BAB 02 : Yang Bertolak Belakang

1846 Words
Sore itu aku duduk di dekat jendela kamarku, kemudian melihat sebuah mobil asing berhenti tepat di depan rumah kami. Tak lama setelahnya pintu bagian penumpang terbuka, turunlah Artemis dari sana. Oh, jadi ini alasan kenapa tadi pagi dia ikut mobil papa? Soalnya ada yang mengantarnya pulang. Aku kurang yakin itu teman perempuan, sebab selama ini Artemis hanya mau bertemu mereka di jam bebas kerja. Seperti akhir pekan, tanggal merah, dan hari libur lainnya. Dia memang cukup teratur anaknya. Dugaanku itu adalah seorang laki-laki. Sepertinya mereka dalam masa pendekatan kalau melihat dari gelagat yang Artemis tunjukkan. Tentu saja aku berkata demikian karena sebagai saudari kembarnya kami punya ikatan batin yang kuat. Yang dirasakannya sering terhubung denganku. Tanpa sadar aku mendengkus. Kenapa, ya setiap Artemis merasa senang akan sesuatu aku selalu tak menyukainya? Apa karena aku iri padanya makanya jadi seperti ini? Jauh di lubuk hati terdalamku mungkin aku ingin berada di posisinya. Itu yang jadi penyebab kenapa aku merasa ‘agak’ kepanasan setiap kali dia berbahagia. Setelah beberapa menit mengamati, tebakanku tak salah. Senyum Artemis terlalu lebar di bibirnya, alih-alih membiarkan si pengemudi turun malah dia yang mendekati kaca jendela dan bicara lewat sana. Entah topik apa yang mereka bahas, tetapi tak lama kemudian dia perlahan mundur sambil melambaikan tangan, lalu berbalik memasuki halaman rumah. Perhatianku kini beralih pada mobil yang mesinnya telah menyala. Siapa pun yang ada di balik kemudi itu pasti dia tampan, rapi, dan memiliki otak cerdas. Tipe ideal Artemis adalah yang seperti dirinya sendiri, jadi tak mungkin membiarkan sembarang orang mendekatinya. Kekepoanku berakhir setelah kepergian mobil itu. Merasa tak ada lagi tontonan yang menarik, aku memutuskan keluar kamar untuk mengantar gelas kotor bekas jus jeruk yang tadi kuminum ke dapur. Di tangga aku berpapasan dengan Artemis. Walau sudah sore wajahnya tidak kucel sama sekali. Masih terlihat segar seperti baru berangkat kerja, tak ada bau keringat, yang menandakan bahwa dia selalu memperhatikan dan menjaga penampilannya. Beda halnya denganku yang setelah beraktivitas padat pasti berakhir kusam tak karuan. “Hai, Kak, mau ke bawah, ya?” tanyanya berbasa-basi, tetapi terlihat jelas ingin mengakrabi. Aku enggan menjawab, jadi hanya lewat begitu saja. Artemis tak menyerah, dia berbalik dan melontarkan pertanyaan lagi, “Nanti mau dimasakin apa? Aku udah pesen sama bibi tadi pagi buat dibeliin udang kesukaan kita. Rencananya mau digoreng tepung.” “Tidak usah repot-repot,” jawabku dingin. “Nggak repot sama sekali, kok. Beneran.” Tetap saja aku tak peduli. Lagi pula sejak kapan aku antusias menerima kebaikannya? Kalau tidak terpaksa juga tak akan mau. “Atau mau request masakan lain?” Terakhir sebelum jarak di antara kami makin jauh, dia menambahkan, “Aku mau ke kamar bersih-bersih dulu. Kakak bisa bilang nanti pas aku udah di dapur, ya.” Nihil respon, aku benar-benar mengabaikannya. Kalau saja sekarang ada mama atau papa, mereka pasti menegurku karena sudah mengabaikan Artemis. Apalagi sampai membuat Artemis meninggikan volume suara, padahal niatnya baik sebagai seorang saudara. Menurut mereka harusnya aku menghargai, bukan acuh tak acuh seperti ini. Takhta tertinggi di keluarga kami setelah papa memang dipegang oleh Artemis. Pendapatnya sangat didengarkan, bahkan ditunggu-tunggu. Berbeda denganku yang dari dulu jarang ditanya. Jangankan ditanya, memiliki kesempatan mengungkapkan apa yang kurasakan saja tidak. Jadi, tak usah heran kenapa aku setega ini mengabaikan mereka, karena mereka yang lebih dulu mengabaikanku. Aku hanya membalasnya. Tumbuh dengan rasa iri, tersisih, dan sakit hati, membuatku jadi seorang pendendam seperti ini. *** Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah suatu keputusan yang tepat untuk mendapat ketenangan, nyatanya ketenangan tersebut berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku ikut bergabung bersama mereka, katanya ada teman mengobrol lebih baik daripada sendirian di sini. “Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya. “Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.” “Eiyyy, nggak boleh ngomong gitu, Kak.” Artemis menegur dengan nada halus. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru tau curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.” “Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau sudah tau faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.” “Maksudnya ..., Kak?” Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengkus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan yang palsu di matamu.” Puas melampiaskan kekesalan, aku langsung bangkit bersiap akan pergi. Namun, tiba-tiba saja Artemis menahan tanganku dan menggenggamnya dengan hati-hati. “Gunanya cerita adalah untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hati kita supaya jadi lega. Selain itu, gimana aku bisa tau letak kesalahanku kalo Kakak aja nggak kasih tau? Ayo ngomong baik-bai—” “Lepas! Bicara denganmu menguras tenaga dan emosiku.” Artemis langsung menurut, tetapi tentu saja dia tak berhenti semudah itu. Dia masih terus melontar berbagai macam pertanyaan padaku, “Jujur aku nggak ngerti kenapa Kakak jadi kayak gini. Setiap didekati langsung menjauh, padahal aku berharap kita bisa akrab seperti saudara kembar pada umumnya di luaran sana.” Di mana letak tidak mengertinya? Artemis itu cerdas, dengan mengamati saja harusnya dia sudah paham. Bukan berlagak lugu seperti sekarang. “Buang harapanmu jauh-jauh karena sampai kapan pun itu tak akan pernah terwujud!” hardikku. “Astaga, Kak, jangan ngomong kayak gitu. Aku mau kita baik-baik aja ke depannya. Saling memaafkan setelah bertengka—” “Aku yang tidak mau!” Perdebatan sepihak itu berakhir dengan aku meninggalkan Artemis. Seperti biasa, setiap berada di situasi semacam ini dialah yang terlihat paling menderita dan akulah antagonisnya. Kesannya seolah aku menepis uluran tangan Artemis, padahal kenyataannya tak seperti itu. Aku sudah bosan menerima kebaikan palsu. Mengikuti Artemis berkumpul dengan orang tua kami membuat diriku merasa buruk. Selalu ada kalimat pembanding di sela obrolan santai mereka, aku jadi sakit hati mendengarnya. Hal itu juga yang membuatku sebisa mungkin menolak berada di ruangan yang sama dengan mereka. Aku hanya berusaha melindungi diriku agar tak terluka. *** Malam Sabtu harusnya aku bisa bersantai di kamar, menonton film atau drama sambil menunggu kantuk datang. Nyatanya pukul delapan lewat beberapa menit aku baru pulang dari lokasi syuting bersama Mbak Hera. Kami bahkan belum makan malam, dan terlalu lelah untuk menentukan ingin makan di mana sekarang. “Kita langsung ke rumahku saja, Mbak,” ucapku dengan mata setengah terpejam. “Nggak isi perut dulu?” “Isi perutnya di rumahku sebelum Mbak pulang.” “Hm? Oke, deh.” Setengah jam kemudian mobil yang dikemudikan Mbak Hera mulai memasuki halaman rumah dan dia memarkirnya tepat di samping mobil papa. Melihat mobil Artemis dan mobil mama pun ada pada tempatnya, berarti mereka tak keluar malam ini. Tumben sekali. Biasanya di akhir pekan mereka selalu family time bertiga, entah itu pergi ke restoran favorit, berburu jajanan di pinggir jalan, membeli sesuatu di mal, atau nonton di bioskop. “Nggak usah bawa apa-apa, biar Mbak aja,” cegah Mbak Hera saat aku hendak meraih tas berisi pakaian ganti selama syuting tadi. “Kau pasti lelah sekali, Thena. Ada beberapa adegan yang sulit dan menguras tenaga, apalagi di bagian dalam air ...” “Itu bukan hal yang besar, Mbak. Justru aku harus minta maaf padamu karena tak semenarik itu makanya terus mendapat peran pembantu.” “Hei, siapa bilang kau tak menarik? Di mataku nggak ada aktris lain yang lebih cantik darimu!” Aku langsung tertawa mendengarnya. “Jangan bicara dengan ekspresi serius seperti itu, hampir saja aku tertipu olehmu.” “Sumpah, Thena! Demi ibuk—” “Iya, iyaaa ...” Setelah mengibaskan tangan beberapa kali, aku memilih jalan lebih dulu menaiki undakan tangga menuju teras depan rumah. Di belakang sana Mbak Hera bergegas mengikuti dan berusaha mengimbangi langkahku. Saat kami sudah di dalam, tak ada siapa pun yang menyambut. Ruang santai pun sepi, padahal kalau lagi di rumah biasanya selalu ramai karena mama, papa, dan Artemis tak pernah melewatkan kesempatan berkumpul menonton TV bersama sambil mengobrol ringan di ruang keluarga. “Udah pada tidur, ya?” tanya Mbak Hera keheranan. “Belum sepertinya. Mbak lanjut ke ruang makan saja, nanti aku minta bibi yang siapkan semuanya.” “Lalu kau mau ke mana?” “Ke kamar sebentar mau taruh barang-barang sekalian ganti baju.” “Oke, jangan lama ya, Thena.” Kami berpisah tepat di depan tangga menuju lantai dua setelah tas yang tadi Mbak Hera bawa diserahkannya padaku, kemudian dia terus berjalan lurus melewati lorong yang di ujungnya nanti ada pintu penghubung antara ruang makan dan dapur. Tiga tahun jadi manajerku membuatnya cukup familiar dengan beberapa bagian rumah kami, bahkan ini bukan kali pertamanya makan di sini, melainkan sudah beberapa kali. Mbak Hera nyaris kuanggap seperti keluarga karena dia yang paling memahami dan mengerti diriku. Dia juga sering menyemangati di saat aku merasa lelah dan rendah diri. Intinya dia salah satu orang baik yang kukenal setelah nanny dan ... seorang pria yang ada di masa laluku. Bergegas aku menaiki tangga karena tak mau membuat Mbak Hera lama menunggu. Namun, baru menapaki anak tangga ketiga, aku langsung menoleh saat mendengar samar-samar suara percakapan antara papa dan Artemis, minus suara mama. Ah, rupanya mereka ada di ruang kerja papa. Dari tempatku berdiri, cela pintu yang setengah terbuka memperlihatkan Artemis sedang memijat kedua bahu papa, dia juga sambil bercerita di sela kesibukan kedua tangannya, “Biasanya aku nggak gampang buka diri ke orang yang mendekatiku, tapi ini beda, Pa. Dia ... smart, gentleman, caranya bicara pun tenang. Nggak cuma ke aku, dia begitu ke semua orang, tapi tentu ada pembeda dengan yang lain.” “Ah, sepertinya putri bungsu Papa ini benar-benar jatuh cinta. Mendadak Papa jadi sedih mendengarnya.” “Belum sampai ke tahap ituuu, tapi nggak tau ya kalau dia terus tunjukin poin plusnya di depanku.” “Pesan Papa cuma satu, sekalipun nanti kamu suka sekali padanya, jangan perlihatkan kalau kamu menginginkannya. Ego pria akan melambung tinggi setelah mengetahui ternyata perempuan incarannya terlalu mudah untuk ditaklukkan.” “Nggak akan!” sahut Artemis yakin. “Makanya selama dua bulan ini aku main tarik ulur. Sesekali nerima ajakannya, sering kali nolak. Mama yang kasih tips begitu.” “Terus kenapa tiba-tiba minta izin lusa mau pergi jalan sama dia? Kelihatan ngebet pula sampai menceritakan sisi-sisi baiknya.” “Ya ... lusa ‘kan jadwalnya aku nerima ajakan dia,” ucapnya malu-malu. “Maka dari itu, please izinin ya, Pa? Dia bilang mau datang ke rumah buat kenalin diri sekalian ngomong langsung ke Papa dan mama.” “Lumayan juga keberaniannya. Siapa tadi namanya, Nak?” “Atlantis. Atlantis Pranadipta.” Spontan aku menahan napas setelah mendengarnya. Nama itu ... seperti nama seseorang yang dulunya sangat kukenal. Seseorang yang ... ah, semoga saja bukan. Semoga itu Atlantis yang lain, karena seingatku beberapa tahun yang lalu pria itu berada di luar negeri. Tak mungkin kabar kepulangannya tak terdengar olehku sama sekali. Iya, jangan asal membuat kesimpulan. Selama belum melihat seperti apa rupanya, pikiranku tak boleh jadi liar seperti ini. Artemis bilang lusa pria itu akan bertamu. Aku pasti akan menunggu dan melihat langsung dengan kedua mataku, apakah pria itu adalah orang yang kukenal atau justru orang lain. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD