PROLOG
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”
Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang dia cintai, hanya berdiri diam menatap ke arah lain. Hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.
“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan tenaga dan segala upaya, bahkan sampai mengemis-ngemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”
Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”
Atlantis masih tetap diam. Tak ada rasa iba, tak ada simpati. Hanya kekosongan.
“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, terucap langsung dari bibirku ...”
Baru kali ini Atlantis membalas tatapan Athena. Matanya terbuka lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Aku melepasmu,” kata Athena, suaranya begitu lirih. “Meskipun hanya sesaat, tapi aku bahagia pernah jadi istrimu, Kak. Terima kasih untuk semuanya. Mari kita ... tak pernah bertemu lagi, baik setelah ini maupun di kehidupan selanjutnya ...”
Lalu Athena berbalik dan melangkah pergi. Dia meninggalkan rumah itu, meninggalkan Atlantis, serta meninggalkan kehidupan mereka yang penuh dengan kepahitan.
Segala sesuatu yang dipaksakan pasti akan berakhir tidak baik. Dulu Athena berpikir terlalu sederhana, baginya yang penting bisa mendapatkan Atlantis maka itu sudah cukup. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata dia lebih serakah dari yang dikira. Dia juga menginginkan cinta pria itu, bukan hanya sebatas memiliki raganya saja.
Ending pernikahan yang diharapkan bahagia ternyata berakhir seperti ini. Athena tidak menyangka kalau nasibnya semenyedihkan ini. Seakan Tuhan tidak menyayanginya, karena tidak pernah ada hal baik yang datang dalam kehidupannya.
Angin bertiup kencang membuat dedaunan bergoyang, bahkan ada yang jatuh dan beterbangan. Athena mengemudikan mobil di atas kecepatan rata-rata, jalanan yang dilaluinya mulai lenggang karena jam menunjukkan tengah malam.
Sambil sesekali mengusap pipinya yang basah, Athena belum menemukan cara untuk berhenti menangis. Dadanya terasa sesak dan sakit di saat yang bersamaan, rupanya kepergiannya membuat Atlantis bergeming. Jangankan mencoba mengejar, menahan saja tidak. Itu bukti bahwa Athena tak begitu berpengaruh dalam kehidupan pria itu.
Bagaimana bisa ada seseorang yang memiliki hati batu? Tak luluh padahal sudah diberi cinta yang besar, tak mau melirik walau sudah menerima perhatian yang besar, dan masih terus menyimpan nama wanita lain di hatinya sekalipun telah terikat dengan Athena ...
Definisi kejam ada pada seorang Atlantis Pranadipta. Antagonis sesungguhnya adalah pria itu, bukan Athena ...
Sudah jauh jarak yang ditempuh, tetapi Athena belum menemukan tempat tujuan. Dia tak punya sandaran, tak punya tempat berpulang untuk berkeluh-kesah dan bercerita masalah. Keluarganya tak benar-benar seperti keluarga, sedari dulu Athena dianggap transparan. Antara ada dan tiada, bahkan dinilai tidak begitu berharga.
Sekarang harus ke mana dia membawa dirinya yang hancur berantakan ini? Athena pun tak tahu ...
Tetes demi tetes air hujan mulai turun membasahi bumi. Yang awalnya berupa rintik, perlahan-lahan menjadi deras. Aspal mulai basah, jarak pandang pun terbatas.
Athena mulai kesulitan mengemudi, tetapi tak sedikit pun mengurangi kecepatan. Tepatnya ketika menuruni jembatan, mobil yang dibawanya kehilangan keseimbangan. Jalanan yang licin membuat Athena menerobos perempatan, padahal saat itu traffic light menunjukkan warna merah.
Tiba-tiba sebuah truk kontainer muncul dari arah samping. Athena mencoba untuk menghindar, tetapi mobilnya terlanjur di luar kendali. Tabrakan pun terjadi. Di kesunyian malam, kedua benda itu saling menghantam. Ada suara benturan keras yang memekakkan, dan kemudian ... berakhir keheningan.
Di dalam mobil yang hancur, Athena terbaring tak berdaya dengan sekujur tubuh penuh darah dan luka. Dia memutar kembali memori-memori paling indah dalam hidupnya, lalu tersenyum miris. Baru sekarang dia menyadari bahwa tidak banyak momen seperti itu terjadi, karena lebih banyak kekecewaan yang diterimanya.
Sebelum memejamkan mata untuk selamanya, Athena berharap dia tak pernah lahir ke dunia. Tak pernah jadi anak dari kedua orang tuanya, tak memiliki kembaran seperti Artemis, bahkan tak mengenal seorang pria yang bernama ... Atlantis Pranadipta.
***