada yang tahu. Yang jelas, sorot matanya tidak main-main seperti saat tengah menggoda.
"Kak?" Anna menoleh, sedikit mendengarkan untuk melihat Roger yang langsung digenggam tangannya oleh pria itu.
"Hm?"
"Kakak istirahat saja. Kan ada perawat yang membantuku. Nanti aku mintakan pemeriksaan ku, ya?"
Roger langsung menggelar, tidak setuju. Padahal, kemarin sepertinya Anna sudah menyetujui kalau Roger ikut menemaninya. "Keluargamu tidak datang karena percaya padaku, Anna. Kalau aku ditanyai tentang kondisimu dan aku tidak bisa menjawab, tidak salah seandainya Paman dan kedua kakakmu menghajarku karena aku sudah berbohong dan tidak menjagamu seperti yang seharusnya. Memangnya kenapa kalau aku ikut ke sana? Seperti yang kau bilang, aku hanya bisa melihat di luar, kecuali pemeriksaan sudah selesai. Mungkin, aku baru bisa masuk menghanpirimu dan bertanya pada dokter tentang keadaanmu yang sebenarnya."
Sebenarnya, tidak diberitahu pun, Anna tahu tentang semua yang Roger katakan. Hanya saja, Anna merasa kalau akan membuang-buang waktu saja jika Roger menungguinya. Bahkan kalau Roger mau, dia bisa meminta orang memasang kamera agar Roger bisa melihatnya sendiri meski dari kejauhan.
"Hai, memikirkan apa?" Anna menggeleng pelan. Rasanya damai saja saat Roger mengusap punggung tangan kanannya begitu lembut. "Ya sudah, kau masuk saja dan aku akan menunggu di luar. Cepat sembuh, Na."
Anna tersenyum, kemudian mengusap putih-putih entah apa yang berada di pundak Roger. "Kakak cepat pulih juga, biar cepat kerja lagi."
"Hm, kalau soal itu kau jangan khawatir. Masuk lah, aku menunggumu di sini."
Roger menatap nanar tangan Anna yang makin parah dari hari sebelumnya. Dan yang membuat Roger salute, Anna tidak mengeluh sama sekali. Perempuan itu tetap bersikap seperti biasa. Waktunya tersenyum ya tersenyum. Waktunya fokus ya fokus.
Sementara Anna di bawa masuk, Roger duduk sejenak mengusap dadanya. Selalu seperti ini. Saat panik melandanya, dadanya seakan ditekan gajah padahal Roger tidak punya penyakit asma atau penyakit pernafasan lainnya. Dia juga sudah melakukan pemeriksaan dan check up berkali-kali. Namun tetap saja, hasilnya normal dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Saat masuk, pertama kali Anna diajak berkenalan dengan dokternya. Setelah itu, dia ditanyai apakah siap dan bersedia kalau diajukan pertanyaan tentang kecelakaannya kemarin, takutnya Anna tidak siap dan malah tertekan sendiri. Untungnya, Anna mengangguk mantap meski pelan sekali. Dia tidak apa-apa jika membahas tentang kecelakaannya. Lagi pula, kalau tidak seperti itu harus bagaimana lagi?
"Apa tanganmu kau gunakan untuk menahan tubub saat jatuh?"
Anna menggeleng. "Tidak ingat, Dok."
Lantas, sang dokter melihat ke arah sang perawat.
"Setelah kecelakaan, pasien sudah tidak sadarkan diri, Dok. Dari rekam medisnya, pasien sudah pernah mengalami kecelakaan dan benturan hebat di kepala. Dan kecelakaan kemarin, pasien sampai harus menerima transfusi darah karena kehilangan banyak darah.
Dokter yang tadinya melihat berkas tentang riwayat kesehatan Anna, langsung menatap Anna dalam diam yang dibalas perempuan itu dengan senyuman seadanya juga. "Kalau begitu, mari kita mulai pemeriksaannya."
Anna sudah diletakkan pada berangkar yang nantinya akan dimasukkan di ruang untuk pemindaian. Perempatan itu terlihat rileks sekali. Dan saat pemeriksaan dimulai, MRI bekerja untuk memindai tubuh Anna dan dokter mengamati begitu serius, memang pergelangan tangan Anna mengalami kepatahan parah.
"Sebentar, di kepalamu-"
Anna melambaikan tangannya dan sadar dengan itu semua, pemeriksaan diberhentikan dan Anna ditarik keluar. Dan ternyata, hidung perempuan itu mengalami perdarahan lagi. Pantas saja mesin mendeteksi ada yang tidak beres.
Anna langsung dipindahkan ke kursi roda dan diberikan penanganan pertama. Perempuan itu nampak lesu.
"Kepalanya sakit?"
Perempuan malang itu mengangguk sebisanya karena kepalanya nyeri sekali. Anna bahkan tidak ingat apa kepalanya terbentur waktu kecelakaan. Yang jelas, kepalanya sakit sekali yang membuat Anna ingin dihentikan saja perawatannya dan fokus ke tangannya.
Roger yang di luar Sebenarnya sudah curiga begitu Anna dikeluarkan begitu cepat dan seperti dikerubungi sang dokter dan perawatnya yang terlihat sedang melakukan sesuatu dari luar. Dan begitu melihat mata Anna terpejam rapat dari kejauhan, Roger langsung berjalan cepat, masuk ke ruangan itu tanpa izin, menghampiri Anna dan jongkok di depan kursi roda perempuan itu.
"Na? Apa yang terjadi?" Anna melihat ke arah Anna, kemudian menatap dokter dan perawat di sana secara bergantian. "Anna kenapa, Dok? Kenapa jadi lemas seperti ini? Tadi dia baik-baik saja."
"Kak?" Anna berbisik lirih. "Kakak jangan khawatir, aku baik-baik saja."
"Baik-baik ap-"
Anna meringis, pelipisnya berkeringat yang membuat Roger mencelos saat Anna memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri. Dan yang lebih menyakitkannya lagi saat Anna meringis pelan dan ambruk yang untungnya masih bisa ditahan oleh Roger yang memang tengah berjongkok di depannya.
"Anna? Anna? Dokter ini kenapa?!" Roger memekik saat Anna jatuh di pelukannya. Untungnya lagi, tangan Anna tidak sampai kenapa-kenapa juga.
Dengan cekatan, dokter dan perawat membantu menegakkan tubuh Anna. Kemudian, Roger yang berbesar hati memindahkan Anna ke berangkar rumah sakit. Tubuhnya lemas sekali. Roger bahkan seperti bisa merasakannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Anna sampai seperti ini. Meski kalau sekali lagi mau diusut, jelas Roger yang bersalah karena semua yang terjadi memang dia penyebabnya.
Untungnya Roger termasuk orang yang sadar diri. Dia agak menjauh saat Anna diberikan pertolongan pertama dan kembali dilarikan ke ruangan pertamanya yang tak lain bersama dengan Roger karena alat di sana yang akan menunjang pernafasan Anna.
Dan dari banyaknya yang dokter dan perawat katakan sedari tadi, hanya satu yang Roger tangkap. Detak jantung perempuan itu lemah.
"Apa ada masalah dengan jantung Anna, Dok. Sepertinya dia baik-baik saja."
Dokter pria itu menatap Roger dalam. "Kalau dari berkas riwayatnya, tidak ada gangguan di jantungnya sama sekali. Detak jantungnya lemah bisa disebabkan oleh banyak faktor. Untuk hasil diagnosis yang lebih akurat, kami akan melakukan pemeriksaan lagi. Sementara ini, biar pasien istirahat dulu. Kalau operasi juga harus mengecek kondisi keseluruhan. Jadi jangan terlalu khawatir. Kami hanya menemukan patah di tulang pergelangan tangan kanannya."
Roger menghela nafas lega, setidaknya, Anna hanya terluka di pergelangan tangannya daripada ada benturan di bagian dalam yang belum terdeteksi.
***
Sebenarnya Anna sudah tersadar sejak beberapa saat lalu. Namun, dia tidak tega jika membangunkan Roger yang terlelap di sampingnya sampai Khris yang sudah diberi kode oleh Anna agar tidak rusuh sudah terlanjur rusuh sehingga membuat Roger terbangun dan menatap Anna terkejut.
"Na? Sudah sadar? Ada yang sakit?" tanya pria itu dengan wajah khawatir saat membuka mata tahu-tahu Anna juga sedang menatapnya.
"Aku panggilkan dokter, ya?"
Anna menggeleng lemah. Kebetulan Roger ada di sisi kirinya yang bisa membuat Anna menahan pria itu agar tidak pergi dari sampingnya. "Aku tidak apa-apa, Kak."
"Tadi kenapa pingsan lagi? Kepalanya sakit? Jangan berbohong Anna?" Roger menatap Anna memohon sementara yang ditatap malah tersenyum kalem seperti tidak terjadi apa-apa.
"Aku tidak apa-apa, Kak. Sungguh."
"Halah!" Khris mengambil ruang di samping kanan Anna hati-hati agar tidak sampai mengganggu tangan adiknya. "Kalau Anna bilang tidak apa-apa, berarti ada apa-apa. Jangan percaya!"
Anna hanya memutar bola matanya. Kakak keduanya ini memang biang-biang membuat rusuh. Suka sekali menggodanya. Padahal, dia sudah punya istri sendiri yang bisa digoda seenak hati. Sayangnya, Anna tetap jadi incarannya untuk digoda.
"Kak come on? Jangan suka membuat orang kepikiran." Anna meratapi kakak laki-lakinya ini lelah. Badannya saja masih lemas, tapi selalu saja digoda ini itu.
Tangan Roger lantas terulur, mengusap tangan kiri Anna pelan, menatapnya seperti memohon. "Aku panggilan dokter saja, ya? Biar diperiksa lagi?"
"Aku tidak apa-apa, Kak. Hanya sedikit pusing tadi. Kakak jangan khawatir."
"Jangan khawatir bagaimana? Kau tadi pingsan!" Roger memekik tanpa bisa dicegah dengan mata yang menatap tidak percaya.
"Hei, hei, tenang." Khris seakan memisah perdebatan kecil mereka. "Kenapa adikku malah kau marahi?" tanyanya.
"Kalau bilang jangan percaya kalau Anna bilang tidak apa-apa. Jadi aku harus curiga kalau sebenarnya dia kenapa-kenapa!" kata Roger langsung saja, tak berpikir panjang sama sekali.
Anna yang di sana hanya bisa mendesah lelah, lantas meringis karena guncangan yang tidak sengaja dilakukan oleh Khris membuat tangan kanannya nyeri.
"Na?! Maafkan aku. Aku tidak sengaja."
"Kakak pecicilan." Keluh perempuan itu semakin lesu yang langsung membuat Khris buru-buru keluar dan memanggilkan dokter untuk Anna. Padahal kalau mau, dia bisa langsung menekan emergency call di sana, tapi Khris lebih memilih keluar.
"Sakit sekali?" Roger mengusap rambut Anna sayang saat perempuan itu memejamkan matanya dalam-dalam.
"Kakak bisa keluar dulu?" Anna menatap pria ini nanar.
"Kenapa aku diusir?" tanyanya bingung. "Aku tidak akan menggangumu. Tidak akan menganggu juga kalau kau diperiksa nanti. Izinkan aku menemanimu di sini. Aku janji tidak akan menganggu." kata Roger sungguh-sungguh.
Perempuan itu menggeleng. "Tolong keluar dulu." Pintanya memohon sekali.
Roger berdiri, dia sedikit bangkit dan ingin mendekat tapi Anna langsung memalingkan wajah yang membuat Roger langsung keluar dari ruangan saat itu juga. Bukan hanya keluar dari ruangan itu. Namun, Roger juga pergi dari rumah sakit itu tanpa pamit pada Khris yang sempat menegurnya di selasar rumah sakit.
Dan begitu kembali ke ruangan Anna, Khris mengembuskan nafas lega Anna tidak kenapa-kenapa. Dia tidak bertanya apa-apa. Hanya duduk di posisi yang sempat Roger duduki tadi dan menggenggam tangan adik kesayangannya itu erat.
"Dokternya belum datang. Tadi kakak sudah bilang pada perawat untuk mendatangkan dokter segera untukmu. Bengkak di tanganmu makin parah Na. Ini harus operasi."
Anna hanya mengangguk seadanya. Tangannya benar-benar sakit sekali. Dan rasanya begitu tajam hingga tak ada jeda yang bisa membuat perempuan itu tenang.
"Kak Roger kemana, Kak?"
Khris menyerngit bingung. "Dia tidak pamit padamu?" tanyanya memastikan terlebih dahulu. "Tadi aku melihatnya di selasar rumah sakit tapi saat kusapa, dia diam saja."
Mendengar jawaban Khris, Anna hanya mengembuskan nafas sebisanya. Lantas betulan ada dokter yang datang dan langsung menangani Anna. Dia kembali diperiksa lagi biar prosedur operasinya bisa segera dilaksanakan. Kasihan Anna jika terus menunggu lama. Sementara Anna sendiri sakit begini sudah memikirkan pekerjaannya yang pasti keteteran semua. Apalagi nanti, dia pasti tidak bisa bekerja dengan maksimal sama sekali. Dan masalah besarnya, Anna tidak bisa menggambar.
***
Satu hari setelahnya, Anna dioperasi. Perempuan itu terlihat tak bersemangat sama sekali. Saat orang semua keluarganya datang, dia hanya bisa menampilkan senyuman andalannya agar keluarganya ini tidak khawatir terlalu berlebihan karena Anna tidak apa-apa.
Soal Roger yang pergi, Anna tidak pernah bertanya lagi setelah hari itu. Hari di mana Khris mengatakan kalau Roger pergi. Ya, memangnya Anna mau apa, kan? Dia yang meminta Roger pergi. Kalau saat ini pria itu tidak menemaninya, bukan salah siapapun. Lagi pula tidak ada yang Anna sesali. Memang lebih baik seperti ini karena dirinya memang tidak memiliki hubungan status yang spesial dengan Roger. Jadi, Anna tidak berharap sama sekali. Karena dia tahu, harapannya terlalu besar dan banyak risiko yang mengintainya kelak. Apalagi ditambah perkataan papanya waktu lalu seakan menambah beban di pundak Anna.
"Na, mikir apa? Dari tadi diam terus?" Anna tersentak saat Jordan menanyainya. Karena terkejut ada Jordan, Anna sampai memekik dan meminta peluk kakak pertamanya itu. Dia mendadak mengingat apa yang diceritakan oleh Roger padanya.
"Eh, tumben peluk-peluk, ada apa, Na?" Jordan berujar lembut yang membuat Anna malah menangis tanpa bisa dicegah. Sementara Jordan panik karena Anna tiba-tiba menangis, yang terus ditanyai hanya diam saja dan terus menangi.
"Sayang? Kok malah nangis, Na? Hei, kenapa? Cerita sama Kakak. Tanganmu sakit, iya?" pria ini mengusap puncak kepala Anna sayang. Menghapus sisa-sisa keringat di sana.
Anna hanya menggeleng pelan.
"Terus kenapa menangis? Ini tangannya hati-hati, nanti sakit lagi." Jordan memperingatkan saat Anna bergerak gelisah. Takutnya Jordan terjadi apa-apa kalau Anna terus saja seperti itu.
"Maafin aku ya, Kak. Gara-gara aku, Kakak dipukul sama Papa. Padahal kan, Kakak nggak salah."
"Hm? Kamu bicara apa?" Jordan menatap Anna bingung. "Kapan Kakak dimarahi Papa gara-gara kamu. Kalau menjaga kamu itu sudah kewajiban ku, Anna. Kalau ada sesuatu yang buruk terjadi sama kamu, bukan salah Papa kalau marah sama Kakak. Itu artinya Kakak memang lalai jaga kamu."
"Aku baru tahu kalau Kakak dipukul Papa waktu aku jatuh di kolam renang. Padahal kan, itu bukan salah Kakak. Aku saja yang tidak siap-siap padahal Kakak sudah memperingatkan."
"Kamu menangis gara-gara ini?" Jordan malah tergelak. "Jangan bercanda Anna. Itu sudah lama sekali. Kakak bahkan tidak mengambil hati apa yang Papa lakukan karena Kakak memang salah, kan. Tidak apa-apa, kau tidak perlu minta maaf. Itu sudah lama sekali Anna. Jangan dipikirkan. Kamu fokus saja dengan kesembuhanmu."
Meski sudah dibilangi seperti itu, Anna tetap saja menangis malah makin menjadi-jadi. Sementara Jordan terus menenangkan. "Sayang, sudah besar lhoh, nanti diketawain sama calon ponakan kamu. Sudah menangisnya, nanti kepalanya pusing, hm?"
Tangisan Anna sedikit mereda saat Jordan membisikkan kata-kata menenangkan di telinganya dan bercerita sesuatu yang membuat Anna sedikit lega.
"Kau tahu bagaimana Papa menangis saat nafasmu berhasil didapatkan, Anna?"
Anna menggeleng sebagai jawaban. Dia juga tidak tahu apa yang terjadi saat dia lahir dulu. Orang tuanya tidak pernah bercerita dan Anna juga tidak pernah bertanya. Baginya itu semua tidak penting. Baginya, mereka yang memang keluarganya. Tidak ada yang lain. Anna sangat menyayangi mereka semua.
"Saat kau lahir, kau tidak menangis, Anna. Mama sudah menangis heboh karena takut kau kenapa-kenapa."
"Aku normal kan, Kak?"
"Caesar. Dari yang kudengar waktu itu, Mama sebenarnya mau normal. Sayangnya, nafasnya tidak kuat karena kau bandel sekali, tidak mau keluar. Jadinya, Mama kehabisan tenaga dan langsung diambil tindakan operasi. Saat kau lahir, bayimu tidak menangis yang membuat Papa sampai pingsan karena Mama terus menangis dan kau tetap tak kunjung bernafas juga."
"Kau sempat bernafas, menangis sebentar setelah itu tidak berhenti. Dan entah apa yang dokter lakukan, akhirnya kau menangis kencang sekali yang membuat tangisan Mama semakin hebat karena haru. Putrinya yang dinanti-nanti akhirnya bisa dipeluk. Papa juga langsung diberi bantuan pertama. Papa ikut menangis saat tahu kau sudah menangis di pelukan Mama."
"Melahirkan mu taruhannya nyawa Anna. Kau adalah kesayangan kami. Aku juga tidak bisa memaafkan diri sendiri kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk denganmu. Karena itu aku merasa pantas dengan hukuman yang Papa berikan. Lagi pula, memang aku yang membuatmu terjatuh dan hampir tiada."
"Aku bersyukur sekali punya Kakak sepertimu, Kak. Maafkan aku yang selalu menyusahkan ini, ya."
"No, Sayang." Jordan mengecup puncak kepala Anna sekali lagi. "Maafkan Kakak yang kurang bisa menjagamu selama ini. Kakak masih banyak lainnya menjaga kamu. Cepat sembuh, ya."
"Hu'um." Anna mengangguk pelan dalam dekapan Jordan. Dia selalu nyaman saat bersama kakaknya. Dia sangat bersyukur sekali Tuhan memberikan dirinya dua kakak laki-laki yang begitu mencintai dirinya.
"Ya sudah istirahat dulu. Kakak tunggu di sini."
Jordan melepas pelukannya dan kembali duduk, mengusap puncak kepala Anna sayang. Sementara yang diusap puncak kepalanya juga sibuk mengusap air matanya sendiri.
"Kakakku mana? Kenapa tidak ke sini? Tidak rewel lagi, kan?"
"Biasa. Kandungannya makin tua malah baru morning sick. Dulu pas kandungannya masih muda nggak rewel sama sekali."
Anna menatap Kakaknya ini tidak percaya. "Kalau begitu, kenapa malah di sini. Kakak pulang saja. Istri dan anak Kakak lebih penting daripada aku. Di sini masih ada perawat yang menjagaku. Kalian semua pulang saja."
"Malah diusir?"
"Kak Jordan?!"
"Khris akan tetap di sini. Aku tidak mau mendengar kau pingsan lagi. Tidak ada bantahan!" Kata Jordan langsung saja saat Anna sudah siap bersuara yang langsung membuat perempuan itu kembali menutup bibirnya rapat-rapat dengan raut tertekuk.
"Ya sudah, Kakak pergi dulu. Baik-baik di sini. Nanti Kakak ke sini lagi. Get well soon, Sayang."
"Thank you, Kak." Anna menerima kecupan di puncak kepalanya dengan senang hati m Kemudian tersenyum saat melihat Jordan pergi. Dan sekarang, Anna hanya sendirian tanpa ada yang menemani. Karena Khris juga Anna minta untuk di luar saja. Anna memang ingin sendiri untuk saat ini.