10. Teman Kecil

1179 Words
"Destra, aku bisa jelask-" Belum selesai Bella bicara, Destra mengangkat satu tangan mencoba menghentikan. Jujur, ia begitu muak dengan semua kebohingan dari orang-orang sekitarnya. Haruskah dia juga merasakan kebohongan dari istri sendiri? Tak lama suara pintu diketuk membuyarkan kedua orang itu. “Siapa?” tanya Destra tanpa mengalihkan pandangan, tetap menatap Bella tajam. “Ini Tuan, ada tamu Nyonya Bella. Beliau mengatakan sudah ada janji bisnis dengan Nyonya,” ungkap Sekertaris Lee dari luar. Mata Destra memicing, “Janji bisnis? Siapa?” Menatap Bella dengan lebih tajam kemudian akhirnya berjalan membuka pintu. Tak lama seorang pria mendekat memeluk Destra, “Hy, Bro! Gimana kabar Lo? Lama ya kita ngga ketemu.” Seperti tak suka entah tidak biasa, Destra hanya diam menanggapinya. Tak lama suara Bella yang memekik kembali mengejutkan mereka. “Jo?” “Hai, Bel! Lo gimana, sih! Katanya mau ikut rapat buat buat launcing produk baru. Tapi kenapa ngga dateng? Gue telpon juga ngga di angkat!” Pria yang bernama Jo itu mendesah. Bella terlihat sedikit kaku, sementara Destra masih diam mengamati kedua orang di hadapannya. “Oh, iya. Maafkan aku! Aku mau jawab, tapi suamiku salah faham tadi.” “Salah faham?” Jo kembali menatap Destra. “Oh, ayo lah, Bro. Lo ngga liat? Kita ada urusan bisnis. Itu sebabnya gue hubungin istri Lo. Sorry, gue emang manfaatin ketenaran istri lo buat launcing produk, biar viral he he. Gapapa kan?” Terdengar sedikit tidak masuk akal tapi Destra tetap mengangguk, kemudian mengizinkan Bella pergi dan meyakinkan dirinya jika itu benar-benar soal bisnis. * Sementara di tempat lain. Vivi yang masih betah menikmati tenangnya keindahan desa sedikit melupakan masalahnya. Tapi ia juga melupakan siapa pemilik tempat yang ia duduki sekarang ini. Tak lama suara deheman mengejutkan Vivi, membuat gadis itu segera sadar dan menoleh. “Eh, Bara?” Seorang pemuda bertubuh tinggi mendekat setelah namanya di panggil. Wajahnya tampan khas kebaratan, tapi tubuhnya kecil tidak terlalu berisi. Jujur, awalnya ia begitu terkejut mendapati Vivi menghubunginya dan ingin menemuinya. Namun, apapun alasan gadis itu Bara sangat senang sekarang. Karena akhirnya, ia bisa bertemu kembali dengan gadis kesukaannya dulu. “Enak, ya?” “Banget!” “Kalau begitu lanjutkanlah!” Bara hendak kembali pergi, tapi segera di cekal. “Eh, tunggu! Kenapa pergi? Di sini aja!” pinta Vivi yang tentu saja membuat Bara senang. Bara memang sedikit pemalu dan tidak pedeen. Mungkin, karena ketidak jelasan latar keluarganyalah yang membuat pria itu selalu tidak percaya diri. “Baiklah!” “Eh, iya. Apa semua sawah ini milik nyokap bokap angkat lo?” Wajah cantik Vivi yang sejak tadi hanya ia bisa lihat dari samping, kini begitu jelas di hadapannya. Tersenyum sembari menatapnya. “Bara?” Tak kunjung menjawab, Vivi kembali memanggil pria itu. “Eh, iya. Sebenernya tak hanya yang ada di sini. Di samping jalan raya juga, tapi ayahku membaginya dengan warga lain. Mengizinkan mereka untuk menanam dan berpenghasilan,” jawab Bara sontak membuat Vivi semakin tersenyum binar. “Ayah? Hm, so sweet banget ya kalian.” Ya, Vivi jelas tahu jika Bara selalu menginginkan keluarga lengkap yang menyayanginya. Dan siapa sangka temannya itu benar-benar mendapatkannya sekarang. Jurangan tanah pula. Meski di desa, tapi cukup kaya jika hanya menghidupi 7 keturunannya. “He ngga gitu juga kok.” Tak lama seseorang yang mereka bicarakan datang, tersenyum kemudian merangkul Bara. “Kenapa temannya tidak di ajak ke dalam, Nak?” katanya lembut. Vivi tersenyum, kemudian buru-buru menyalami pria tua yang masih cukup gagah itu. “Ah tidak apa-apa ko, Pak. Saya nyaman di sini, adem!” ungkap Vivi sontak membuat ayah Bara tertawa. “Keseringan tinggal di kota, ya. Jadi candu sama suasana desa. Yasudah-yasudah, lanjutkan obrolan kalian, ayah mau mandi dulu,” ungkap pria itu pada putra angkatnya. “Iya, yah. Silahkan,” jawab Bara sontak membuat pria itu kembali merangkul putranya sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka. Melihat keharmonisan keluarga baru Bara, Vivi menjadi sedikit sedih. Pasalnya ia tidak pernah mendapatkan keluarga angkat yang baik dan menyayangnya. Hanya ada kekasaran dan ayah angkat yang selalu ingin menodainya. Itulah sebabnya lah Vivi kabur dan berusaha hidup sendiri. Tidak ingin balik lagi ke panti dan mendapatkan keluarga angkat yang sama pula. “Oh, ya, keluarga Lo gimana? Apa kabar mereka baik?” Suara Bara kembali mengejutkan Vivi, gadis itu tersenyum sembari menatap Bara. “Mereka? Entah, gue kan kabur setelah satu bulan bertahan.” “Vi?” Seperti tidak menyangka, Bara memfokuskan penglihatannya menatap Vivi. “Hm. Ayah angkat gue yang selalu berusaha nodain gue yang buat gue kabur,” lanjut Vivi sontak membuat Bara memeluknya. “Tapi lo gapapa kan sekarang?” Vivi mencoba melerai pelukan, “Gue gapapa kok. Buktinya gue masih hidup he he!” Tak peduli dengan tawaan sok bahagia Vivi, Bara kembali bertanya,”Terus tinggal di mana lo sekarang?” “Gue tinggal sendiri.” “Sendiri? Dimana?” Terdengar begitu khawatir, Vivi sedikit tersneyum mendengarnya. Ternyata masih ada orang yang peduli dengannya selain Viola sahabatnya. “Di unit. Tapi lo tenang aja, gue udah kerja kok. Jadi gue bisa penuhin kebutuhan hidup tanpa harus minta-minta kayak dulu,” ungkap Vivi mengingatkan Bara pada kejadian tahun lalu. Bara dan Vivi dibesarkan di panti yang sama. Entah bagaimana ceritanya mereka bisa ada di sana. Tapi yang pasti, panti yang mengurus mereka tidak seperti pada umumnya, Panti itu memang menyediakan alokasi adopsi dan penampunga. Tapi mereka tidak begitu bertanggung jawab atas kebutuhan mereka. Hanya alakadarnya. Jadi untuk kebutuhan yang tidak terpenuhi, Bara dan Vivi sering minta-minta di jalanan. “Syukurlah kalau begitu,” ujar Bara yang diikuti hembusan nafas di akhirnya. Namun, tak lama kemudian pemuda itu menarik tangan Vivi dan mengunci tatapan wanita itu lekat. Vivi yang malah ingat dengan sentuhan Destra menjadi sedikit gelisah. “Ada apa, Bar?” Bara terlihat begitu gugup, terlihat dari jakun pria itu yang naik turun. “Vi, udah lama gue suka sama lo,” ungkap Bara yang belum di tanggapi apapun oleh Vivi. Hanya menelan saliva kuat di dalamnya. “Gue juga sayang sama lo sejak dulu,” lanjut Bara semakin membuat Vivi menelan saliva kuat. “Mau ngga lo nikah sama gue? Gue mau kita sama-sama lagi, dengan begitu gue bisa jagain, lo!” sambung Bara dengan nada yang sedikit buru-buru. Sesaat air mata Vivi memupuk. Ternyata Bara masih saja seperti dulu. Lembut dan pemalu. Tidak kasar dan juga sangat menyayanginya. “Bara?” panggil Vivi dengan suara yang hampir habis. “Ya, Vi?” Begitu berharap. Bara yang mendapat anggukan dari ayahnya yang ternyata masih menguping semakin bersemangat. “Terima kasih udah nyayangin dan jagain gue dari dulu. Gue juga sayang sama lo, Bar!” ungkap Vivi yang langsung membuat bibir pria itu tertarik lebar. Namun, gerakan ucapan Vivi selanjutnya membuat Bara membeku. “Tapi, Maaf, gue ngga bisa,” sambung Vivi yang langsung membuat Bara melepaskan genggaman tangannya. “Kenapa?” tanya pria itu berubah dingin. Vivi yang hendak menjawab tidak jadi, morning sick yang selalu terjadi pada ibu hamil itu kembali menderanya. Vivi merasa begitu mual dan ingin muntah. Gadis itu kemudian buru-buru lari ke kemar kecil, meninggalkan Bara dengan tatapannya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD