Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20 ...
“Hei, awas!”
Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara, “Kalau mau nyeberang lihat-lihat, dong! Tololl banget jadi orang!”
Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Terlebih si pengendara sudah jauh tak terlihat lagi.
“Kamu nggak pa-pa?”
“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk beberapa kali. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu aku jadi selamat.”
“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”
Setelah orangnya berlalu baru tatapanku tertuju ke arah wajahnya. Mendadak aku tertegun selama beberapa saat, antara terpesona dengan rupanya dan berusaha mengingat-ingat siapa namanya.
Aku tahu dia kakak tingkatku dan cukup terkenal di angkatan kami. Selain karena tampan, keaktifannya dalam organisasi juga sangat diapresiasi. Intinya dia salah satu cowok yang sering jadi buah bibir di kalangan cewek. Sebagai pengamat serta pendengar, aku menampung semua informasi dengan baik. Jadi, aku cukup hafal tanpa harus mengenal orangnya terlebih dahulu.
“Ah!” Tiba-tiba aku berseru sambil menepuk pelan keningku, sekarang aku ingat siapa dia; Atlantis Pranadipta dari jurusan Ilmu Hukum! “Dilihat dari dekat ternyata jauh lebih tampan,” gumamku lirih.
Sepertinya Atlantis adalah cowok pertama yang kukagumi dan kupuji di pertemuan pertama kami. Ternyata benar apa yang dibilang teman sekelasku, pesona Atlantis sulit dilawan. Orang buta pun akan salah tingkah kalau terlalu lama berada di sampingnya.
Berusaha menyadarkan diri dari betapa bahayanya daya tarik Atlantis, aku menggelengkan kepala berulang kali hingga mengingat kembali alasan kenapa aku hampir ditabrak tadi; menyeberang jalan menuju kampus.
Sumpah, aku sudah celingak-celinguk memerhatikan sekitar! Jalanan cukup lenggang waktu itu, naasnya saat mantap ingin menyeberang, motor tersebut tiba-tiba muncul dengan kecepatan tinggi. Harusnya si pengendara mengumpati dirinya sendiri karena tak melihat arah depan dengan teliti, bukan aku yang tidak salah apa-apa ini.
Syukur-syukur kecelakaan tak terjadi, kalau sampai terjadi dan tubuhku luka-luka, kupastikan akan memeriksa rekaman CCTV di sekitar sini dan menuntutnya sampai matii.
Mengabaikan rasa kesal yang mendadak timbul, bergegas aku menyeberang karena kuliah jam pertama hampir dimulai. Kalau masih bertahan termenung di trotoar, maka sudah dipastikan akan terlambat. Dan, aku paling benci terlambat. Selain enggan ditanya-tanya dosen, aku juga tak ingin duduk di belakang bersama cowok-cowok berandalan.
Sepuluh menit kemudian aku sudah di dalam kelas, menempati bangku di barisan kedua mepet dinding. Untungnya masih ada satu kursi yang tersisa, jadi tanpa pikir panjang aku langsung menempatinya.
“Tumben telat, Then?”
Menoleh sekilas dari kesibukan mengeluarkan binder dan alat tulis dari dalam tas, aku menjawab, “Ada sedikit incident tadi.”
“Eh, kenapa? Tapi lo-nya nggak apa-apa, kan?”
“Seperti yang kamu lihat, aku tidak apa-apa.” Kupaksa menarik kedua sudut bibir ke atas agar tersenyum. “Hampir keserempet motor, Em, untungnya tadi ada yang nolong.”
“Astaga! Syukurlah, gue ikut lega dengernya,” ucap Emily sambil mengusap dadanya.
Emily ini satu-satunya orang yang sering bicara denganku di kelas, meskipun begitu kami tak terlalu dekat—dalam hal bisa main bareng, makan bareng, atau pun jalan bareng. Dia tahu aku tak terlalu membaur, makanya menghargai dengan selalu menjaga batasan di antara kami.
“Makasih atas kekhawatirannya.”
“Apaan pake makasih segala? Itu mah basic, Thena. Respon yang wajar kalo ada yang ngalamin kejadian serupa.”
“Tetap saja terima kasih.”
Lalu Emily tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangannya, “ya udah, sama-sama,” jawabnya.
Sempat hening sesaat sebelum kemudian aku mengajukan pertanyaan, “Em, kamu tahu banyak soal organisasi kampus, kan?” Mumpung dosen belum muncul.
“Lumayan. Kenapa, Then?”
“Kapan masa jabatan Kak Atlantis berakhi—”
“Lo tertarik sama dia? Ya ampun, Thena, ini langka banget, lho! Oke, oke, nanti gue cari tau. Atau lo mau gabung di organisasi yang sama? Gue bakalan kontak salah satu temen gue di sana buat masukin lo juga.”
Kehebohan Emily langsung membuatku panik. “Tidak seperti itu! Jangan buat kesimpulan sendiri, Em. Aku ... jangan lakukan apa pun!”
“Sssttt ... diem aja, semua pasti beres. Gue janji bakalan bantuin lo.” Emily mengedipkan sebelah mata dan mengacungkan kedua jempolnya, abai dengan kata-kataku dan teguh pada persepsinya sendiri.
Ya Tuhan, kesalahan fatalku sekarang adalah terlanjur bertanya padanya.
***
Dua hari lagi syuting drama kami selesai. Meski rating tiap episodenya stabil dan mendapat beragam reaksi di internet, tetap saja bagianku tak ada yang membicarakannya. Tokoh utama selalu menjadi pusat perhatian, figuran hanya sebatas pelengkap saja.
Mungkin wajar orang tak terlalu mengamatiku, karena tak ada gebrakan baru untuk karakter yang kumainkan. Kecuali untuk dua episode sebelumnya, ketika wajahku di tampar ada satu orang yang berkomentar; “Mampus! Melati pantas mendapatkan itu! Jadi teman, kok bermuka dua? Dasar ular kobra!”
Adegan emosional memang selalu berhasil menuai berbagai tanggapan. Harapanku untuk projek selanjutnya, minimal jika gagal casting protagonis semoga terpilih jadi antagonis. Dihujat juga sepertinya tak apa, asal penonton menyadari keberadaanku. Bukan hanya sekadar menonton, lalu lupa.
Selesai membaca beberapa artikel, aku memasukkan ponsel ke dalam tote bag lalu mengambil topi dan kacamata bening dari dalam sana. Sebelum keluar mobil mengitari supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan, aku memakai kedua benda itu agar menutupi rambut yang diikat sembarang dan kantong mata yang muncul karena begadang.
Beberapa saat kemudian aku sudah di dalam supermarket, berhenti di rak buah-buahan untuk memilih alpukat. Tiada hari tanpa diet, makanya harus aku yang memikirkan menu makanku terlepas dari bahan-bahan yang sudah dibeli bibi.
Saat sedang sibuk memasukkan beberapa ke dalam troli, tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang mendekat dan berbisik, “Sepertinya kita berjodoh, karena dari sekian banyak orang di sini aku justru bertemu denganmu.”
Refleks aku menegakkan punggung dan segera menghindar. Dengan kelopak mata melebar, aku menatap Mahendra Wisnuaji sambil menutup kupingku yang terkena embusan napasnya. “Kamu ... kenapa di sini?!”
“Dengan tujuan yang sama sepertimu. Ah, Thena, mau kubayar semuanya? Ambil saja sepuasmu.”
“Tidak perlu! Menjauh dariku, Mahen!”
“Hei, ayolah ...”
Langsung kutarik troli agar menghalangi Mahendra yang akan maju mendekati. Pria sialann ini terlalu nekat, padahal aku yakin dia tak sendirian di sini.
Melirik ke sana-kemari aku berusaha menemukan seseorang yang kucari. “Apa istrimu tahu perbuatanmu? Dengar, aku tak ingin dicap pelakor seperti korbanmu yang sudah-sudah.”
“Okay, okay, calm down, Baby. Aku akan pergi ...” dengan senyum yang memuakkan Mahendra mengangkat kedua tangannya, “sampai bertemu di lokasi syuting, Thena ...”
Terakhir dia melambaikan tangan, memasang maskernya lalu meninggalkanku.
Spontan aku menghela napas lega karena terbebas dari bencana.
Mahendra Wisnuaji adalah aktor yang cukup terkenal, sejalan dengan ketenarannya skandal pun ikut serta. Dia punya kebiasaan buruk merayu lawan mainnya, padahal sudah beristri dan mempunyai satu anak. Sudah ada beberapa korban artis yang berakhir diberitakan sebagai pelakorr, aku tak mau jadi salah satunya. Makanya sebisa mungkin menjaga jarak, meski sebelumnya sempat kecolongan juga.
Ah, kuharap ini drama pertama dan terakhirku bersamanya, karena demi apa pun aku tak sudi satu projek lagi dengan pembawa masalah sepertinya.
***
“Non Thena, lagi sibuk, ya? Kalo ndak sibuk, apa Bibi bisa minta tolong buang sampahh ini ke depan?”
Mengalihkan perhatian dari ponsel, aku menatap bibi lalu turun ke kantong sampahh yang dibawanya. Tanpa pikir panjang aku mengangguk, berdiri, dan mengambil alih kantong tersebut dari tangan bibi.
“Makasih banyak, Non. Bibi lagi goreng ikan, jadi ndak bisa ditinggal.”
Selesai beliau bicara, aku langsung beranjak pergi. Memang seperti itu kadang-kadang, tak ada jawaban, tetapi selalu kudengarkan sampai selesai. Tinggal bertahun-tahun di sini membuat beliau paham dengan berbagai karakter kami, makanya beliau tahu meski kepribadianku tak seperti Artemis, tapi aku tak sejahat itu juga menolak sampai membentak-bentak ketika dimintai tolong olehnya.
Ah, ya, tadi aku sedang membaca naskah baru yang Mbak Hera kirimkan. Judulnya Dua Sisi, bercerita tentang dua orang yang memiliki sifat bertolak belakang. Katanya kalau aku tertarik, Kamis depan dia akan mengantarku ikut audisi. Mencoba peruntungan sebagai tokoh utama.
Aku belum memberi jawaban karena terpotong permintaan bibi. Setelah membuang sampahh ini, rencananya aku akan menelepon Mbak Hera langsung dan mengatakan apa jawabanku.
“Kak!”
Aku nyaris menutup kembali pagar saat Artemis baru turun dari mobil dan memanggilku. Kenapa kepulangannya harus bertepatan dengan aku keluar, sih? Aku malas sekali berpapasan dengannya dan diajak bicara.
“Momennya pas sekali Kakak ada di sini, aku mau kenalin Kakak ke Kak Atlan.”
Kenalan? Ah, benar! Artemis diantar, bukan pulang dengan mobilnya sendiri.
Dengan perasaan campur aduk aku berusaha tak peduli, tetapi diam-diam menunggu sosok itu turun. Saat pintu bagian sopir mulai terbuka, refleks aku mengalihkan tatapan ke arah lain. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang kusimpan dalam kantong celana berdering nyaring. Hal itu juga menyadarkanku bahwa betapa bodohnya tindakanku sekarang, berdebar saat akan bertemu dengan calon pacar saudariku. Konyol sekali!
“Lain kali saja!” ucapku cepat, lalu memutuskan berbalik masuk dan mengangkat panggilan yang ternyata dari Mbak Hera.
“Halo, Mbak, maaf tadi aku ...–iya, aku tertarik sama naskahnya ...” jawabku to the point, setelahnya menggigit bibir bawah sambil merutuk dalam hati betapa idiotnya aku tadi.
***