Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia termasuk salah satu dari sebagian kecil majikan muda yang dekat dengan pekerja rumah tangga, tak hanya itu saja, Artemis juga dekat dengan sekumpulan ART di komplek ini karena saking seringnya ikut belanja.
Sifat ramahnya itu membuat Artemis banyak disenangi. Apalagi di kalangan ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki, mereka terang-terangan menyampaikan minat untuk mengambilnya sebagai menantu. Dan penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka tak bisa membencinya. Malah ada yang pantang menyerah, kerap minta dipertimbangkan kembali setiap tak sengaja berpapasan di jalan.
Senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, tak sepertiku yang langsung redup saat disandingkan dengannya.
“Non Temis udah punya pacar, ya? Beberapa hari yang lalu saya lihat ada yang anter pulang, lho.”
Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami cuma rekan kerja. Dia salah satu dosen kayak aku jugaaa.”
“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Mereka langsung tertawa melihat reaksi Artemis yang kelabakan. “Ini pertama kalinya, deh. Bau-bau ada yang mau dibawa ke hubungan jenjang serius, nih.”
“Ih, Mbak, bukan gituuuu ...”
Bibi yang sedari tadi hanya tersenyum mendengarkan sambil mengumpulkan sayur apa saja yang akan dibeli, kini turut menimpali, “Pacaran atau belum, doakan saja gimana baiknya buat Non Temis.”
“Aamiin,” jawab mereka serempak. “Ditunggu kabar baiknya ya, Non ...”
Aku melewati mereka tanpa menoleh sedikit pun, tatapanku lurus tertuju ke arah pagar yang sedikit terbuka. Meski AirPods masih terpasang di kedua telinga, tetapi lagunya sudah kumatikan dari belasan menit yang lalu. Sehingga obrolan mereka terdengar jelas olehku.
“Kak Thena! Baru selesai jogging, ya?” Artemis tiba-tiba bertanya, dia juga melambaikan sebelah tangannya. “Sini ikut ngumpul bareng kami, aku sama bibi ada beli buah nanas dan semangka kesukaan Kakak.”
Hanya menoleh sekilas, aku tak memberi respon apa-apa kecuali tatapan datar saja.
Oh, jelas sikapku ini membuat orang-orang yang ada di samping Artemis melirik satu sama lain. Mereka menilai, bahkan diam-diam mencibir. Perbedaan perilaku kami yang begitu kentara membuat mereka menyayangkan kenapa Artemis harus kembar denganku, kenapa tidak dengan yang lain saja? Yang jauh lebih baik dan ramah tentunya.
“Rasanya manis banget lho, Bi Ranti tadi ikut bantu pilihin.”
Artemis menunjuk ke arah salah ART tetangga, sementara yang ditunjuk tersenyum canggung padaku.
Sebelum suasana makin tak nyaman, bergegas aku masuk dan menuju salah satu kursi taman untuk beristirahat sejenak. Perlahan kuatur napas agar jadi lebih stabil, serta kuusap keringat di leher serta pelipis.
Kalau tak ada jadwal syuting pagi biasanya aku rutin jogging seperti ini. Ini salah satu caraku merawat badan agar tetap langsing, karena bagi seorang artis tubuh dan wajah adalah aset berharga. Aku tak punya berkah seperti Artemis yang makan sebanyak apa pun tetap kurus, tanpa bersusah payah harus diet ini dan itu, menahan diri makan ini dan itu.
Ya ... terkadang hidup memang tidak adil. Ada yang tak perlu berusaha keras untuk mendapatkan semua yang diinginkan, ada pula yang sudah berusaha keras tapi tak dapat apa-apa. Semacam Artemis dan aku, si kembar yang satunya untung dan yang satunya lagi buntung.
***
“Ma, dandananku nggak kelihatan berlebihan, kan?” tanya Artemis pada Mama saat mereka bersamaan menuruni tangga.
“Nggak sama sekali, kok. Malah kamu cantik banget, Sayang,” puji Mama.
Kebetulan saat ini aku sedang membaca naskah di ruang tamu, makanya tak sengaja mendengar percakapan mereka.
“Kak Atlan baru aja berangkat dari rumahnya. Kalo nggak terjebak macet, mungkin sekitar 20 menitan dia udah sampai di sini.”
“Hm, udah hafal banget, ya.”
Spontan Artemis tertawa. “Aku pernah sekali ke sana, diajak ambil barangnya yang ketinggalan.”
“Rapi anaknya?”
Sebelum menjawab, Artemis mengajak mama duduk di sofa. Mereka menempati sofa panjang tepat di sebelahku. “Rapi banget, Ma. Kupikir Kak Atlan tinggal bareng orang tuanya, ternyata enggak. Rumah minimalis itu miliknya, sementara orang tuanya ada di luar kota.”
“Berarti dia sendirian di sini?”
“Iya. Katanya satu bulan bisa sampai tiga kali pulang jenguk ibunya, karena maklum Kak Atlan itu anak laki-laki satu-satunya. Jadi, kayak disayang banget.”
Fokusku langsung buyar, tak lagi barisan dialog yang k****a, melainkan diam-diam mendengar obrolan Artemis dan mama.
Entah kenapa setiap nama ‘Atlantis’ keluar dari mulut Artemis membuatku terusik. Perasaanku jadi resah, kekhawatiran meningkat. Aku takut Atlantis tersebut adalah orang yang kukenal. Meskipun ini prasangka, tetapi tetap saja aku tak bisa menghilangkan pikiran buruk yang terus bermunculan di kepala.
“Belakangan ini aku ngerasa udah sering banget cerita soal dia ke Mama. Kayaknya ... aku makin nyaman sama dia. Jadi, Ma, jangan bosan-bosan dengerin, ya?”
“Nggak akan, Sayang. Justru Mama senang bisa jadi pendengarmu. Di saat anak lain nggak bisa terbuka sama orang tuanya, kamu justru berbeda. Komunikasi di antara kita bagus, malah itu yang membuat hubungan kita makin erat sebagai ibu dan anak.”
Aku merasa makin asing setelah mendengar jawaban Mama. Seolah beliau tak memikirkan perasaanku, kata-kata itu keluar begitu saja tanpa beban. Seakan keberadaanku di sini tak terlihat, mereka tak sungkan dalam bercakap-cakap.
Ponselku yang sedari tadi ada di atas meja tiba-tiba berdering, membuat perhatian mereka otomatis tertuju ke arahku. Baru sekarang mereka menatapku, setelah belasan menit tadi asyik mengobrol berduaan.
Tanpa memedulikan mereka, langsung kuambil benda tipis itu dan kuangkat panggilan dari Mbak Hera. “Halo, Mbak,” ucapku.
“Udah baca pesan yang tadi kukirim, Thena?”
“Belum. Memangnya apa?”
“Jadwal syuting tiba-tiba berubah. Sekarang kau harus siap-siap, lima belas menit lagi kujemput.”
“Kenapa mendadak sekali?”
“Nanti kujelaskan, pokoknya kau segera bersiap karena waktu kita nggak banyak.”
Setelah telepon berakhir, aku meraih naskahku dan langsung berdiri. Saat hendak beranjak pergi, Artemis yang sedari tadi mengamati mulai melontarkan pertanyaan, “Mau ke mana, Kak?”
“Syuting,” jawabku singkat.
“Sekarang? Bukannya—”
Belum selesai kata-kata Artemis, langsung kutinggalkan dia begitu saja. Saat menaiki tangga, celetukan mama turut mengiringi langkahku, “Lihat sikapnya itu, nggak sopan sekali. Padahal nggak ada yang ajarin main pergi saat orang lagi bicara.”
“Nggak pa-pa, Ma. Mungkin kakak lagi buru-buru.” Artemis mencoba memberi pengertian. “Ya udah, lain kali aja aku kenalin kakak ke Kak Atlan. Sekarang mama sama papa dulu yang ketemu dia.”
Itu kalimat terakhir yang kudengar sebelum tiba di lantai dua. Ah, ya, tujuanku duduk di bawah tadi karena ingin melihat pria itu. Sayangnya waktu mendadak jadi tidak tepat, sungguh perubahan jadwal yang tak terduga. Menyebalkan sekali–siapa pun itu—yang telah mengacaukan rencana pertemuan hari ini, padahal demi apa pun aku tak tenang sebelum melihat seperti apa rupa ‘Kak Atlan’ yang sering Artemis ceritakan.
***
Tepat saat mobil yang Mbak Hera kemudikan melewati gapura komplek, ada mobil lain masuk bersamaan dengan keluarnya kami. Ekor mataku sempat menangkap siluet yang menyetirnya adalah seorang laki-laki, langsung aku menoleh untuk mencoba mengenali. Namun, tentu saja itu tindakan konyol mengingat jarak yang kian jauh dan yang kudapati hanya bagian belakangnya saja.
Seumur hidup aku tak pernah penasaran seperti ini. Kalau saja itu bukan soal nama ‘Atlantis’, tak akan aku berupaya mencari tahu. Tak sudi pula aku mengurusi kehidupan asmara kembaranku. Berlagak masa bodoh adalah jalan ninjaku untuk meraih kedamaian di dalam rumah.
Bersaing dengan Artemis tak ada dalam daftar keinginanku. Makanya kuharap ‘Atlantis-nya’ tidak sama dengan ‘Atlantisku’. Sebab Atlantisku adalah seseorang dari masa lalu. Seseorang yang begitu baik, sehingga sulit kulupakan sampai sekarang.
“Thena, kau lagi mikirin apa?”
“Hah? Eh, iya, Mbak?”
“Lagi mikirin apa? Ditanya berkali-kali nggak dijawab.”
“Oh, itu ...” aku berdehem pelan, “ada, seseorang.”
“Tumben? Siapa, tuh? Laki-laki, kan?”
“Bukan, kok!”
“Dih, langsung nge-gas. Nggak salah lagi, pasti itu laki-laki,” ujarnya sambil tertawa.
Tanpa sadar aku memajukan bibir, merasa agak sewot karena Mbak Hera berhasil menebak dari raut wajahku. Padahal kuharap ... semua orang di dunia ini tak tahu apa yang kurasakan. Mencintai satu pria dan belum bisa melupakannya hingga sekarang, cukup aku serta Tuhan saja yang paham alasannya kenapa.
***