2. Surat perjanjian

1088 Words
Tak ingin protes apapun lagi, Bella melenggang pergi setelah menatap suaminya dengan tatapan tak menyangka. Sementara Vivi segera menghampiri Destra. “Tuan, apa yang anda lakukan?” Tak menjawab apapun, pria dewasa yang baru 2 bulan menjadi bosnya itu juga pergi, tanpa mengatakan apapun. Merasa semuanya sudah berakhir, Vivi segera menarik tasnya yang tergeletak di atas nakas kemudian pergi dari sana. Mengendarai mobil kesayangannya, Vivi melaju menuju apartemennya. Jujur, dia begitu lelah hari ini. Vivi berniat untuk tidur seharian hari ini. Tidak peduli dengan pekerjaan sialan yang sudah membawa mala petaka padanya itu. Tak lama suara ponselnya berbunyi, dengan gerakan satu tangan. Gadis cantik itu mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. “Vi, lo ke mana aja, sih!” teriak seseorang saat panggilan tersambung. Vivi mendengus sebentar, tapi kemudian kembali mendekatkan ponselnya yang sempat ia jauhkan. “Viola, lo berisik banget, sih!” “Ngga peduli! Vivi, lo jahat banget, sih! Gue nungguin lo di tempat biasa. Tapi sampe pagi buta juga lo ngga dateng. Ke mana sih lo sebenarnya?!” protes gadis yang bernama Viola. Vivi yang baru ingat ada janji langsung meminta maaf. “Maafin gue, gue ketiduran semalem,” ungkap Vivi dengan nada lirih. Dia tidak mungkin cerita kalau dia habis making love dengan bos mereka, bisa berabe nanti urusannya. “Ketiduran?” Terdengar semakin melengking, Vivi kembali menjauhkan ponselnya. “Astaga, Vi! Lo tega bener, sih, ketiduran padahal udah janjian sama gue. Lo tau, gue sampe lumutan tau nungguin lo.” “Sorry!” “Ngga! Gue gk bakal maafin, sebelum lo traktir gue makan nanti siang.” “Ya, ya, gue traktir. Tapi ngga siang ini, ya! Gue ngga masuk hari ini. Gue cape.” “Lo cape?” “Beneran! Besok kita ketemu, ya. Gue traktir lo sepuasnya nanti!” ungkap Vivi langsung mematikan panggilan. Beberapa menit kemudian Vivi yang sudah tiba di parkiran segera memarkirkan mobilnya. Meraih kembali tasnya dan masuk ke dalam. Gadis cantik tinggi semapai itu masuk ke dalam lift dan memencet tombol 10 dan tidak butuh waktu lama Vivi sudah keluar dari lift, Vivi segera menekan kode pintu dan masuk, membiarkan pintunya tertutup sendiri. Beberapa saat Vivi terdiam. Sembari mengambil air dan meneguknya Vivi terus berpikir kira-kira siapa orang yang telah memberikan obat perangsang pada dia dan bosnya. Namun, mengingat dia sendirilah yang membuat minuman itu, Vivi menjadi takut sendiri. “Jangan-jangan gue halu sendiri ya dan masukin obat itu?” tebak Vivi bicara sendiri. Tapi kemudian menyangkal sendiri. “Haish, Vivi, jangan nagarang deh, Lo. Dimana bisa beli obat kayak gituan aja gue ngga tau!” sambungnya. Pusing terus memikirkan hal yang tidak mungkin bisa ia pecahkan sendiri, Vivi menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Terasa lebih tenang dan nyaman. Ya, sepertinya Vivi butuh istirahat untuk kembali menghadapi masalah ini nanti. * Vivi yang benar-benar tidur seharian baru membuka mata saat matahari tenggelam, gadis itu bangun dan langsung membuka gawainya. Takut ada hal apapun yang ia lupakan lagi seperti janji pada Viola kemarin. Tapi betapa terkejutnya Vivi saat mendapati berita perceraian Tuan Destra dan Lidya tayang di berbagai media sosial. “Astaga, Vi. Lo udah bener-bener udah hancurin keluarga mereka.” Tidak tahu kenapa berita itu sangat cepat menyebar, Vivi segera bersiap. Dia berniat menemui Destra sekarang. Ingin meminta maaf sekaligus memohon pada pria itu untuk menarik semua kata-katanya. Tapi bagaimana dengan dirinya setelah ini? Tidak mungkin ada seorang pria yang mau menikahi wanita yang tidak perawan. “Argh ...! Tidak peduli!” Vivi akan pikirkan itu nanti. Lagipula ya, menjomblo sepertinya lebih baik daripada di cap sebagai seorang perebut laki orang. Benar, Vivi memantapkan langkahnya. Meraih kunci mobil dan pergi menuju kantor Destra. Benar saja dugaan Vivi. Destra yang tidak mungkin pulang ke rumahnya dan memilih kerja gila ternyata benar-benar ada di sana. Duduk dengan jari yang terus bergerak di atas laptopnya. Vivi yang seharian tadi tidak bekerja langsung masuk tanpa mengetuk pintu, bukan soal berani karena sudah tidur semalam, tapi Vivi merasa tidak ada lagi waktu untuk basa-basi saat ini. “Tuan, saya ingin anda menarik lagi kata-kata anda!” ucap Vivi langsung pada intinya. Destra yang sejak tadi sibuk tak menanggapi apapun, hanya menatap Vivi sebentar kemudian kembali fokus pada laptopnya. “Tuan, saya minta maaf, tapi keputusan anda telah menghancurkan kehidupan saya dan istri anda,” ujar Vivi lagi. Tapi tetap tidak ada anggapan, Vivi segera mendekat dan bersimpuh di hadapan pria itu. “Tuan, saya mohon hiks. Tolong jangan ceraikan istri anda, saya tidak mau menjadi pelakor dalam rumah tangga anda!” Sudah menangis, gadis cantik berambut hitam pekat itu berkata demikian. Destra menghela nafas sebentar kemudian menatap Vivi. “Berdirilah, Vi. Jangan sampai orang lain mengira kamu memohon untuk saya nikahi,” ungkap Destra sontak membuat Vivi langsung berdiri. “Sekalipun kamu seorang pelakor, bagi saya kamu itu wanita terhormat,” lanjut Destra sontak membuat Vivi menatapnya. “Wanita terhormat apa yang udah buat sebuah keluarga hancur. Keluarga dan rumah tangga anda tidak baik-baik saja dan bahkan hancur karena saya, Tuan!” ujar Vivi menggebu-gebu. Entah nyali darimana Vivi berkata demikian, tapi yang pasti, ini adalah ucapan pertama yang Vivi layangkan tanpa rasa sopan. "Pernikahan saya dan Bella memang sudah tidak baik-baik saja sebelum saya kenal kamu," ungkap Destra terdengar begitu meyakinkan. Tapi tetap saja, Vivi tidak mau menjadi pelakor dalam hal ini. “Terserah apa kata anda, Tuan. Tapi saya tidak mau anda menceraikan istri anda dan menikahi saya, titik!” seru Vivi kemudian melenggang pergi dari sana. Jujur saja, sebenarnya Vivi tidak berani dan tidak punya cukup nyali untuk terus berhadapan dan bicara dengan pria itu. Tapi tidak mau kalah, Vivi kemudian memilih pergi setelah bicara. Namun sial, Bella yang sejak kemarin Vivi takuti itu ada di hadapannya saat ini. Berpapasan dengannya seraya menatap tajam. “Ini yang dimaksud tidak sengaja itu, hah?!” cibir Bella. Vivi hanya diam. Sungguh, dia sangat malu. Sudah susah-susah kemarin meyakinkan jika dia benar-benar tidak sengaja melakukannya, dan sekarang dia malah tertangkap basah menemui Destra di kantornya? Bodoh! Tak guna menjelaskan apapun juga, Vivi memilih menunduk. Terdengar Bela berdecih, kemudian masuk melewati Vivi. “Tanda tangani itu!” seru Bella seraya melemparkan sesuatu ke hadapan Destra. “Apa ini?” “Kamu lupa? Kita pernah buat surat perjanjian dulu. Siapa yang berkhianat maka dialah yang akan bertanggung jawab dan memberikan sebagian besar hartanya pada yang dikhianati,” ungkap Bella. Terdengar gila harta memang, tapi wanita bodoh mana yang tidak memanfaatkan keberuntungan ini. Daripada cuman dapat sakit hati, kan? Tanpa berkata apapun, Destra menuruti perintah Bella. Menandatangani surat kebenaran jika dirinya telah berkhianat. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD