61. Second

1292 Words
Giving birth memang bukan main-main perjuangannya. Berulang kali Khris memanggil Shilla begitu lirih agar istrinya ini terus mempertahankan kesadarannya, dokter dan perawat yang menanganinya pun meminta Shilla agar berusaha tetap tersadar, dipanggil terus namanya, diminta agar membuka matanya. Hampir 24 jam Shilla berjuang melahirkan. Begitu sudah pembukaan 10, Shilla diminta untuk mengejan. Khris tetap setia menunggui, sesuai janjinya. Lelaki itu tidak kemana-mana, hanya menggenggam tangan Shilla erat, sesekali membisikkan doa di telinga istri yang sangat dicintainya ini. Hingga waktu yang ditunggu-tunggu tiba, ketika suara rengekan pelan dan berujung tangisan kencang terdengar, ada tangis bahagia penuh syukur yang menyertai kelahiran bayi manis berjenis kelamin perempuan ini. Yang begitu cantik seperti ibunya, ada perpaduan dengan wajah sang ayah. Khris jelas tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dia terus mencium dan memeluk Shilla, menggumamkan kata terima kasih yang taka da ujungnya. Karena sampai mati pun, Khris tidak akan bisa membayar perjuangan soeorang istri untuk melahirkan buah hati mereka. “Terima kasih banyak, Sayang. Terima kasih.” Pipi yang dipenuhi buliran air mata itu menempel sempurna pada pipi yang lain yang juga sama dipenuhi air matanya. Rasa bersyukur mereka tidak terbentung lagi. “Terima kasih juga, Kak.” Hanya ini, lirihan pelan yang mampu Shilla beri. Karena dia tidak bisa menutup mata. Memang dirinya yang hamil, tapi Khris sebagai suaminya tidak pernah sekalipun meninggalkannya sendirian saat menjalani kehamilan yang berat ini. “Bayi perempuan, Pak, Bu. Sehat.” Kata sang perawat saat menghampiri Khris yang tidak mau beranjak kemanapun, dia tetap menunggui Shilla. Ada jarak yang Khris ambil untuk melihat putrinya. Namun karena tidak sengaja melihat ke bagian tubuh Shilla yang bawah, dia melihat banyak darah di sana, dan belum sempat menggendong bayinya, dia malah jatuh pingsan lebih dulu. Jelas Shilla malah jadi panik sendiri, tapi ditenangkan oleh perawat yang berada di sana kalau Khris syok melihat pendarahannya. Untungnya Shilla mengerti dan tidak ikutan syok pula. Alhasil dia memeluk putrinya sendiri kemudian masuklah mama pertuanya—Irish yang sangat cantik jelita. Dia menemani Shilla yang masih dijahit. Ikut menangis haru karena kehadiran keluarga baru di keluarga mereka yang sehat. “Terima kasih sudah berjuang, Sayang. Kamu kuat sekali.” Kata Irish saat melihat Shilla memeluk bayi kecilnya. “Terima kasih, Ma. Kak Khris bagaimana?” “Dia baik-baik saja, Sayang. Hanya sedikit syok, sudah ditangani. Istirahat dulu ya, Nak. Mau ditambah darah sama dokter.” Hanya anggukan lemah yang Shilla berikan, kemudian fokus mengajak si kecilnya berpegangan tangan lagi. * Shilla mengalami perdarahan. Walaupun tidak berat, tapi cukup membuat Khris jatuh pingsan saking tak kuat melihatnya. Padahal sudah dibilang kalau Khris tidak memiliki phobia pada darah. Semoga saja dia tidak trauma menghamili istrinya sendiri karena kejadian yang pertama kali baru dia rasakan ini. Jangan salah. Ada yang memutuskan untuk tidak punya anak lagi, atau hanya memutuskan memiliki satu anak saja bukan karena hubungan pernikahannya berantakan atau bermasalah, tapi karena kasus yang dihadapi oleh Khris ini. Lelaki itu takut kalau istrinya hamil lagi, peristiwa perdarahan itu akan terulang dan Khris yang notanene sayang sekali dengan istrinya, jelas tidak mau kalau itu sampai terjadi. Dia tidak mau kalau sampai kehilangan istrinya meskipun kematian itu adalah hal yang pasti. Setidaknya tidak untuk saat ini dan tidak untuk ke depannya. Sungguh, ingatkan Khris kalau semua makhluk yang bernyawa pasti kembali kepada penciptanya. Khris mungkin bisa menghadapi apapun di dunia ini, tapi tidak dengan keselamatan keluarganya. Dia lemah kalau sudah dihadapkan dengan keluarga. Karena keluarganya adalah sumber kekuatan sekaligus kelemahannya. Bahkan yang di saat-saat seperti ini, Tuhan tetap memberikan mereka nikmat yang luar biasa. Di saat Khris—sang ayah yang ditunggu-tunggu kesadarannya, keadaan Shilla sudah lebih membaik. Wajahnya tak sepucat tadi setelah hampir 24 jam berjuang untuk melahirkan putri pertamanya secara normal. Cucu pertama perempuan keluarga Abraham yang pastinya akan mendapatkan banyak cinta dari semua orang. Karena sungguh, cucu perempuan mengalahkan segalanya yang berada di keluarga. Semua orang yang berkumpul sudah lega sedari tadi, hanya saja Khris merusak suasana sekali karena kerap kali menangis ketika melihat Shilla yang masih ditranfusi darah. Saat ditanyai, dia selalu mengatakan tidak tahu yang berakhir membuat semua orang yang berada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Ya antara kasihan, ya merasa geli sendiri melihat Khris seperti anak kecil yang tak segan geluntungan di lantai kalau suster atau dokter masuk dan mengatakan kalau Shilla harus istirahat yang cukup. Suster hanya berkata seperti itu, Khris saja menangis. Terkadang, memang seseorang yang lain tidak seharusnya menghakimi yang lain juga. Dunia bukan tempatnya untuk saling salah menyalahkan dan membenarkan diri sendiri, padahal kalau dari sudut pandang orang lain, sudah jelas kalau semua orang memiliki hak yang sama, yakni hak untuk hidup. Hak yang diberikan secara langsung diberikan oleh Tuhan dan taka da seorangpun yang bisa merenggutnya kecuali Tuhan-nya sendiri. “Kak, dari tadi menangis terus, kan Shilla sama baby kalian baik-baik saja.” Kata sang mama saat melihat putra keduanya ini terus menangis di kursi pojok ruangan di saat semua orang bersenang hati menghampiri Shilla dan putriya, dia sang suami serta sang ayah malah menangis di pojokan, seperti orang hilang saja. “Kenapa? Cerita sama mama.” Lanjut Irish kemudian karena Khris terus saja tidak mau beranjak. Entah apa yang sebenarnya diinginkan oleh anak laki-lakinya ini. Membingungkan sekali. Biasanya perempuan yang sulit dimengerti, sekarang malah Khris yang membuat semua orang nyaris pusing sedari tadi. “Nggak mau punya anak lagi, Maaa, hueee.” “Lhoh, kenapa, Kak? Sini-sini dulu, sama Shilla, dari tadi dia terus menanyakan suaminya bagaimana.” Dituntun Irish untuk menghampiri Shilla, Khris masih saja menangis seperti anak kecil, Anna dan Roger yang berada di sana hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah kakaknya ini. “Bicara sama Shilla dulu, biar tenang.” Dengan begitu lembut, Irish terus meminta Khris agar berbicara dengan Shilla, siapa tahu tangisannya akan mereda dengan sendirinya. Seraya mengusap wajahnya kasar karena sudah menahan tangis sedari tadi tapi tak bisa-bisa, akhirnya Shilla juga yang membantu mengusap air mata sang suami. “Aku dan bayi kita baik-baik saja, Kak. Kakak jangan khawatir. Nanti aku ikut menangis.” Kata perempuan yang baru melahirkan putrinya itu lemah. “Satu anak cukup ya, Shil. Satu anak saja, biar Kak Jordan dan Anna yang buat anak banyak-banyak. Aku tidak mau melihatmu seperti itu lagi.” Tangisnya. Karena tak tega melihat Khris menangis sampai sebegitunya karena dirinya, akhirnya Shilla merentangkan tangannya, minta dipeluk agar tangisan suaminya ini lebih leluasa jika memang Shilla yang menjadi sebab terlukanya. “Jangan sakit, aku takut sekali.” Tangis Khris masih sama. Sebagai seorang teman, sahabat, partner, istri, Shilla paham akan ketakutan yang tengah Khris rasakan karena perdarahan yang sempat dialaminya tadi. Namun, Shilla juga tidak ingin kalau karena kodratnya yang memang pada dasarnya seorang perempuan adalah ibu tidak diperbolehkan lagi untuk hamil. Itu akan sangat tidak adil, mengingat kata dokter, mereka bisa merencanakan anak lagi. “Sudah ya Kak menangisnya? Kakak tidak capek menangis sedari tadi? Aku yang melihat saja lelah.” Kata Shilla jujur saja dengan tangan yang setia mengusap punggung dan kepala suaminya itu dengan tulus. “Sebentar,” gumam Khris lemas, masih mau berlama-lama memeluk Shilla. Shilla saja tadi sudah memberikan ASI perdananya untuk yang buah hati. Rasanya bahagia sekali bisa melihat bayi yang dikandungnya selama sembilan bulan terlahir dengan keadaan sehat wal afiat tanpa kurang suatu apapun. Semuanya normal. Irish yang tadi khawatir sekarang juga lebih tenang. Sebagai ibu dan sekarang sudah menjadi oma-oma juga, dia paham kekhawatiran putra keduanya ini. Kalau dilihat-lihat, Khris memang terluhat gahar seperti papanya, Barack, tapi kalau sudah urusan perempuan, duh kalau mau menangis tidak bisa ditahan. Kalau diminta untuk mengingat-ingat, Irish juga pernah berada di posisi Shilla—yang harus menenngakn bayi besarnya—a.k.a sang suami—alias Barack kalau tidak siapa lagi, yang menangus tersedu-sedu saat kelahiran Jordan untuk pertama kali Irish sudah mengalami perdarahan yang mengharuskannya operasi. Jadi tiga orang anaknya itu terlahir sesar semua.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD