3. Pernikahan

1515 Words
Tak terima tuannya diperlakukan demikian, Vivi kembali masuk menghampiri mereka. “Tuan, tapi anda tidak bersalah!” protes Vivi. Sementara Bella yang mendengar pembelaan Vivi segera mengalihkan pandangannya, “Lalu siapa yang bersalah dalam hal ini, Sang Sekertaris?” cibir Bella. Menarik kertas yang sudah di tanda tangani itu dan menggenggamnya, “Oh, atau pelakor ini yang mau bertanggung jawab?” Mendekati Vivi dan berbisik, “Apa kau sanggup memberiku uang sebanyak harta kekayaan bosmu?” Vivi melotot, tentu saja ia tidak bisa. Untuk menyambung hidupnya saja Vivi mengandalkan gajinya di sini. “Mbak, tapi kami benar-benar tidak sengaja melakukannya,” ujar Vivi kembali mencoba menjelaskan. Bella naik pitam, “Cukup! Apa kamu pikir aku terima alasan tak masuk akalmu, hah?! Dia tetap bersalah!” Menunjuk Destra yang hanya diam saja. “Dan kamu juga!” Kini Bella menunjuk Vivi. “Kalian telah bersalah dan jahat padaku!” teriak Bella kemudian melenggang pergi dari sana. Vivi yang semangatnya baru saja kembali langsung lemas lagi. Apa yang telah dia lakukan dengan bosnya itu ternyata begitu fatal. Kembali menghadap Destra dan mengatupkan kedua tangannya. “Tuan Destra! Saya mohon pada anda, tolong bujuk istrimu agar kalian tidak bercerai, karena saya akan sangat merasa bersalah jika kalian sampai bercerai,” pinta Vivi yang tidak ditanggapi apapun oleh Destra. “Dan, ya. Saya tidak meminta pertanggung jawaban anda atas kejadian malam itu!” sambung Vivi yang langsung mematik amarah Destra kali ini. Mendorong Vivi dan mengapit wajahnya dengan sangat kasar. Rahang kokoh Destra yang dilapisi bulu tipis disekitarnya terlihat begitu tampan tapi juga menyeramkan. Ya, pria itu sepertinya begitu terpancing karena ucapan Vivi tadi. “Apa kamu kira saya lelaki yang tidak bertanggung jawab, hah?!” gertak Destra dengan suara berat. “Tuan, bukan begitu maksudk—” “Cukup! Saya tidak mau dengar apapun lagi. Persiapkan dirimu, besok saya akan menikahimu!” ucap Destra kemudian menghempaskan wajah Vivi kasar. Vivi yang baru melihat wajah murka Destra langsung menciut. Jantungnya berdegup kencang kemudian memilih menurut dan segera pergi dari sana. Tidak langsung pulang ke apartemennya, Vivi membelokan mobilnya menuju kediaman Viola, sahabatnya. Ya, dia berniat bercerita dan tidak ingin menanggung masalah ini sendiri. *** “Vivi!” teriak Viola saat mendapati orang yang mengetuk pintu rumahnya itu adalah Vivi, sahabatnya. “Boleh gue masuk?” tanya Vivi pelan. Dia tahu, orang tua Viola tidak terlalu suka padanya karena tahu Vivi hidup sendiri. Mungkin mengira Vivi adalah gadis nakal yang tidak bisa di atur. “Boleh atuh, hayu masuk!” “Bokap nyokap lo?” “Tenang, mereka lagi nginep di kampung. Jadi kita bebas hari ini,” ujar Viola mencoba menghibur. Viola tahu betul arti raut wajah Vivi. Jujur, Viola selalu merasa bersalah jika mengingat hal itu. Padahal sudah berapa kali Viola menjelaskan pada orang tuanya jika Vivi gadis baik-baik. Tinggal di apartemen karena tidak punya sanak keluarga, bukan nakal. Tapi tetap saja, orang tua Viola menganggap Vivi itu gadis nakal. Vivi dan Viola mulai masuk ke dalam, kedua gadis itu masuk ke kamar Viola setelah mengambil beberapa minuman dan cemilan. Viola yang sejak tadi bosan dan tidak ada teman mengobrol langsung heboh. “Vi, lo liat berita paling viral hari ini, ngga?” “Berita apa?” tanya Vivi lemas, selemas dirinya malam ini. “Ish, lo itu kudet banget, sih! Itu, berita Pak Destra yang akan bercerai dengan istrinya. Satu kantor tadi heboh tau ngomongin itu,” seru Viola yang langsung membuat Vivi melotot. “Satu kantor tahu?” Vivi menelan saliva kasar. Ia tidak bisa bayangkan apa yang akan mereka katakan padanya nanti jika mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Iya! Lagian gimana ngga tau atuh, Vi. Orang tu berita ada di mana-mana," ujar Viola sembari menyusun minuman dan cemilan yang baru dia ambil tadi, "Tapi lo tau? Gue malah liat Bu Bella happy-happu tau!” seru Viola lagi. “Dimana, kenapa?” “Ya mana gue tau kenapa. Tapi yang pasti gue liat dia happy-happy di mall kemarin, pas gue nunggu lo sampe lumutan itu!” Melihat Viola mulai kesal, Vivi nyengir kuda. “He he maafin gue!” “Ngga! Inget sebelum lo traktir gue besok!” Vivi menghela nafas panjang, dia tidak mungkin mentraktir Viola besok. Karena besok adalah hari pernikahan dia dan Destra. Entah akan jadi seperti apa pernikahan itu, tapi yang pasti Vivi hanya diminta mempersiapkan diri. “Benar, jadi kau hanya tinggal duduk manis saja, Vivi yang cantik!” batin Vivi menghina dirinya sendiri. “Argh, Tuhan! Kenapa ada pernikahan yang dadakan dan paksaan seperti ini?” lanjutnya merutuk dalam hati. Sementara Viola sedikit khawatir saat melihat raut wajah Vivi yang terus merenggut bingung dan kesal, “Vi, lo kenapa?” “Viola, sebenernya gue ….” Vivi menceritakan semuanya pada Viola, tentang alasan sebenarnya kenapa dia tidak datang ke perjanjian kemarin dan tentang kenapa Pak Destra dan Bu Bella akan bercerai. Namun, bukannya terkejut gadis kecil berkulit sawo matang itu malah tertawa. “Hahahaha, Vi, Vi. Lo kesandung apaan ngarang cerita begitu? Ucapan nyokap bokap gue yang kepedesan, ya yang bikin Lo ngehalu begini?!” Vivi melotot, “Viola, Gue serius!” “Ya, ya!” Seperti masih tidak percaya, Viola mengambil gelas bagiannya kemudian meneguknya. Hingga saat sebuah panggilan mengejutkan mereka, barulah Viola sadar. “Siapa?!” “Pak Destra! Lo jangan berisik!” ucap Vivi sebelum akhirnya mengangkat panggilan. “Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Vivi seperti biasanya. Sopan dan santun. “Kirim alamat tempat tinggalmu! Saya akan kirim semua keperluan pernikahan untuk besok!” ujar Destra langsung membuat bibir Viola menganga. “Vi?” “Suut!” Menutup bibir Viola dengan tangannya, “Baik, Tuan. Akan saya kirim lewat pesan nanti!” jawab Vivi. “Cepat! Kamu tahu saya tidak suka membuang-buang waktu!” seru Destra kembali membuat Vivi menciut. “Baik, Tuan.” Panggilan terputus, Viola yang sejak tadi di tutup mulutnya langsung menyingkirkan tangan Vivi dan menjerit. “Vivi! Jadi apa yang lo ceritain tadi itu bukan ngarang?” Vivi menghela nafas kasar, “Lagian siapa yang bilang itu ngarang, Viola?” “He he, sorry! Gue kira lo kebanyakan ngehalu karena tekanan fitnah dari nyokap bokap gue. Eh tapi tunggu, terus Lo gimana setelah ini?” Vivi menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. “Gue ngga tau, Vil. Tapi yang pasti Gue bakal nikah besok. Dan itu sebabnya Gue ke sini malam ini. Buat lepas status lajang Gue sama Elo!” “Sialan, Lo. Gue bukan lesbi, Gue masih suka batang!” “He, he. Tapi apapun itu Lo temenin Gue besok, ya. Gue cuman punya Lo!” ungkap Vivi langsung membuat Viola menangis. “Argh Vivi kesayangan gue, kasian banget, sih, lo. Udah hidup sendiri, sekarang kudu nikah karena sebuah kesalahan yang sebenernya Lo ngga salah!” ucap Viola yang hanya di tanggapi tatapan oleh Vivi. *** Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali kedua gadis itu sudah berangkat menuju apartemen Vivi. Dan benar saja, apa yang diucapkan Destra semalam sudah benar-benar ada di dalam apartmennya. Entah bagaimana cara mereka masuk, tapi yang pasti semua keperluan pernikahan itu sudah benar-benar ada dan tertata rapi. Mulai dari gaun pengantin, perhiasan, sepatu, make up, hantaran dan beberapa hiasan yang sudah menempel. Meski hanya beberapa hiasan bunga kecil dan pernak-pernik tapi tetap terlihat elegan dan mewah. Ada juga dua orang MUA yang berdiri di sana. “Dengan nona Vivi Alfiani?” “Benar, saya!” “Mari, Nona. Saya ditugaskan untuk merias anda hari ini!” tutur salah satu dari mereka. Kemudian menggiring membawa Vivi masuk dan bersiap. Sementara Viola yang masih syok hanya diam, kemudian diam-diam memotret seluruh barang mewah yang dikirim bos mereka pada sahabatnya. Namun, gerakan Viola terhenti saat seseorang tiba mengejutkannya. “Sedang apa kamu?!” “Tuan Destra?” Ternyata benar-benar bukan mimpi. Viola benar-benar melihat bos mereka datang ke apartemen sahabatnya. Berdandan tampan layaknya seorang pengantin bersama dengan beberapa bodyguardnya dan seorang penghulu. “Ah, ini. Saya hanya ingin memotretnya sebagai kenangan, Pak,” ujar Viola gugup seperti biasa. Tak menanggapi lagi, pria bertubuh atletis itu duduk di sofa. Dan tak butuh waktu lama, Vivi yang sudah berias keluar ditemani oleh dua Mua tadi. Terlihat begitu cantik dan anggun dengan gaun pengantinnya yang berwarna putih bersih. Viola sampai melongo, begitu juga dengan Destra, pria itu ternganga beberapa menit kemudian baru sadar saat penghulu membuka suara. “Apa sudah siap?” Tangan kanan Destra bicara, “Sudah, Pak. Anda bisa langsung menikahkan tuan kami sekarang,” katanya. Destra, Vivi, Penghulu dan yang lainnya duduk mengelilingi meja kecil yang sudah disiapkan. Namun, baru saja Destra menjabat tangan penghulu, mereka dikejutkan oleh kehadiran Bella. Ya, wanita itu datang dengan pakaian yang acak-acakan. “Tunggu!” “Mbak!” Vivi hendak berdiri, tapi Destra segera menahan. Bella menghampiri Destra dan bersimpuh di depan pria itu. “Mas, apa yang kamu lakukan, hiks! Aku hanya bercanda meminta cerai darimu karena kukira kau akan datang meminta maaf dan memohon kembali padaku. Tapi kenapa kamu malah benar-benar mau menikahinya hiks! Tolong maafkan aku. Ayo kita kembali aku akan memaafkan kesalahanmu asal kamu ninggalin dia dan mempertahankan rumah tangga kita,” ujar Bella panjang lebar. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD