Perempuan itu selalu menatapnya dengan dingin, kata-kata yang keluar dari bibir manisnya selalu tajam, seperti berniat membuatnya terluka. Randi tidak tahu kenapa Rasaya begitu membencinya. Randi tidak pernah berniat merebut apapun dari perempuan itu. Randi tidak pernah berniat merebut kasih sayang orang tua Rasaya, merebut perusahaaan ayahnya, atau apapun yang seharusnya perempuan itu miliki. Randi hanya mengikuti apa yang orang tua Rasaya inginkan, karena bagi Randi, mereka berdua adalah penyelamatnya.
Tapi perempuan itu seperti melihatnya dari sudut yang salah. Bagian yang salah dari dirinya. Perempuan itu seperti seseorang yang tidak bisa ia jangkau. Meskipun Randi berusaha mendekatinya, Rasaya hanya meliriknya dan menganggapnya orang luar. Randi tidak pernah melupakan tatapan gadis kecil yang ia temui dua puluh tahun yang lalu itu, karena tatapan itu masih sama dengan sekarang, sinar mata Rasaya ketika berbicara kepadanya. Seperti Randi adalah orang tak dikenal yang mengikutinya di jalan, Randi tahu Rasaya merasa terganggu dengan kehadirannya.
"Tidak boleh. Kami tidak akan membiarkanmu meninggalkan rumah ini."
Randi menghela napas, pembicaraan ini sudah sering mereka lakukan, pertama kali saat Rasaya berniat tinggal di luar negeri dan beberapa bulan ini, Randi sering mengutarakan keinginan itu lagi.
"Rasaya tidak suka aku tinggal di sini. Apa Paman tidak melihat kalau Rasaya membenciku? Lebih baik aku pergi daripada Rasaya yang pergi lagi seperti dulu."
Helen memegang tangan Randi dengan halus, selama apapun Randi berpikir, ia merasa tak pantas menerima semua kebaikan keluarga ini padanya. "Kau tidak boleh pergi kemanapun, Ran. Tante sudah berjanji pada ibumu untuk menjagamu. Kalau kau pergi, Tante akan merasa bersalah pada ibumu. Bagaimana Tante bisa melepaskanmu pergi setelah merawatmu selama ini?"
"Tante, aku sudah dewasa. Aku punya uang sendiri untuk membeli rumah di luar. Tante tidak perlu khawatir lagi padaku. Rasaya yang lebih membutuhkannya. Aku tidak ingin Rasaya tidak nyaman karena kehadiranku di sini."
Paman Reno tetap menggelengkan kepalanya kuat, "Tidak boleh. Kau sudah aku anggap seperti anakku sendiri, Ran. Kalau Rasaya tidak menerimamu, itu masalahnya. Dia sudah cukup dewasa untuk menerimamu menjadi keluarga kita. Kita sudah tinggal bersama bertahun-tahun dan jika Rasaya masih tidak menerimamu, itu bukan kesalahanmu. Paman yang akan membuat Rasaya mengerti dengan cara Paman sendiri."
"Paman.."
"Jangan membantah. Selama ini kau selalu menuruti apa yang aku inginkan. Aku menahanmu di sini karena aku ingin kamu menjaga Rasaya. Aku ingin kalian bisa dekat, aku berharap kamu memikirkan permintaanku ini, Randi."
Randi keluar dari ruang kerja Reno. Sampai kapanpun, Randi tidak bisa menolak permintaan Reno dan Helen. Sampai kapanpun ia akan berhutang kepada mereka. Dua orang yang melepasnya dari dinginnya kesendirian di rumah besar yang penuh dengan pecahan kaca-kaca. Bagaimana bisa ia menolak permintaan orang yang menyelamatkannya dari neraka itu? Bagaimana bisa ia menolak orang yang mau menerimanya di saat semua orang menyuruhnya untuk pergi? Walaupun ia memberikan hidupnya, itu tidak akan sebanding dengan apa yang dilakukan mereka padanya.
Dan perempuan itu, sampai kapanpun Randi tidak berani untuk menyentuhnya, bahkan hanya bayangan dirinya. Rasaya terlalu cantik, terlalu berharga, terlalu indah untuk ia genggam dengan tangannya yang lemah ini. Perempuan itu adalah orang yang akan ia tawarkan kehidupnya pertama kali, jika perempuan itu membutuhkannya. Karena Randi melewati dua puluh tahun dengan ingatan akan senyum gadis kecil itu. Rasaya, gadis kecil yang menatapnya dengan dingin setiap saat, tapi selalu bisa tertawa lebar di belakangnya.
Tanpa sadar, Randi mendekati Rasaya yang tengah asik memasak bersama Bibi Piria di dapur. Laki-laki itu duduk di kursi makan, menatap perempuan itu beberapa saat. Tak menyadari bahwa Helen sudah bergabung dengan mereka dan melihatnya sedang memerhatikan Rasaya. Wanita itu tersenyum penuh arti. Melihat hal itu, Randi berdiri, berniat meninggalkan rumah itu.
"Randi, kemarilah!" perintah Helen.
Randi mengangguk lalu mendekati mereka. Melihat tawa Rasaya seketika berhenti karena kehadirannya. Perempuan itu menghias nasi goreng buatannya di piring.
"Cobalah masakan Rasaya," ucap Helen sambil memberikan sepiring nasi goreng dari tangan Rasaya.
"Apa? Tidak. Aku tidak memasak untuknya. Aku memasak untuk ayah." Rasaya mencoba merebut kembali piring itu tapi Helen segera memberikannya pada Randi. "Jangan berani memakan masakanku!" ancamnya pada Randi.
"Rasaya! Kau memasak banyak, kenapa tidak memberikan satu piring untuk Randi?"
Randi melirik Helen, meminta persetujuan dari wanita itu dan segera memakan nasi goreng itu setelah Helen mengangguk. Randi melirik Rasaya yang berdiri di sampingnya setengah kesal. Perempuan itu masih menggunakan piyama berwarna biru muda yang membentuk tubuhnya dengan sangat indah. Perempuan itu mungkin sudah lupa bahwa ia serumah dengan laki-laki dewasa yang bisa sangat tergoda dengan tubuhnya itu. Bukan salah Randi jika matanya tak bisa beralih dari Rasaya, karena perempuan itu begitu cantik dengan balutan selembar kain itu.
"Enak," ucap Randi singkat. Laki-laki melihat Rasaya memutar kepalanya jengah. Nasi goreng itu tidak begitu enak, tapi Randi rela menghabiskan berapapun yang Rasaya berikan padanya. "Aku tak tahu kau pandai memasak, bukannya hanya menghabiskan sesuatu."
"Apa maksudmu?" kata Rasaya tak suka dengan ucapan Randi.
Tak ada yang bisa Randi lakukan untuk menarik perhatian perempuan itu selain bertingkah menyebalkan seperti ini. Randi selalu suka Rasaya merespon ucapannya seperti sekarang. Bukannya tidak mengacuhkannya seperti biasa, bagaikan Randi hanyalah orang asing yang tak pantas mendapat perhatian perempuan itu.
"Apa benar masakan Rasaya enak? Tante tidak yakin." Helen mencoba masakan Rasaya, wajah wanita itu langsung berkerut, Rasaya tampak tegang di sebelahnya menunggu penilaian ibunya. "Rasaya, sebaiknya kau perlu banyak belajar. Mami tidak akan memberikan makanan ini pada ayahmu. Bisa-bisa kau dipecat sebagai anak. Bagaimana bisa kau memasak seburuk ini?"
Rasaya tampak kecewa, bibirnya berkerut dengan sedih. Perempuan itu melihat Randi yang sudah duduk di meja makan, memakan nasi goreng yang ia buat dengan lahap. Menghampiri laki-laki itu lalu mengambil piring Randi yang masih separuh.
"Kau tidak perlu menghabiskannya jika memang tidak enak," ucap Rasaya dengan dingin.
"Kata siapa tidak enak?"
"Kau tidak perlu berbohong atau lidahmu sudah rusak?" Rasaya merebut sendok Randi dan mencoba masakannya sendiri, setelah mengunyah sekali, perempuan itu memuntahkannya di dapur. Kembali kepada Randi dengan wajah menahan amarah. "Apa karena kau orang rendahan, kau mempunyai selera rendahan juga?"
Randi berdiri ketika melihat Helen menghampiri Rasaya dan menampar wajah perempuan itu, "Kau sungguh keterlaluan, Rasaya! Mami tidak pernah mengajarimu berbicara seperti itu."
"Tante, tidak apa-apa," ucap Randi sambil menahan tangan Helen yang masih berada di pundak Rasaya. "Jangan menyakiti Rasaya."
"Kau tidak perlu membela anak tidak tahu sopan santun ini, Ran. Mami pikir kau sudah berubah setelah enam tahun ini, tapi Mami salah, kau masih bersikap kurang ajar kepada Randi. Mami sudah memintamu untuk sedikit saja menghargai Randi, Rasaya. Kenapa kau tidak bisa melakukannya?"
Rasaya menatap Randi dengan mata berkaca-kaca. Sungguh Randi tidak ingin perempuan itu menangis karenanya. Melihat perempuan itu menangis membuat hatinya ikut nyeri. Randi bisa menukar apapun miliknya agar itu air mata itu tidak turun. Tapi kini, air mata Rasaya turun, bola mata biru perempuan itu menatapnya dengan terluka. Tangan kecil perempuan itu memegang pipinya yang memerah karena tamparan ibunya sendiri.
"Sekarang kau tahu kenapa aku membencimu, kan? Sekarang jangan memintaku untuk menerimamu lagi, Ran. Karena aku tidak akan pernah bisa." Rasaya melihat ibunya dengan tatapan kecewa, tidak pernah menyangka bahwa ia akan mendapat tamparan sekeras tadi. "Randi, lain kali, kalau memang kau tidak menyukainya, katakanlah, jangan berbuat seperti tadi hanya untuk menyenangkanku. Karena aku tidak akan pernah peduli dengan apapun yang kau lakukan."
***
"Rasaya, sekarang minta maaf kepada Randi!" ucap Reno tegas.
"Aku yang ditampar, aku yang harus minta maaf?Tidak. Aku tidak akan minta maaf kepada laki-laki itu," kata Rasaya sambil menunjuk Randi dengan ujung jarinya.
Mereka berkumpul di ruang makan, setelah kejadian sore tadi, Reno memanggil semua orang rumah untuk makan bersama. Rasaya sempat menolak perintah ayahnya. Tapi ayahnya mengancam tidak akan membiarkan Rasaya bekerja besok jika dia tidak datang. Akhirnya mereka semua berkumpul, Rasaya melihat adiknya, Aleene, tengah sibuk melihat ponselnya, tidak peduli dengan apa yang terjadi di depannya.
"Rasaya!"
"Apa?"
"Minta maaf kepada Randi, sekarang!"
"Paman, Rasaya tidak perlu melakukan itu," ucap Randi mencoba mengakhiri suasana tegang di meja makan itu.
Rasaya menatap Randi dengan tajam seakan tak ingin laki-laki itu membelanya di depan orang tuanya. Setelah beberapa kali tidak mendapat tanggapan dari Rasaya, Reno menyerah menyuruh anaknya untuk minta maaf. Mereka melanjutkan makan dengan sunyi. Randi duduk di sebelah Aleene, tepat di depan Rasaya yang duduk di sebelah ibunya. Randi tahu Helen sekarang sedang menahan untuk tidak menangis. Helen tidak pernah menampar Rasaya sebelumnya. Randi tahu betapa lembut hati wanita itu, menyakiti anaknya sendiri adalah hal terakhir yang bisa ia lakukan.
"Rasaya, Mami minta maaf," ucap Helen setelah tak sanggup menahan tangisnya lagi. "Mami tidak bermaksud menamparmu. Mami hanya tidak suka kau berbicara seperti itu kepada Randi. Mami minta maaf sudah menamparmu, Sayang."
"Tidak apa-apa," ucap Rasaya santai tanpa menatap Helen.
"Rasaya..."
"Aku baik-baik saja. Baiklah aku yang salah. Tidak seharusnya aku menghina anak kesayangan kalian itu. Tapi jangan menyuruhku untuk meminta maaf pada laki-laki itu, karena aku tidak akan pernah melakukannya."
Helen terlihat kecewa dengan keputusan Rasaya, tapi tidak berkata apapun lagi. Wanita itu tahu tidak mudah untuk membuat Rasaya menerima Randi di rumah itu. Mereka sudah melakukan banyak hal, tapi akhirnya Rasaya memilih pergi dari rumah itu enam tahun yang lalu. Sekarang, mereka tidak ingin memaksa Rasaya seperti dulu. Reno dan Helen lebih berhati-hati untuk membuat Rasaya menerima Randi.
"Rasaya, besok kau mulai bekerja, bukan? Biarkan Randi yang mengantarmu ke kantor. Ayah menyuruh Randi untuk membantumu. Kalian bisa bekerja sama dengan baik. Ayah akan senang jika kau mau melakukannya."
"Ayah!"
"Lakukanlah untuk perusahaan ayah, Rasaya. Bukankah kau sudah berjanji mau ditempatkan dimanapun. Ayah percaya kau bisa membedakan urusan pribadi dan pekerjaan."
Rasaya melirik Randi yang tengah makan dengan tajam, "Tapi aku tidak mau berangkat kerja dengannya. Aku akan pergi sendiri."
Reno menganggukkan kepalanya dengan senang, "Tentu saja."
Tiba-tiba, Aleene menceletuk, "Ayah, bisakah aku membawa mobil ayah besok?"
Kali ini, Helen yang menjawab, "Tidak boleh. Kau belum mempunyai SIM. Kau tidak boleh membawa mobil sendiri sebelum masuk kuliah."
"Mami..." mohon Aleene dengan mata menyipit.
"Tidak boleh, Ally. Kau masih kecil. Memangnya kau mau kemana?" tanya Helen, Ally adalah nama panggilan Aleene waktu kecil, keluarganya lebih suka memanggil Aleene dengan panggilan itu.
Aleene terlihat kebingungan menjawab pertanyaan ibunya, dengan ragu-ragu perempuan itu menjawab, "Aku besok sore ada kelas tambahan. Benarkan, Kak Randi?"
Randi merasakan Aleene memegang tangannya di bawah meja, memintanya untuk membantunya. Randi yang mengetahui apa yang dimaksud Aleene langsung menganggukkan kepalanya. "Benar, Aleene ada jadwal tambahan setiap senin."
"Kalau begitu biar diantarkan supir saja. Kenapa kau ingin naik mobil sendiri?"
"Aku tidak pernah mengendarai mobil ke sekolah. Hanya aku yang tidak diizinkan. Semua teman-temanku melakukannya, aku juga ingin membawa mobil, Mi."
"Randi akan mengantar Ally, Tante. Jangan khawatir, besok sore Randi akan mengantarnya."
Aleene tampak tidak suka dengan ide itu. Sebenarnya Randi tahu Aleene sedang menyembunyikan hubungannya dengan salah satu karyawannya di kantor. Beberapa kali Aleene datang ke kantor Randi untuk mengantarkan berkas yang tertinggal di rumah. Aleene bertemu dengan Yuval, seorang junior engineer yang baru lulus dari bangku kuliah. Mereka beberapa kali bertemu dan Randi tahu sudah dua bulan mereka berpacaran. Randi menyuruh Yuval agar selalu memberitahunya kemana laki-laki itu mengajak Aleene pergi. Walaupun Aleene menyuruh Randi untuk merahasiakan hubungannya, Randi perlu tahu sejauh mana hubungan mereka. Selain menjaga Rasaya, Randi juga merasa bertanggung jawab untuk memastikan Aleene baik-baik saja.
Dan Randi tahu kemarin mobil Yuval sedang ada di bengkel. Kalau Aleene meminta tolong padanya, pasti ia akan meminjamkan mobilnya. Bukannya membuat orang tuanya curiga seperti sekarang.
"Kau sudah punya pacar, kan?" tanya Rasaya kepada adiknya.
Mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Rasaya, Aleene menggelengkan kepalanya cepat. "Tentu saja tidak. Sebentar lagi aku ujian. Aku tidak mempunyai waktu untuk melakukan hal itu."
"Jangan berbohong, aku melihatmu berciuman dengan laki-laki di mobil waktu aku pulang dari Belanda. Sebaiknya kau menceritakan pada kami sekarang, Ally."
Aleene menoleh pada Randi, meminta bantuan kepada laki-laki itu lagi. Bukannya dia ingin menyembunyikan hubungannya, tapi Yuval belum siap bertemu dengan keluarganya. Yuval masih karyawan bawahan yang baru bekerja beberapa bulan di perusahaan ayahnya. Laki-laki itu tak punya keberanian untuk menemui keluarga Aleene, yang juga pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Randi tahu itu karena Yuval sering menceritakan kerisauannya itu pada Randi.
"Aku sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Kau bisa bertanya pada Pak Supardi atau Kak Randi. Mereka yang menjemputku sepulang sekolah dan aku selalu pulang tepat waktu. Aku tidak punya waktu untuk berpacaran."
Randi mencoba dengan santai membenarkan perkataan Aleene, "Benar. Aku bisa menjamin bahwa Aleene tidak berpacaran dengan siapapun. Kau tidak perlu khawatir pada adikmu, Ra."
Rasaya melihat dua orang yang duduk di depannya itu dengan curiga. Meskipun Randi cukup bisa menyembunyikan kebohongan itu, tapi Rasaya bisa menangkap adiknya yang tampak gelisah. Helen dan Reno pun merasakan hal yang sama. Tapi mereka memilih untuk tidak membicarakan hal itu lebih lanjut.
Rasaya akan menanyakan langsung kepada adiknya nanti. Rasaya akan membuat adiknya buka mulut. Siapa sebenarnya laki-laki di mobil hitam seminggu yang lalu itu? Dan kenapa Aleene yang masih kecil berciuman sepanas itu di mobil.