9. Orang baru

1455 Words
“Tuan, ini tidak seperti yang anda deng-” Belum sempat Vivi menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus milik Vivi. Destra menamparnya? Ya, dengan penuh emosi dan geram pria tinggi bertubuh kekar itu menampar Vivi yang selama ini ia sangka baik ternyata begitu busuk dan tidak manusiawi. “Apa kamu tahu, saya sampai menuduh istri saya sendiri akibat ulahmu!” ucap Destra seraya menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sementara Vivi hanya bisa menggeleng seraya meneteskan air mata. “Saya menyesal telah mengangkat kamu menjadi sekertaris saya. Awalnya saya pikir kamu berbeda dari karyawan yang lain. Berhati bersih, cerdas, dan kompeten. Tapi ternyata sama saja, kamu berusaha mengusai saya dengan cara menjebak saya.” “Tua-” “Ingat, saya juga menyesal telah menikahi kamu, Vivi Alviani!” Seolah belum puas menampar Vivi, Destra berucap dengan tinggi. Sangat tinggi bahkan sampai membuat beberpa bodyguard menghampirinya. “Tuan, ada yang bisa kami bantu?” “Seret dan usir gadis itu! Saya tidak ingin melihat dia lagi!” ucap Destra sontak membuat Vivi lari memeluk kakinya. “Tuan, apa yang anda lakukan? Anda salah faham. Tolong dengarkan penjelasan saya!” “Cukup! Kalian, apa tidak dengar perintahku, hah!” “Maaf, tuan!” “Tuan, tolong dengarkan aku. Aku memang menyukai anda dan ingin menjebak anda! Tapi itu dulu, dulu sebelum aku sadar. Tuan Destra tolong percaya padaku!” teriak Vivi yang semakin lama semakin mengecil. Para bodyguard itu sepertinya sukses menyeret Vivi keluar. Muak dengan semuanya, Destra berteriak seraya meninju dinding. “Argh ..!” Sementara Vivi yang sudah di tendang dari rumah Destra menatap rumah mewah yang belum lama ia tinggali itu dengan sendu. Selucu inikah nasib hidupnya? Kemarin ia begitu dihormati seperti ratu, tapi hari ini ia diusir seperti debu. Tidak berselera untuk kembali ke apartemennya, Vivi memutuskan untuk pergi ke rumah Viola. Ya, dia ingin bertemu dan memikul beban ini bersama-sama dengan sahabatnya. Tidak ada orang paling dekat yang Vivi percaya selain Viola, itulah sebabnya Vivi sedikit begitu tergantung dengan sahabat satu-satunya itu. Tapi sial, bukannya mendapati wajah gembira Viola, Vivi malah mendapati wajah sinis ibunya. Melirik Vivi dengan sangat tajam. “Viola ngga ada, udah tidur!” sentaknya. Padahal Vivi belum mengatakan apapun setelah pintu dibuka. Mengerti Ibu Viola tidak menyukai kehadirannya, Vivi memutuskan untuk segera pergi. “Baik, Bu. Gapapa klo Violanya udah tidur, maafkan saya telah menganggu,” ungkap Vivi sungkan. “Nya heeh atuh ngaganggu. Barina ges peting masih keneh kakalayaban. Kitu kan ari tengawaro ka kolot mah, Sakadaek!” Tidak begitu fasih, tapi Vivi tahu betul apa yang diucapkan Ibu Viola. Tak lama seseorang yang ingin Vivi temui itu tiba. Menarik lengan ibunya. “Umi! Umi ngomong naon ih?” “Kenae, meh ngarti. Te pantes ker parawan kakalayaban, kumaha lamun hamil te aya bapaan? Ges mah te aya keluargaan!” ucap wanita itu sontak membuat hati Vivi membeku. Sementara Viola menyentak ibunya, “Umi!” Maju ke depan dan menggiring Vivi agar menjauh, “Vi, maafin nyokap gue, ya. Mulutnya emang suka pedes kek cabe setan!” Vivi berusaha tersenyum, “Gapapa, Kok. Gue ngerti. Lagian bener apa yang diucapin ibu Lo.” “Vi ….” Viola menatap sahabatnya sendu. “Udah gapapa ko. Tadinya gue mau lanjutin obrolan kita di hape tadi, tapi kayaknya nanti aja, deh!” “Vi, tapi lo gapapa, kan?” Vivi kembali menarik senyum, selebar mungkin, “Gapapa! Nanti gue ceritain, bye!” Vivi segera menarik diri, membawa tubuhnya keluar dari pekarangan rumah Viola. Memang benar apa kata Ibu Viola ucapkan. Tidak seharusnya dia keluar malam-malam begini. Terbukti saat ia menerima tawaran Destra dan melakukan rapat kecil malam-malam, meski masih dalam rangka pekerjaan, tapi tidak etis jika sudah larut malam. Terbukti kan sekarang jadi bunting dirinya hari ini. Memang benar dia dinikahi meski dadakan, tapi hubungan itu tidak jelas sekarang. Ya, setelah Destra mengusirnya tentunya. * Keesokan harinya, Viola yang merasa sangat bersalah ingin segera bertemu dengan Vivi dan meminta maaf. Namun sayang, ia tidak menemukan Vivi di tempat kerja mereka. Hanya ada Tuan Destra dan istrinya pertamanya di sana. “Ngapain kamu lihat-lihat?” sentak Bella saat melihat Viola hanya celingak-celinguk setelah mengetuk pintu. “Maaf, Bu. Saya mencari sahabat saya, apa ada?” “Ngapain kamu tanya saya? Tidak tahulah!” Viola menelan saliva kuat, “Buset, galak bener kek nenek lampir,” batinnya kecil. Sementara Tuan Destra hanya diam saja. “ Maaf, Bu, Maaf. Saya pikir sahabat saya masuk hari ini, itu sebabnya saya ke sini.” Tidak mendapati tanggapan apapun dari kedua manusia yang sepertinya habis berciuman itu, Viola segera membungkukan badan dan pergi dari sana. Setelah keluar dari ruangan Pak Destra, Viola memutuskan untuk menghubungi Vivi, tapi tidak bisa. Ponsel Vivi masih tetap tidak aktif sejak tadi pagi dan ini sudah jam 12 siang. “Vi, lo ke mana, sih, sebenernya!” gumam Viola semakin panik. Tidak tenang jika terus seperti ini. Pulang kerja Viola memutuskan untuk pergi ke Apartemen Vivi. Ya, berniat menemui gadis itu di kediamannya. Takut gadis itu pingsan atau bunuh di sana. Bunuh diri? Ya, bisa saja, kan? Diantar oleh kekasihnya, Viola pergi ke apartemen Vivi. Namun nihil, apa yang Viola dapatkan kembali kosong. Gadis itu tidak ada di unitnya. Viola yang sering bolak-balik tempat itu memang hafal kode pintunya, jadi tidak sulit baginya untuk masuk. “Mungkinkah sahabat kamu gantung diri, Yang? Atau terjun dari jembatan.” Viola segera memukul kepala pria itu, “Jangan ngaco. Sahabatku ngga mungkin ngelakuin hal bodoh itu!” sangkal Viola. Dan benar saja, tak lama suara ponsel Viola terdengar. Panggilan dari Vivi. Bibir Viola langsung tertarik lebar dan dengan cepat menekan tombol terima. “Vivi!” Seperti biasa, Vivi mendapati suara melengking Viola yang panjang. Gadis yang kini sedang duduk di depan pesawahan itu tersenyum sembari menikmati hembusan angin. “Lo kemana aja, sih! Gue nyariin Lo tau, gue khawatir sama lo. Kenapa lo ngga bilang-bilang mau bolos kerja. Tau gitu kan gue juga mau bolos dan nemenin Lo. Terus dimana juga Lo sekarang, gue di unit Lo ini, tapi Lo ngga ada. Vi, Lo jahat banget tau udah buat gue nyari-nyariin Lo.” Viola yang masih nyerocos belum mendapati suara Vivi. Gadis itu masih tersenyum seraya menikmati keindahan dan ketenangan di hadapannya. “Vi?” “Ya, Vil. Udah teriaknya?” “Vivi!” “He he maaf-maaf, gue baik, kok. Maaf ya udah bikin lo khawatir, maaf juga udah buat lo nyariin gue. Gue ngga kemana-mana kok, gue ada, cuman healing dikit aja semalem ke rumah Bara. Inget, kan? Temen panti gue yang sering gue ceritain?” tanya Vivi sontak membuat Viola membayangkan sosok Bara. “Dan soal kerja, gue kayaknya ngga bakal kerja lagi di sana,” lanjut Vivi sontak membuat Viola kaget. “Kenapa? Lo ngga cerai sama Pak Destra, kan? Atau jangan-jangan lo ada masalah sama dia?” Vivi menghembuskan nafas kecil, “Ya, kita emang lagi ada masalah. Beliau denger obrolan kita yang soal akuan gue semalem,” ungkap Vivi sontak membuat Viola melotot. “Vi?” “Ya, beliau salah faham dan langsung usir gue dari rumah,” lanjut Vivi semakin membuat Viola melotot. “Pantes tu nenek lampir meuni nyender-nyender, mungkin dia seneng karena lo udah di usir.” “Maksudnya?” “Ya, Vi. Gue liat Bu Bella ciuman sama Pak Destra tadi. Sampe nyender-nyenderin s**u pula. Dih, padahal kan ada gue.” Mendengar itu Vivi hanya diam. “Vi, gue janji gue bakal nemuin Pak Destra dan jelasin semuanya. Dia udah salah besar nyalahin lo.” “Jangan!” “Kenapa? Pak Destra kudu tau Vi. Apa yang lo ucapin semalem itu emang bener. Tapi itu dulu, bukan sekarang. Dan gue berani jamin hal itu.” Vivi mendesah, entah sejak kapan perihal Destra selalu memenuhi hati dan pikirannya. Padahal sudah tenang-tenang dia berada di rumah orang tua angkat Bara, tapi hanya sekali nama Destra di ucap, hati Vivi langsung bergetar. Menghela sebelum kembali bicara, “Gue rasa gue lebih enak begini dulu, Vi. Gue mau nenangin diri sebelum bener-bener nemuin dia.” Viola yang mendengar itu sendu, “Vi?” “Maafin gue. Tapi gue janji ko bakal balik.” “Bener, ya. Awas klo ngga, gue seret lo sama Bara sekali,” ancam Viola sontak membuat Vivi tertawa. “Ya, ya. Yaudah ya.” “Oke,Vi. Jaga diri lo baik-baik.” “Hm.” Panggilan pun terputus. Sementara Destra yang memang benar sedang berciuman dan hampir bercinta dengan Bella itu akhirnya tidak sampai. Pasalnya, ia melihat ponsel Bella yang tergeletak di atas meja itu berbunyi. Lengkap dengan nama pemanggilnya di sana. Kenal betul dengan nama itu, Destra langsung mendorong Bella dan memperlihatkan ponsel itu ke wajah Bella. “Apa-apaan ini?” tanya Destra dengan rahang yang sudah berdiri. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD