Pagi harinya, Araf menghubungi berulang kali tapi Rasaya tidak mengangkatnya. Araf juga mengiriminya banyak pesan, memintanya untuk bertemu dengannya. Tapi Rasaya hanya membacanya tanpa membalas pesan Araf. Hingga hari ketiga setelah perselingkuhan itu, Araf datang ke rumah Rasaya. Laki-laki itu mengirimi pesan yang kesekian kali, bahwa dia sudah berada di depan rumahnya.
Rasaya yang hanya menghabiskan waktunya di kamar untuk menangis segera membuka jendela kamarnya. Melihat sebuah mobil hitam asing terparkir di depan rumahnya. Seorang laki-laki yang dulu sangat ia kagumi turun dan melihat sekeliling rumah. Rasaya segera berganti pakaian dan membasuh wajahnya yang berantakan. Sungguh Rasaya tidak peduli lagi dengan penampilannya sekarang. Kalau dulu ia selalu ingin tampil sempurna di depan Araf, sekarang ia tidak akan melakukan apapun untuk menyenangkan laki-laki itu.
Rumah itu cukup sepi, hanya Rasaya yang masih tinggal. Kedua orang tuanya sudah pergi ke kantor sejam yang lalu. Sedangkan adiknya sudah pergi sekolah. Hanya ada beberapa pembantu rumah tangga yang berseliweran.
Rasaya masih berjalan di tangga ketika Bibi Piria membuka pintu dan mempersilakan Araf masuk. Laki-laki itu langsung melihat Rasaya. Wajahnya tampak sedih, tak ada lagi senyum yang selalu ia lihat ketika bertemu dengan Araf. Laki-laki itu dengan canggung menuruti Bibi Piria untuk duduk di ruang tamu. Rasaya mendekati Araf setelah Bibi Piria meninggalkan mereka berdua.
"Ada apa kau datang ke sini?" ucap Rasaya dengan wajah tak bersahabat.
Araf duduk dengan tidak tenang, wajahnya pucat dan berantakan. Tapi Rasaya tidak akan tertipu olehnya lagi. Meskipun Araf memohon di depannya sekalipun, Rasaya tidak akan memaafkan laki-laki yang berselingkuh di belakangnya.
"Rasaya, hubungan kita tidak bisa diperbaiki lagi, kan?"
Rasaya berkacak pinggang, melihat Araf dengan mata tajam, "Pikirlah sendiri! Apa kita akan tetap bersama setelah aku melihatmu tidur dengan perempuan lain? Aku tidak sebodoh itu, Raf."
Laki-laki itu mengangguk mengerti. Rasaya semakin sedih melihat Araf tidak berusaha mempertahankan hubungan mereka. Rasaya semakin yakin laki-laki itu tidak pernah mencintainya.
"Aku hanya ingin kita berpisah secara baik-baik. Aku benar-benar tidak ingin kau membenciku, Ra. Aku ingin menyimpan kenangan kita dengan indah, aku harap kau pun begitu, karena aku benar-benar mencintaimu selama ini."
Rasaya tertawa sinis mendengar perkataan Araf. "Kau benar-benar tidak tahu malu, Raf. Apa kau mampu melakukan itu jika melihatku tidur dengan laki-laki lain di depan matamu? Kau bilang mencintaiku, tapi apa yang kau lakukan menunjukkan sebaliknya."
Mereka terdiam ketika Bibi Piria datang membawa minuman untuk Araf. Rasaya yang semula hanya berdiri jauh dari Araf, kini duduk di depan laki-laki itu. Tidak ingin menunjukkan pada Bibi Piria bahwa mereka sedang ada masalah. Rasaya tahu Bibi Piria akan curiga dan melapor pada Reno.
"Sejak lima tahun lalu aku menahan ini, sekarang aku ingin kau mengetahuinya, Rasaya." Araf terlihat ragu dengan apa yang akan ia katakan, ia terdiam beberapa lama sebelum menatap mata Rasaya dengan nanar. "Kau tak tahu bukan bahwa selama ini nenekmu selalu mengancamku untuk meninggalkanmu? Dari pertama kali kamu mengenalkanku pada nenekmu di Belanda, nenekmu tidak pernah menyukaimu. Aku mencoba bertahan tapi ternyata ini lebih sulit daripada yang aku pikirkan, Ra. Aku sadar tidak mempunyai apapun, aku hanya anak dari panti asuhan. Aku tidak pantas bersanding dengan keluargamu besarmu."
Rasaya terbelalak kaget, ia tidak pernah tahu Araf memiliki perasaan seperti itu. Araf adalah laki-laki yang percaya diri. Araf laki-laki pintar, ia sering menjuarai lomba saat di Belanda. Memang selama ini neneknya tidak pernah suka jika Rasaya membicarakan Araf, tapi Rasaya pikir neneknya hanya tidak suka Rasaya bersikap bodoh karena seorang laki-laki.
"Nenekku tidak mungkin melakukan itu. Kalaupun ia tidak menyukaimu, itu bukan karena latar belakangmu, tapi karena nenekku memang tidak mudah percaya dengan orang lain. Kau jangan menjadikan nenekku alasan perbuatan menjijikanmu itu, Raf."
"Aku tahu, aku tahu kamu tidak akan mengerti karena kamu tidak pernah merasakannya sendiri. Kamu tidak bisa memahami perasaanku karena kau bagian dari mereka, Ra. Kamu bagian dari dunia nenekmu. Kalian orang yang mempunyai segalanya, tidak akan mengerti bagaimana rasanya memperjuangkan sesuatu."
"Apa maksudmu, Raf? Kenapa kau berpikir seperti itu?" kata Rasaya dengan sekuat tenaga menahan air matanya.
Araf mengusap wajahnya dengan kasar, "Aku tidak menyuruh keluargamu untuk menjadi investor perusahaanku. Aku tidak menyuruhmu untuk memberikan miliyaran rupiah untuk membantuku. Orang tuamu melakukan itu tanpa sepengetahuanku. Aku pikir perusahaanku sekarang berdiri atas kerja kerasku, tapi ternyata bukan, Ra. Itu karena bantuan dari keluargamu. Kau tahu apa yang mereka katakan, mereka mengatakan perusahaanku berkembang pesat karena aku berhasil menggoda putri keluarga Rezardhi. Semua orang mengatakan aku berhasil karena mendapat sokongan dari keluargamu. Padahal mereka tidak tahu seberapa keras aku membangun perusahaan itu dengan tanganku sendiri."
Araf sudah merencanakan membuka perusahaan konsultan sejak masih kuliah. Laki-laki itu terlihat bersemangat dengan apa yang ia lakukan. Rasaya sering menemani Araf lembur tengah malam untuk mengerjakan proyek perusahaan besar bahkan saat masih kuliah. Setelah lulus kuliah, ia dan seorang temannya membangun perusahaan konsultan kecil di Jakarta. Mereka menyewa sebuah gedung kecil di tengah kota. Araf selalu bercerita perkembangan perusahaannya padanya. Rasaya bahkan ingat waktu tengah malam, Araf mengabarinya bahwa ada seorang investor yang tertarik pada perusahaannya. Investor itu memberi uang yang tidak sedikit dan sejak satu tahun yang lalu, perusahaan Araf bukanlah perusahaan kecil lagi. Mereka bahkan sudah membangun gedung sendiri.
"Araf, aku benar-benar tidak tahu akan hal itu. Aku tahu betapa kau bekerja keras untuk membangun perusahaan itu dari awal. Kenapa kau mendengarkan kata-kata orang lain yang tidak tahu apapun?" Rasaya berusaha mencegah air matanya turun. Ia tidak menyangka masalah ini bisa menjadi alasan hancurnya hubungan mereka. "Kenapa kau berpikiran seperti itu, Raf? Aku benar-benar tidak mengerti."
"Selama ini aku bekerja keras untuk membuktikan pada nenekmu kalau aku pantas untukmu. Tapi apa yang aku dapatkan adalah sebaliknya, Ra. Aku semakin sadar bahwa seberapa pun aku berusaha, aku tidak akan pernah pantas. Keluargamu tidak akan bisa menerimaku. Nenekmu tidak akan pernah menyetujui hubungan kita. Maafkan aku jika aku menyerah terlalu mudah. Tapi lima tahun ini membuatku sadar tempatku berada. Kita berada di dunia yang berbeda, Ra. Aku tidak ingin berada di bawah bayang-bayang dari orang yang harusnya aku lindungi."
Araf berdiri dan mendekati Rasaya, mengusap air mata yang jatuh di pipi Rasaya. "Aku tahu apa yang aku lakukan tidak akan termaafkan, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku pernah mencintaimu dengan tulus, Rasaya. Tapi rasa cintaku tidak cukup besar untuk membuatku bertahan dari semua ini. Aku yakin kamu bisa mendapatkan laki-laki yang lebih pantas, dibanding aku yang hanya mementingkan mimpiku dan diriku sendiri ini. Maafkan aku, Rasaya," ucapnya sambil menggenggam tangan Rasaya dengan erat.
Rasaya menjauhkan tangan Araf dari tubuhnya, "Aku benar-benar kecewa, padamu, Raf. Tak berartikah apa yang kita lalui selama ini? Kalau kau benar-benar mencintaiku, kau tidak akan meninggalkanku karena alasan konyol seperti ini."
"Aku kemari hanya ingin mengakhiri hubungan ini dengan baik. Aku benar-benar menyesal atas apa yang aku lakukan, Rasaya. Jangan terus bersedih hanya karena laki-laki sepertiku." Araf mengusap pelan pucuk kepala Rasaya. Hal yang sering laki-laki itu lakukan padanya dulu. Tangis Rasaya semakin kencang, sekarang hubungannya dengan Araf benar-benar berakhir. "Aku tidak akan menemuimu lagi, bencilah aku sesukamu."
Setelah mengatakan itu, Araf benar-benar pergi meninggalkannya. Rasaya hanya mampu menangisi kebodohannya sekali lagi. Kebodohannya karena tidak menyadari apa yang dirasakan Araf selama lima tahun hubungan mereka. Kalau ia sedikit saja mau melihat sekelilingnya, kalau Rasaya sedikit saja tidak fokus pada apa yang ada di depannya, mungkin ia akan tahu, bahwa tengah tersiksa berada di sampingnya. Mungkin Rasaya akan tahu bahwa di balik senyum Araf yang membangkitkan semangatnya, laki-laki itu punya masalahnya sendiri.
Rasaya tidak mengerti apa yang dikatakan neneknya dulu, tapi sekarang ia paham. Neneknya mengatakan bahwa cinta adalah bentuk lain dari kelemahan seseorang. Dan di sinilah Rasaya sekarang. Menjadi lemah karena cinta yang bahkan tidak lagi memperjuangkannya.
***
Seharian ini, Rasaya mengurung diri di kamarnya. Semenjak Araf pulang, beberapa kali Bibi Piria memanggilnya untuk makan siang, tapi Rasaya tak memberi jawaban. Rasaya menelpon neneknya, tapi neneknya tidak mengangkat. Rasaya tahu neneknya sering menenggelamkan diri di ruang bawah tanah di rumahnya, bersama buku-buku usang, selama beberapa hari tanpa keluar rumah. Neneknya sering melakukan hal-hal aneh untuk mendapat inspirasi menulis. Maka dari itu ia tidak bisa dengan mudah meninggalkan Belanda, meskipun seluruh keluarganya ada di Indonesia. Karena di sana lah sumber inspirasi neneknya dalam menulis.
Suara mobil terdengar dari halaman depan. Dari balik jendela, ia melihat orang tuanya dan Randi memasuki rumah. Rasaya keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Rasaya menghampiri orang tuanya yang sedang duduk di ruang makan.
"Ayah, katakan padaku kenapa ayah menjadi investor di perusahaan Araf? Aku tidak pernah meminta ayah melakukan itu," tanya Rasaya dengan setengah berteriak ketika ia sampai di depan orang tuanya.
Reno, yang baru pulang kerja terlihat bingung dengan pertanyaan anaknya, apalagi melihat wajah Rasaya yang tampak menahan marah. "Perusahaan Araf? Pacarmu? Ayah hanya membantu saja, tidak ada maksud lain. Memang kenapa, Ra?"
Wajah Rasaya semakin merah akibat amarah, "Kenapa Ayah membantu Araf tanpa memberitahu aku? Ayah tidak boleh melakukan hal itu sendiri. Araf tidak tahu Ayah yang menjadi investornya. Ayah tahu tidak seberapa keras Araf berusaha mendirikan perusahaannya? Araf tidak membutuhkan bantuan siapapun, apalagi dari Ayah."
"Ada masalah apa, Ra? Apa perusahaan Araf mengalami masalah?"
Rasaya menghentakkan kakinya dengan kesal, "Bukan perusahaan Araf yang ada masalah, tapi aku, Ayah."
Semua orang menatap Rasaya dengan tatapan tak mengerti. Helen menarik tubuh Rasaya untuk duduk di kursi makan, tepat di samping Randi. Setelah melihat Rasaya bisa mengendalikan emosinya, Helen berkata, "Ada apa, Raya? Dari kemarin kau tidak keluar kamar. Kata Bibi Piria kau juga tidak makan. Apa ada masalah dengan Araf?"
"Katakan padaku apa kalian menolak Araf karena latar belakangnya? Karena dia berasal dari panti asuhan? Kenapa kalian tidak bisa menerimanya?"
"Rasaya!" bentak Reno. "Ayah tidak pernah berpikir seperti itu. Ayah tidak pernah menolak Araf. Dan ayah tidak tahu kau bisa berpikir seperti itu terhadap ayah."
Helen menenangkan suaminya yang tampak emosi dengan perkataan Rasaya. Sedangkan Randi tetap diam di tempatnya, sadar bahwa dirinya tidak punya bagian dalam pembicaraan itu.
"Kalau tidak, kenapa Araf merasakan hal itu? Kenapa Araf berkata padaku bahwa keluargaku tak akan menerimanya?" Rasaya berhenti untuk menghapus air matanya. "Dari awal aku mengundang Araf ke rumah ini, tidak ada yang menyambutnya dengan baik. Ayah tidak pernah menerima Araf di rumah ini. Bahkan kalian menyuruhku menemui anak dari rekan kerja ayah padahal kalian tahu aku sudah punya pacar. Apa itu yang namanya kalian menerima Araf?"
"Raya, sepertinya kau salah paham, Nak. Mami menyuruhmu datang ke pertemuan itu hanya untuk formalitas saja. Mami tidak berniat menjodohkanmu dengan siapapun."
"Tapi Araf tidak berpikir seperti itu. Araf meninggalkanku karena kalian semua bersikap seperti ini. Kalian tidak pernah menerima Araf."
Rasaya meninggalkan orang tuanya, membiarkan ibu dan ayahnya yang berulang kali memanggilnya. Rasaya tahu orang tuanya tidak mungkin melakukan semua itu. Tapi sekarang ia tidak bisa berpikir apapun. Araf meninggalkannya karena alasan yang tidak masuk akal dan keluarganya adalah satu-satunya orang yang bisa ia salahkan.
"Hei..."
Randi berada di depannya, memberikan sapu tangan untuknya. Rasaya menghapus air matanya dengan kasar, tidak menerima pemberian Randi. Setelah beberapa detik, laki-laki itu menyimpan sapu tangannya kembali dan duduk di samping Rasaya. Mereka berada di taman, di depan bunga flamboyan yang memisahkan rumah utama dengan bangunan samping di mana Randi tinggal.
"Orang tuamu tidak mungkin melakukan itu padamu, Ra."
Rasaya menoleh kepada Randi, melihat laki-laki itu menatapnya dengan iba. "Apa yang kau tahu? Kenapa kau selalu ikut campur dengan urusan keluargaku?"
"Aku tahu karena aku mengenal mereka. Paman Reno dan Tante Helen tidak akan melakukan hal yang membuatmu sedih, termasuk kepada Araf, laki-laki yang kau cintai." Randi menatap Rasaya dengan lembut, tangannya memegang pundak Rasaya. Seperti yang sering ia lakukan sejak dulu. "Orang tuamu bukan orang yang menilai orang lain dari status sosial mereka. Kau harusnya tahu itu lebih dari siapapun."
Rasaya menggeser tubuhnya, menjauhkan tangan Randi dari pundaknya. "Jadi maksudmu, aku tak mengenal orang tuaku sendiri, begitu? Ya, aku lupa kalau kau anak kesayangan mereka. Kau tahu mereka lebih dari siapapun. Bahkan aku anaknya sendiri, tidak tahu apapun tentang mereka. Kau benar, enam tahun tinggal jauh dari mereka membuatku lupa seperti apa orang tuaku."
"Rasaya, bukan itu yang ingin aku katakan."
Randi berdiri di hadapannya ketika Rasaya ingin pergi dari taman itu. Laki-laki itu sangat tinggi, Rasaya hanya sebatas bahunya. Rambutnya yang cepak menyentuh sedikit dahinya. Matanya menyipit dengan tajam, bola matanya berwarna gelap, hitam, dan kuat. Kadang Elena tidak tahan melihat mata Randi. Seakan di sana tersimpan kesedihan yang tidak ia pahami. Tidak banyak yang Rasaya tahu tentang laki-laki itu. Selain kehadirannya yang membuat hidup Rasaya berubah. Selain kebenciannya pada laki-laki itu, bahwa tak seharusnya orang luar berada di rumahnya. Orang luar yang tidak ia harapkan sama sekali.
"Kalau kau ingin menyalahkan seseorang, Araf lah yang pantas kau salahkan, bukan orang tuamu. Araf berselingkuh di belakangmu, Rasaya. Dan sekarang kau menyalahkan orang tuamu demi membela laki-laki berengsek itu?" kata Randi.
"Jangan ikut campur urusanku. Pergilah dari hidupku, Ran!"
Rasaya pergi meninggalkan Randi. Kalau laki-laki itu berpikir Rasaya akan baik kepadanya, mendengar apa yang ia katakan, dan mengikuti apa yang ia mau, Randi salah besar. Rasaya tidak bisa menerima laki-laki itu di keluarganya, begitu pula di hidupnya. Rasaya tidak akan bisa menerima laki-laki itu untuk menjadi saudaranya, temannya, atau bahkan rekan kerjanya nanti. Randi hanya akan menjadi orang luar yang menyusup di keluarganya. Laki-laki yang berhasil menarik semua yang ada di sekitar Rasaya seperti sebuah gravitasi. Laki-laki itu tidak akan mengerti kehilangan yang Rasaya rasakan karena kehadirannya.
Randi tidak akan mengerti bahwa titik hidupnya yang penuh rasa kehilangan itu, berawal dari dirinya. Saat laki-laki itu masuk ke rumahnya dan membuat hidup Rasaya yang bahagia memudar.