2. How If You

2504 Words
Sejak hari dimana Roger mengakui dirinya berbohong, semuanya mengalir begitu saja. Hari-hari yang nampak membosankan dulunya, sekarang mulai berwarna kembali. Kini, mereka sedang duduk di gazebo kediaman Abraham dalam diam. Sesekali Roger melirik Anna yang duduk anteng di sampingnya. Rasanya damai sekali bisa dipertemukan kembali setelah sekian lama tak tahu kabar perempuan jelita di sampingnya sekarang. “Na?” panggilnya pelan. Anna menoleh, hatinya berdesir tiba-tiba. Rasanya ada yang meletup-letup dalam perutnya tapi bukan kembang api, entah apa, ia pun tidak tahu. “Ya?” “Penjahatnya dibiarkan begitu saja? Kenapa tidak mencari detektif yang lebih handal? Kau tahu, sebaik-baiknya penjahat, dia akan meninggalkan barang bukti.” Roger bukannya mengajari Anna sifat pendendam. Hanya saja, apa yang sudah menimpa Anna beberapa saat lalu tidak main-main, nyawanya terancam. Roger ragu kalau orang yang menyerang Anna tidak mencoba melukainya lagi. Pasti ada sesuatu karena Anna yang diincar, bukan barang berharganya. “Aku tahu.” Roger masih diam menatap wajah Anna yang terlihat bersinar dari posisinya sekarang. “Aku tidak ingin ada masalah lagi. Lelah tahu.” Kening Roger menyerngit dalam hingga kedua alisnya hampir menyatu. “Maksudnya?” “Entahlah." Anna mengangkat bahunya seakan tak peduli. "Beberapa tahun lalu, banyak sekali kejadian aneh. Aku tidak tahu kenapa ada yang mengincarku. Papa bilang, mereka adalah orang yang ingin menjatuhkannya lewat aku. Karena itu Papa marah sekali.” Anna menjelakan. Masih ingat betul dirinya saat kecelakaan motor waktu itu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa. “Tapi Paman tidak melakukan apapun." Roger menatap Anna sekali lagi, berupaya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anna hingga diincar seperti ini. "Dia tidak menyelidiki kejadian ini. Kalau semua yang menimpamu karena politik perusahaan, nyawamu terancam, Anna. Mereka bisa menggunakanmu sebagai sumber kelemahan terbesar Paman. Kau adalah putri satu-satunya yang sangat keluarga Abraham sayangi.” “Ya...aku sendiri yang memintanya." Anna tersenyum yang membuat Roger semakin tidak mengerti. "Percuma juga, kalau aku memang ditakdirkan mati di tangan mereka, untuk apa menyewa orang. Lagipula, kalaupun Papa tahu orangnya, dia akan diam saja.” “Bagaimana?” Roger semakin serius menatap Anna, semakin tidak paham juga dengan yang dikatakan perempuan itu barusan. Anna sekali lagi tersenyum tipis, matanya menyipit saat tidak sengaja silau dengan cahaya matahari yang bertabrakan dengan ubin di dekat kolam renang rumahnya, “aku takut kalau orang yang jahat padaku adalah orang yang aku sayangi. Lebih baik tidak tahu saja sampai akhir.” Roger menatap Anna dalam, dia tak melihat kebohongan di dalam mata cantik perempuan ini. Dan tatapan itu harus berakhir saat Anna memalingkan wajahnya lebih dulu. “Kau ingat, Kak? Dulu kita sering main di pinggir sana.” Anna menunjuk kolam renang, berupaya mengalihkan pembicaraan. “Apa kau masih tidak bisa berenang sampai sekarang?” Dan usaha Anna nyatanya berhasil atau memang Roger yang sengaja menuruti kemauan Anna dalam diam untuk tidak membahas permasalahan ini. “Aku tidak punya waktu untuk latihan renang.” Roger menatap Anna tak percaya, “sok sibuk sekali.”cibirnya. Anna tersenyum kembali. Entah kenapa, hari ini Anna banyak tersenyum dibanding hari-hari sebelum Roger kembali di hidupnya. “Kau sudah mendapatkan yang kau cari di sana, karena itu baru pulang sekarang?” Lelaki itu mengangguk membenarkan. “Tapi, masih ada satu lagi yang harus kulakukan.” ungkapnya jujur. Anna menoleh sejurus dengan Roger yang mendekatkan wajahnya. Semuanya terjadi begitu saja. Jantung Anna langsung berdetak tak tahu aturan. Dan di detik ini, Anna seakan terhipnotis oleh tatapan Roger yang begitu dalam, yang begitu menenggelamkan dan seakan menariknya lebih dalam lagi. “Apa aku masih ada di dalamnya?” Roger bisa melihat dengan jelas Anna yang meringis pelan. “Kenapa?” tanyanya lagi. “Aku sudah tidak ada? Apa lelaki itu—“ “Ilyas Jonshon.” “Persetan namanya.” balas Roger tidak peduli. Melihat Roger yang tadi tersenyum dan sekarang memasang wajah datar, Anna tersenyum kecil. Dia menunduk, menatap kaki putihnya yang menggantung kemudian mengangkat wajahnya lagi untuk memandang Roger. “Kak?” Roger hanya bergumam tanpa repot menoleh. “Aku bisa membantumu kalau kau mau cerita. Aku bahkan bisa memberi yang kau mau dalam hidup ini.” Roger menoleh ke arah Anna. Perempuan itu tersenyum seperti biasa dan menggeleng pelan. “Lupakan saja. Aku masuk dulu.” Mungkin Anna lupa, kalaupun Roger berubah, ada yang tidak akan berubah pada lelaki itu. Beberapa kebiasaan lama ada yang tidak berubah. Dia paling tidak suka dibuat bertanya-tanya dan sekarang Anna malah memasang tanda tanya besar dalam otaknya. Maka jangan salahkan Roger kalau sampai membuat langkah Anna terhenti saat ada tangan kukuh menahan lengannya. Dia menoleh dan mendapati Roger sudah berdiri. Dan saai ini, mereka seolah sepakat untuk saling diam. Anna tersenyum lebih dulu, dia mendekat untuk mengusap rahang Roger yang begitu tegas. “Dulu, aku selalu menciumnya. Aku pergi.” “Kau bisa melakukannya lagi dan aku bisa memberimukanmu lebih dari sekadar ciuman.” Kata Roger sambil meratapi punggung Anna yang terlalu cepat berbalik. Anna sudah kembali berhenti, dia diam tanpa mau berbalik, dan tetap diam saat ada yang melingkarkan tangan kekar ke perutnya. Anna menahan napas, bulu kudunya meremang seketika saat merasakan napas Roger membelai lehernya yang jenjang. “Kenapa tidak melakukannya lagi?” bisik Roger lirih. “Kita tidak punya status.” balas Anna pelan. “Jadi, kita harus punya status dulu sebelum berciuman?” Roger bisa merasakan kepala Anna yang mengangguk walau samar. “Kalau begitu, mari kita berciuman. Atau… kita harus tidur bersama dulu?” Anna memukul punggung tangan yang melingkari perutnya. “Kita harus menikah untuk itu.” “Ya sudah, ayo kita menikah.” Tubuh Anna diputar oleh Roger agar melihat ke arahnya. Dia tahan tengkuk leher Anna dan menatap perempuan itu dalam. “Katakan sekali lagi dan aku akan pergi ke Barack Abraham untuk meminta izinnya menikahimu.” Roger tahu Anna. Dia tahu arti tatapan yang Anna berikan padanya sekarang. Itu tatapan kekecewaan. “Kenapa menatapku seperti itu? Jadi benar kalau ada yang mengisi—“ Anna menggeleng pelan. “Tidak ada.” Bisiknya hampir tak terdengar. “Lalu, kenapa menatapku seperti itu? Kau tidak percaya kepadaku? Aku tetap Roger yang dulu.” Belasan tahun berpisah, ada yang membuat Anna harus meyakinkan dirinya dulu. Lagipula dia sangsi kalau Roger tidak pernah melirik ke arah perempuan lain. Oh come on, he is a hot guy! Anna dengan berani selangkah lebih dekat. Dia mengusap bekas luka di kening Roger pelan. “Aku tidak percaya pada diriku sendiri. Bagaimana Roger Gustavo yang punya segalanya, yang cerdas, yang menawan, harus hidup bersama dengan seorang Anna yang tidak ada apa-apanya.” “Kau ini bicara apa?” Roger menegur tidak suka. “Kebenaran.” Anna tersenyum dan mundur teratur, meninggalkan Roger seorang diri di sana dengan tanda tanya besar di kepalanya. *** Matahari yang sedang terik-teriknya membuat Anna meringis saat matanya tertuju ke langit. Dia memutuskan untuk menepi dari kesilauan dan malah berakhir menghantam tubuh seseorang di sebelah kiri. “Awas! Hati-hati, Na. Sudah besar tapi masih saja ceroboh.” cibir Khris yang kebetulan berada di sana. Ini memang weekend, tak kaget sama sekali kalau ada banyak orang di rumah. Kalau hari kerja, rumah sebelas duabelas dengan kuburan, sepi sekali karena semua orang pergi dan sibuk dengan urusannya masing-masing. “Ya Kakak juga kenapa di sana, bukan salahku.” kata Anna tak mau kalah. Khris hanya tertawa, dia merengkuh pundak ringkih adik kesayangannya ini. Ya mau bagaimana lagi, kan? Anna satu-satunya putri di keluarga Abraham. “Princess sendiri, prioritas kita tertuju padamu.” Anna hanya tersenyum getir. “Aku kan sudah meminta kalian berhenti, tapi tetap saja memanjakanku.” “Ya karena kita sayang padamu, Anna. Kalau tidak, kau sudah ditukar dengan anak laki-laki. Mama bahkan pernah cerita kalau dia mau hamil terus sampai punya anak perempuan." Anna tersenyum, dia pernah mendengar hal itu. Dan bersyukur sekali dia dilahirkan oleh mama yang hebat seperti mamanya. "Apa kau ada masalah dengan Roger? Dia tidak datang sejak dua minggu yang lalu.” Sebagai respon, Anna balas menatap kakanya penuh tanya. “Tidak ada. Kita baik-baik saja.” Baiklah, mungkin, Khris harus menjelaskan pada Anna. Adiknya ini terlalu pendiam dan suka apa-apa dipendam sendiri seolah semua semakin berantakan kalau diceritakan ke orang lain. “Kau tau? Roger kerja lebih keras dari sebelumnya akhir-akhir ini. Kakak juga tidak tahu tujuan dia melakukan semua ini itu apa. Dan ya, kau kenal dia sejak kecilkan, dia sakit.” “Sakit?” Anna membeo. “Iya, pergi ke rumah sakit kalau kau tidak percaya.” Anna mengembuskan napas yang terasa berat, dia melihat ke arah kakaknya lagi sekilas. “Kak, apa Papa akan merelakanku pergi dengan seorang lelaki. Maksudku, menikah?” Anna buru-buru membenarkan kalimatnya yang terasa ambigu untuk dirinya sendiri. Khris menatap Anna dalam, kemudian tersenyum dan mengusap pipi adiknya itu pelan. “Anna dengar, kau bisa minta apapun pada kami semua. Tapi satu yang tidak bisa kami janjikan, kami tidak akan pernah melepaskanmu atau merelakanmu pergi kemanapun. Karena itu, Papa sudah membuat keputusan kalau yang ingin menikahimu, dia harus setuju untuk tinggal di kediaman Abraham. No matter what.” “Kak, It’s not fair.” keluh Anna tidak setuju. Kakak keduanya ini hanya mengangkat bahu tak acuh. “Memangnya, kau mau menikah dengan siapa? Satu-satunya lelaki yang kau cintai saja mengaku akan menikah dengan orang lain.” cibirnya, lengkap dengan mata memicing pula. Anna mendelik tajam, Khris tahu semuanya tapi masih saja suka menggodanya. “Dia berbohong, kau tahu itu.” Anna semakin mendengkus kesal saat kakaknya ini tertawa cekikikan. “Sudahlah, kalian memang menyebalkan. Hanya Kak Jordan yang mau membelaku.” “Tsk, percaya diri sekali kau anak manis, mana tahu kalau Jordan adalah orang yang menentang hubungan kalian sedari dulu. Dia masih kecewa saat Roger meninggalkanmu. You know, right?” Mendadak, kepala Anna berdenyut nyeri kalau sudah membahas yang lalu-lalu. Sudahlah, tidak ada gunanya terus mendebat kakaknya yang selalu saja tidak mau kalah. “Aku mau menjenguknya, tolong antarkan aku ke sana, ya.” “Baik Tuan Putri Anna Abraham.” *** Seperti yang Khris katakan, Anna mendadak terdiam di ambang pintu saat melihat Roger terbaring di ranjang dengan mata yang terpejam damai. Lelaki itu benar-benar sakit, wajahnya pucat dan ada Lili yang menungguinya. Anna hampir saja putar balik kalau saja tidak mendengar suara serak yang berat memanggil namanya. “Anna?" Tidak tahu kenapa, langkah Anna berhenti begitu saja. Kupingnya langsung berdengung nyeri. Dirinya seolah tak punya jalan keluar lain, alhasil jalan satu-satunya adalah berbalik dan tersenyum manis seperti biasa. “Hai?” sapanya sambil berjalan mendekat. “Syukurlah kau ke sini Anna, minta dia makan, aku lelah membujuknya sedari tadi. Dia kira, aku tidak punya pekerjaan. Mentang-mentang hari Minggu bisa seenaknya. Aku pergi dulu, bye bayi besar.” Anna tersenyum kecil melihat Lili yang terlihat seperti sedang merajuk kemudian pergi dari sana. Tentu saja Anna langsung duduk di kursi bekas Lili tadi. “Dia memarahiku terus, aku tambah pusing.” keluh Roger saat Anna sempurna duduk di sampingnya. “YA!” Lili yang belum sampai pintu masih sempat meneriaki lelaki tak tahu diri ini. Masih untung ada yang merawat, dia sendiri banyak bicara saat diurusi, suka ini suka itu. Tidak mau ini, mau itu, menyebalkan! Kemudian hening karena Lili keluar sempurna dari ruangan. Anna yang tadi sempat tersenyum, sekarang hanya menatap infus yang terpasang di punggung tangan kiri Roger datar. Sedangkan Roger mengamati wajah Anna lamat-lamat. “Perasaan aku yang sakit, kenapa wajahmu yang begitu lelah?” Roger berujar pelan. Di sinilah Anna kembali tersenyum. “Aku mengantuk.” Katanya jujur dan langsung menyandarkan kepala di sisa ranjang yang kosong, yang sekiranya tidak mengganggu Roger nantinya. Sedangkan Roger sendiri hanya menatap langit-langit dalam diam. Tangannya yang terinfus terangkat untuk mengusap rambut Anna pelan. “Ada apa? Aku akan mendengarkan seperti dulu.” tawarnya. Roger tak mendapati respon apa-apa kecuali keheningan. Tak menyerah begitu saja. dia mencoba memulai kembali. “Untuk apa ke sini kalau ujung-ujungnya mendiamiku, Anna? Lebih baik kau keluar saja biar Lili yang marah-marah lagi padaku.” Seketika itu juga, Anna mengangkat kepalanya. Roger melihat mata Anna yang memerah, bukan ingin menangis, karena memang mengantuk. “Kau-kau mengantuk sungguhan?” tanya Roger tak percaya. Dia bahkan mengira Anna mau menangis. “Hm,” Anna bergumam. “Boleh aku tidur di sini?” tanyanya. “Boleh, tapi di mana kau akan tidur?” Anna tersenyum, kemudian berpaling untuk menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan. “Jangan bolehkan Kak Khris membangunkanku, ya. Aku mengantuk sekali.” pesannya, Roger mengangguk begitu saja seperti anak yang menuruti perintah ibunya. Dan semuanya terjadi begitu cepat, Anna berjalan lunglai ke sopa dan benar dia meringkuk di sana sedang setengah jam kemudian Khris datang, mendapat kode dari Roger untuk mendekat ke arahnya. “Anna kenapa?” tanyanya bingung. "Apa dia sakit makanya tidur?" “Dia bilang mengantuk. Kau tidak boleh membangunkannya, nanti dia akan pulang sendiri.” Khris menghela napas berat mendengar pesan yang ditujukan pada dirinya.. “Pulang sendiri aku bisa digantung Papa. Terakhir kali, ada yang mencoba menyakiti dia lagi. Mana berani aku mengambil risiko meninggalkannya sendirian?” Meski Roger juga tahu, tapi dia tetap percaya diri kalau Anna tidak akan kenapa-napa. “Ada aku di sini.” katanya. Kakak kedua Anna ini tersenyum meremehkan. “Bagaimana kau akan menjaganya kalau kau sakit begini? Sudahlah, biar aku gendong saja dia.” “Khris please, biarkan Anna di sini. Aku ingin berbicara padanya. Dia datang Cuma bicara singkat dan langsung tidur.” Melihat mata Roger yang begitu memelas, Khris hanya mengembuskan napas pelan dan bergegas keluar dari ruangan itu. Dia biarkan dua orang beda jauh ini menghabiskan waktu berdua meski hanya dengan diam karena orang yang satunya malah tertidur begitu damai di pojokan sana. *** Anna berlari menyusuri gang-gang sempit saat melihat sekelebatan hitam yang mengikutinya sedari tadi. Hingga sampai di ujung jalan yang ternyata jalan buntu, Anna hanya bisa terduduk lemas tak bertenaga saat melihat orang itu benar nyata dan berdiri tepat beberapa langkah di depannya, siap dengan tangan yang menggenggam tongkat baseball. “JANGAN!” Perempuan yang semula tertidur damai itu tersentak dengan jantung yang berdetak tak karuan saat membuka matanya. “Hai, you okay?” Satu lagi, Anna kembali tersentak saat ada tangan kekar menyentuh tanganya. “Ini aku, Roger.” Kata Roger lagi saat menyadari Anna terlihat ketakutan saat disentuh olehnya. “Ma--af,” Anna sedikit mengusap peluhnya yang agak mengganggu. Roger masih di setia di sampingnya sampai Anna menatapnya tajam karena menyadari satu hal. “Kau…kenapa melepas infusmu? Wajahmu masih pucat.” Roger meringis kemudian, “Kau tadi berisik sekali aku sampai terbangun dan lupa kalau sedang diinfus, jadi lepas.” katanya tanpa dosa. Anna menunduk, meratapi tangan Roger yang bengkak, kemudian, dia menatap lelaki itu tajam. “Hati-hati.” pesannya. “Kau mimpi buruk?” tanya Roger balik, mengabaikan perkataan Anna barusan. “Aku selalu mimpi buruk.” balas perempuan itu pelan. Roger mengembuskan napas berat dan menarik tangan Anna yang dingin dalam dekapannya. “Menikahlah denganku, Anna. Mimpi burukmu pasti langsung pergi.” katanya tiba-tiba. Anna tersenyum, dia menatap mata Roger lekat, seakan membaca tapi tidak mau dibaca. “Bagaimana kalau kau lah yang jadi mimpi burukku, Kak?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD