Anna sudah pulang ke rumah sejak tiga hari yang lalu. Selama itu pula, dia benar-benar tidak diperbolehkan bekerja. Yang diperbolehkan hanya mengangkat telfon dari butik karena semua pekerjaannya sudah dialihkan ke orang lain. Jadi, tidak ada alasan bagi Anna untuk tidak istirahat.
Tangannya dipasang pen. Semoga saja, tangannya bisa segera pulih dan dapat berfungsi dengan baik seperti sedia kala.
Seluruh keluarga tak ada hentinya memperhatikan dirinya layaknya dia adalah anak kecil yang baru saja jatuh dan harus dilihat terus sampai benar-benar sembuh.
Ada kalanya, Anna merasa aneh dengan semua perhatian yang diberikan padanya. Namun, takdirnya memang sudah seperti ini. Jadi, Anna harus menerimanya dengan lapang dadaa dan mensyukurinya. Tidak ada yang lebih baik daripada apa yang Tuhan berikan padanya. Karena dirinya memang sudah ditakdirkan hidup seperti ini dengan semuanya yang ada. Yang bahkan, jauh sebelum Anna dilahirkan.
Seperti halnya sekarang. Orang yang menabraknya datang ke rumah dan meminta maaf secara langsung kepada Anna. Anna sudah memaafkan dan malah meminta maaf balik karena memang dirinya yang menyeberang tidak melihat kanan kiri. Jadinya kecelakaan itu terjadi.
Bukan tanpa alasan orang yang menabraknya datang. Dia tidak mau dikasuskan karena sempat ingin melarikan diri tapi dari arah depan malah dia menghantam mobil orang lain. Untung Anna yang saat itu masih berada di jalan tidak sampai terlindas atau apa. Kalau itu sampai terjadi, Barack Abraham tidak akan mengampuni orang ini. Sampai ujung dunia sekalipun, Barack akan mencarinya dan memberinya hukuman.
Khris yang tukang kompor yang sukanya memanas-manasi saja malah menenggor pelan punggung Anna saat perempuan itu memaafkan orang yang menabraknya begitu saja. Maksudnya, yang menabrak pantas mendapat hukuman.
Ayolah, Anna keluarga terpandang. Dia anak orang konglomerat. Jadi, tidak sulit mendapat banyak dukungan bahkan dari pihak yang berwajib sekalipun. Memang dasarnya Anna orang yang baik, jadi memaafkan begitu saja daripada memperpanjang urusan yang jatuhnya malah membuang-buang waktu.
Dan saat orang itu pulang, Khris langsung menyusulnya keluar. Dia masih tidak terima adiknya ditabrak meski Anna sudah memaafkannya sekalipun. Karena jelas, Khris tahu kalau Anna sempat ingin ditinggal kabur. Khris jadi membayangkan kalau kejadian kecelakaan itu tidak terjadi di depan rumah sakit, Anna pasti ditinggalkan begitu saja dan Khris tidak terima. Dia tidak pernah terima kalau adiknya sampai kenana-kenapa.
Sementara keluarga yang lain tetap diam saja menuruti keinginan Anna. Karena ya, kalaupun pria yang menabrak Anna berniat untuk melarikan diri, dia tidak akan bisa. Karena Pak Barack sudah memasang orang agar yang menabrak Anna ditempatkan di luar kota ini.
Pak Barack sudah curiga sedari awal kalau yang terjadi pada Anna karena motif kesengajaan. Meskipun dirinya belum menemukan bukti yang valid, Pak Barack tidak mau melepaskannya begitu saja. Karena itu langsung dikirim jauh atau malah Pak Barack memasukkannya ke dalam penjara secara paksa.
"Sudah merasa lebih baik, Sayang?" Bu Irish menghampiri Anna dan mencium pipi anak perempuannya ini sekilas.
"Iya, Ma."
"Mau mama temani tidur? Kenapa menolak ditemani. Bagaimana kalau waktu malam ingin buang air atau semacamnya?"
Anna tersenyum menenangkan, mengusap punggung tangan mamanya yang juga sedang mengusap pahanya. "Aku kan sudah besar, Ma. Bisa menjaga diri sendiri. Mama jangan khawatir. Tidur dengan Papa saja. Buatkan aku adik perempuan biar Kak Khris tidak selalu menggodaku."
Bu Irish tergelak mendengar perkataan putrinya ini. "Daripada membuatkanmu adik, lebih baik kau berikan mama cucu, Sayang."
Dan sekarang, malah Anna yang tertawa cekikikan, merasa geli sendiri. "Sudahlah Ma, aku ingin ke kamar dulu. Tolong jangan biarkan ada Kak Khris yang menganggu, ya? Dia berisik sekali seperti lebah."
"Iya Sayang. Istirahat saja." Seraya membantu sang putri kembali ke kamarnya, Bu Irish berpesan agar Anna tidak terlalu kepikiran. Anna sendiri langsung mengiyakan karena dia juga tidak mau pusing kepala memikirkan kejadian tidak sengaja yang menimpanya. Lagi pula, ini memang tidak sengaja, Anna yakin itu. Kalau disengaja, kecelakaan yang Anna alami tidak mungkin seringan ini.
Maksudnya, bukan menyepelekan kecelakaan yang dialami sendiri. Napak tilas dari yang kecelakaan parah waktu lalu, sudah jelas ini ketidaksengajaan di mata Anna. Apalagi, pelakunya dibiarkan pergi. Memang tidak ada unsur kesengajaan di kecelakaannya kali ini.
Sedangkan Jordan yang sedang work from home hanya diam di kamar ditemani sang istri-Kania yang tengah beristirahat karena sedang hamil besar.
"Sayang, aku mau lihat Anna boleh, ya?"
Jordan yang duduk di meja kerja dengan mata fokus ke arah laptop menggeleng pelan. "Tidak. Istirahat saja."
"Tapi aku kan ingin melihatnya." Kania merajuk seraya mengusap perutnya yang sudah besar. "Mau menemani dia. Lagi pula, aku tidak akan kecapaian."
"Kalau kau muntah di sana, Anna akan susah, Sayang. Di sini saja temani aku."
Kania mencebik ingin menangis meski hanya dilarang begitu saja. Padahal, mereka satu atap, Kania tidak akan kecapaian karena kamar Anna sementara di bawah agar perempuan itu tidak perlu naik turun setiap harinya. Jordan memang seperti itu. Proteknya minta ampun kepada orang yang dia sayangi, termasuk istrinya ini.
"Ih nanti kalau baby-nya ngeces, aku tidak mau tanggung jawab, ya?"
Jordan menggeleng pelan dan tersenyum kecil. "Alasan saja. Pokoknya tidak boleh. Istirahat. Kalau nanti ingin menemani Anna, aku temani. Tapi tidak sekarang. Dia juga sedang istirahat."
Ya, selalu seperti itu. Baiklah, Kania tidak akan memaksa. Kepalanya memang sedikit agak pusing dan mual juga. Suaminya ini memang benar. Kalau dia tetap ingin menemani Anna, yang ada Anna susah sendiri karena dia juga tidak bisa membantu banyak seperti sebelumnya.
***
Satu yang orang-orang tidak tanyakan pada Anna sebelum bahkan setelah pulang dari rumah sakit.
Roger.
Anna tidak pernah bertanya tentang Roger dan keluarganya seakan paham. Mereka tidak pernah membahas perihal Roger sama sekali di depan Anna. Yang ada, mereka malah mengajak Anna berbincang mengenal hal lain meski sebelum ini, biasanya Anna digoda karena kembalinya Roger di sini lagi setelah sekian lama.
Lalu yang membuat kakkanya heboh, apa lagi kalau bukan Ilyas?
Pria yang tak kalah tampan dengan Roger itu datang secara pribadi menemui Anna yang tentu saja langsung diizinkan karena Ilyas bukan orang lain lagi. Pria itu entah sudah melamar Anna berapa kali dan jawabannya selalu tidak. Namun, dia tidak menyerah. Buktinya, dia datang menemui Anna sekarang. Pria ini memang seserius itu pada Anna. Sayangnya, memang Anna yang tidak mau dengannya.
Bagaimanapun, perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Daripada jatuhnya nanti saling menyakiti, Anna memilih berteman saja meski tahu kalau hubungan antara laki-laki dan perempuan katanya tidak ada yang pure pertemanan. Pasti ada salah satunya yang merasakan sesuatu.
Namun kenyataannya, Anna jelas mencintai orang lain. Jadi, intinya perasaan Anna tidak bisa dipaksakan apapun yang terjadi. Bahkan untuk Ilyas yang selama ini sudah sangat baik terhadap dirinya sekalipun.
"Mau makan sesuatu Na, aku bisa membelikannya untukmu." Ilyas menatap Anna yang tengah meratapi air kolam yang tenang dalam diam.
"Aku ingin jalan-jalan, Kak. Tapi pasti tidak diizinkan keluar." Kata Anna sendu.
Akhir-akhir ini, semua orang semakin protektif pada dirinya. Padahal, Anna sudah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Namun tetap saja respon mereka berlebihan di mata Anna.
Sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka, Anna tidak asing lagi kalau dia dihujani perhatian tanpa henti. Sayangnya, ada kalanya Anna ingin bebas terbang tinggi, tak dibatasi sama sekali pergerakannya.
"Kalau begitu bersiap-siaplah, aku akan meminta izin pada Paman Barack untuk mengajakmu jalan-jalan."
"Benarkah?" mata Anna berbinar terang. Dia senang sekali mendengar itu dari Ilyas. Setidaknya, dia punya harapan untuk keluar daripada seperti dikurang dalam rumah terus-terusan. Anna rindu menggambar mode-mode yang sekarang berlarian di kepalanya.
"Iya." Ilyas tersenyum meyakinkan lantas berdiri untuk menghadap Pak Barack secara empat mata sedangkan Anna sendiri pergi ke kamar untuk mengambil ponselnya. Anna sudah terbiasa. Kalau pergi, dia wajib membawa handphonenya. Keluarganya selalu khawatir kalau ada apa-apa lagi saat Anna di luar. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Anna duduk di tepi ranjang saat Ilyas memberi kabar kalau mereka diizinkan untuk pergi jalan-jalan. Perempuan itu langsung tersenyum senang dan bergegas keluar karena dia tidak mungkin berganti baju tanpa bantuan orang lain. Jadi ya sudah, dia memakai pakaiannya tadi. Lagi pula masih bersih.
Baru saja Anna melangkah sampai ruang keluarga. Pak Barack memanggilnya penuh semangat.
"Na? Anna tunggu!"
Perempuan itu sudah menoleh saat Pak Barack berjalan mendekat dan tahu-tahu memeluknya tanpa aba-aba. "Yang seneng ya jalan-jalannya. Jangan keluar dari mobil."
"Okay, Pa." Anna menghela nafas tertebak. "Tidak boleh keluar dari mobil. Tidak boleh makan makanan sembarangan. Tidak boleh komunikasi sama orang lain."
"Putri Papa pintar." Pak Barack tersenyum renyah. Hanya bersama Anna pria paruh baya yang berwajah sangar ini terlihat manusiawi.
"Oh iya, satu lagi." Lanjut Pak Barack kemudian. Anna yang tadinya sudah berbalik ingin pergi, malah tidak jadi.
"Apa lagi, Pa?
"Mamamu bercerita kalau kau ingin dibuatkan adik baru. Bagaimana kalau kau saja yang membuatkan papa cucu?"
"Astaga, Papa!" Anna memekik tanpa sadar, wajahnya memerah semu.
"Tidak apa-apa, Na. Papa mendukungnya hubungan kalian sejak dulu. Tapi kau yang selalu menolak Ilyas. Siapa yang kau tunggu, hm? Jangan sampai kau kehilangan orang seperti Ilyas, Sayang. Dia satu dari seribu orang di dunia ini yang tetap sabar menunggumu setelah bertahun-tahun lamanya selalu kau tolak."
Mendengar papanya berbicara panjang lebar seperti itu, Anna malah mendadak sedih. Apa memang perjuangannya untuk menunggu sudah seharusnya ia akhiri?