BAB 04 : Tentang Atlantis Pranadipta

1432 Words
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di dalam mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi membuat pipiku bukan sekadar sakit saja, tetapi mulai membengkak dan terasa kebas. Tidak enaknya jadi figuran dalam sebuah film/drama itu ya seperti ini, kalau direktur atau pemeran utamanya merasa belum puas dengan adegan yang dimainkan, mereka akan mengulang-ulang. Tak apa jika mengulang hanya sebatas berdialog saja, tetapi kalau agak ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menderita menahan rasa sakitnya. Kenapa, ya dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian makanya mantap terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai, hingga mengambil keputusan seperti ini? Kalau dipikir-pikir semua terasa seperti berjalan mulus, nyatanya setelah dijalani jauh dari kata mulus. Mati-matian berlatih akting pun tak membuat sukses dalam sekejap, faktor keberuntungan dan punya koneksi luaslah yang utamanya. Sebenarnya ada jalur cepat, yaitu dengan menjual diri ke beberapa produser besar. Sayangnya aku tak tertarik. Cukup hidupku saja yang menyedihkan, jangan sampai jalan yang kuambil pun sama. Lagi pula aku belum terlalu putus asa, meski peran yang kumainkan begini-begini saja belum ada peningkatannya, tetapi aku tetap menikmatinya. Menjalani kehidupan sebagai orang lain dalam sebuah film itu menyenangkan. Terasa seperti refreshing bagiku, karena setiap karakter yang diperankan berbeda. Ada yang kehidupannya bahagia, kaya, miskin, depresi, dan biasa saja. Namun, setidaknya aku dapat gambaran jika kondisiku seperti itu nanti pasti tak akan jauh beda rasanya. Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam tas. Layarnya yang masih menyala menampilkan satu pesan dari grup keluarga, Artemis mengirim foto di sana. Tadinya aku berniat tak ingin membuka, tetapi rasa penasaran tiba-tiba menyergap membuatku tak bisa membendungnya. Langsung aku masuk ke room chat, lalu mengunduh gambar tersebut. Tak ada wajah yang disorot kamera, melainkan tangan kiri Artemis yang digenggam dan tangan lain memegang es krim. Caption-nya begini; “Pa, maafin aku, yaaaaa, tapi tangan Kak Atlan besar dan hangat. Rasanya persis seperti tangan papa ...” Tak lama kemudian balasan dari papa masuk. Papa: [Astaga, Nak! Bisa-bisanya dipamerin ke Papa dan mama. Kamu dapat keberanian dari mana?] Setelah membaca, langsung kututup ponselku dan kulempar ke jok samping. Ah, rasanya menyesal sudah membuka, tahu begitu lebih baik kuabaikan saja seperti biasa. Di sela rasa tak nyaman yang hinggap setelah melihat interaksi dekat papa dengan Artemis, Mbak Hera akhirnya kembali dengan menenteng satu kantong keresek putih. “Lama, ya? Tadi antre banget, maklum masuk jam makan siang.” “Tak apa,” jawabku singkat. “Kenapa, tuh muka? Jutek amat.” Aku menggeleng singkat, lalu menerima botol air mineral dingin yang Mbak Hera sodorkan, berikut dengan sebungkus nasi padang. “Sepertinya ini tidak bisa kuhabiskan, Mbak. Kebanyakan.” “Porsi normal, kok. Kau butuh banyak tenaga, Thena, lupakan diet sekarang karena adegan yang akan kau mainkan cukup menantang,” ujar Mbak Hera. Raut wajahnya kentara tegas karena tak mau dibantah. “Separo aja mana cukup.” “Tapi susah habiskan semuanya. Aku lagi tidak nafsu.” “Lho, tadi katanya lapar?” Aku diam tak menjawab, hanya fokus membuka bungkus nasi. “Terjadi sesuatu ‘kan pas aku pergi tadi?” “Tidak.” “Jangan bohong! Apa si m***m itu datang ke sini mengganggumu?” “Astaga, Mbak, bukan!” “Terus apa?” desak Mbak Hera, dia geregetan kalau aku seperti ini. Menurutnya memendam tak menyelesaikan apa pun, aku dituntut bicara supaya merasa lega. Namun, bagaimana bisa aku bebas bicara sementara kepribadianku sejak kecil ditempa jadi seperti ini? Sulit mengubahnya karena terlanjur dewasa dan sudah mendarah daging. “Kalau kau tetap diam, aku bakalan keluar dari sini terus labrak si m***m itu! Tadi dia sengaja raba bokongmu padahal adegannya nggak ada di script, kan?!” “Eh, eh, jangan!” Buru-buru aku menahan lengan Mbak Hera yang akan membuka pintu mobil. “Iya, akan kukatakan sekarang, tapi perlu ditekankan itu tidak ada hubungannya dengan Mahendra. Dia tidak menyusulku sama sekali ke sini.” “Lalu apa?” Menarik napas pelan, kuambil ponselku tadi lalu kuperlihatkan isi percakapan grup keluarga padanya. Selama beberapa saat Mbak Hera fokus membaca, sementara aku menunggu sambil menebak-nebak seperti apa tanggapannya nanti. Lima menit kemudian dia buka suara, “Mereka jahat banget, ya. Asyik bertiga, nggak mikirin gimana perasaanmu di sana.” “Bukan itu yang membuat mood-ku berantakan, Mbak, tapi ...” “Tapi apa?” Aku menggigit bibir bawah, masih menimbang-nimbang apakah harus memberitahukan hal ini juga ke Mbak Hera atau menyimpannya saja. “Thena ...” “Oke, fine! Teman pria Artemis namanya sama dengan seseorang yang kusukai. Aku tau ini konyol sekali, tapi aku khawatir, Mbak. Kalau harus bersaing dengannya, aku tak bisa. Artemis lebih segalan—” “Sebentar, kau udah ketemu dan memastikan wajahnya?” “Belum.” “Nah, itu masalahnya, Thena!” Mbak Hera berseru sambil menjentikkan jarinya, “jangan buat kesimpulan dulu sebelum melihatnya. Coba kau pikir berapa banyak orang di dunia ini punya nama yang sama?” Aku menggeleng karena memang tak memikirkan sampai sana. “Banyak, kan? Di antara sekian orang itu termasuk cowoknya Artemis dan cowokmu juga. Be positive, Thena, jangan biarkan hal itu mengganggumu.” “Aku ... aku akan berusaha mempercayai kata-katamu, Mbak.” “Harus, dong! Lagian kenapa nggak bisa bersaing dengan Artemis? Kau cantik, badanmu seksi. Pokoknya nilaimu tinggi, jadi jangan merendah seperti tadi.” “Iya, ... akan kucoba,” jawabku lirih. Ah, aku sudah bisa menebak kalau akhir dari percakapan kami jadi begini. Mbak Hera paling bisa memahami, makanya setiap aku mem-bully diriku sendiri, dia sudah menyiapkan serangkaian kalimat sanjungan agar aku tak terlalu merasa berkecil hati. *** “Kak, ini dari Kak Atlantis,” ujar Artemis setelah aku membuka pintu. “Katanya semoga lain kali kalian bisa ketemu.” Aku tak menyambutnya, melainkan hanya menatap datar paper bag itu. Kalau tahu Artemis yang mengetuk, tak akan aku bergegas keluar. Kupikir itu mama atau papa, karena dari sekian lama mereka tak mengunjungi kamarku, aku masih berharap kemunculan mereka di sini. “Ayo, dong, diterima. Kuharap Kakak menyukainya karena dia serius banget waktu milihnya.” “Simpan kembali karena aku tak berminat sama sekali.” “Kok, gitu, sih? Kalo nolak pemberian orang itu artinya Kakak nggak hargain yang ngasih.” “Memang.” Artemis tertawa kecil. “Bisa aja bercandanya. Oke, oke, nanti bakal kusampaikan ucapan terima kasih Kakak ke Kak Atlan.” Lalu dia menarik paksa tanganku dan menyampirkan tali paper bag di sana. “Aku balik ke kamar, ya. Selamat tidur, Kak.” Buru-buru Artemis pergi, hingga aku tak sempat menarik dan memintanya membawa kembali hadiah itu. Sungguh aku merasa terbebani menerima, tak ada sedikit pun rasa suka. Lagi pula buat apa pria itu memberiku sesuatu? Mau menyogok supaya mempermudah jalan pendekatannya dengan Artemis? Ha, sia-sia sekali upayanya! Dengan sedikit emosi aku menutup pintu kembali, lalu melempar paper bag ke arah sofa. Tanpa berniat mengetahui apa isinya, aku memilih berbaring di ranjang dan menutup kedua mataku dengan lengan. Berapa banyak orang yang memiliki nama Atlantis Pranadipta di kota ini? Padahal kurasa ... namanya cukup unik dan langka. Atlantis adalah ... pria yang kukenal saat kuliah. Dia satu-satunya orang yang membuat kehidupan kampusku lebih berwarna di sela masa-masa sulit yang kualami. Kami tak pernah bertemu lagi setelah hari wisudanya, kepergiannya ke luar negeri untuk menempuh jenjang strata dua. Sejak saat itu pula kabarnya tak terdengar hingga sekarang, sampai tiba-tiba Artemis jadi cerewet membicarakan seseorang yang tengah dekat dengannya dan memiliki nama serupa. Bagai membuka kotak kenangan lama, aku merasa bernostalgia tapi juga dilema. Kuharap kami memang punya kesempatan bertemu lagi, tetapi jangan sampai pria yang dekat dengan Artemis adalah orang yang sama. Karena kalau sama ... aku tak bisa membayangkan betapa besar rasa kecewa yang kuterima. Atlantis terlalu istimewa hingga aku tak bisa lupa. Selama ini aku diam karena menyimpan namanya rapat-rapat, bukan karena tak peduli pada siapa pun makanya terlihat acuh. Dia bukan hanya sekadar cinta pertama, tetapi juga orang luar pertama setelah nanny yang peduli padaku melebihi keluarga. Kami tak pernah berpacaran karena perasaanku bertepuk sebelah tangan dan dia menganggapku sebatas teman, hanya saja aku tak bisa benci atau melupakan karena terlanjur begitu menyukainya. Selama beberapa tahun ini aku juga menarik diri dari lawan jenis, jadi perasaanku masih sama di tempatnya dan tak berubah sama sekali. Apa terlalu egois kalau aku berharap kami bisa bertemu lagi dan kali ini dia juga menyukaiku? Sungguh aku tak mau apa-apa lagi jika berhasil memiliki Atlantis. Karena dari sedikit kebahagiaan yang kurasakan, Atlantis-lah satu-satunya orang yang selama ini kuinginkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD