PROLOG
Rasaya hidup bagai seorang putri kerajaan. Rambutnya panjang, dengan mata biru yang lembut, hidung mancung dan bibir tebal. Rasaya selalu meminta ibunya menyisir rambutnya setiap hari, harus dengan hati-hati menitinya satu-persatu seperti sebuah berlian yang mahal. Tidak membiarkan satu batang pun terlewat dari penjagaannya dan membuat Rasaya, Sang Putri, tak lagi sempurna. Rasaya hanya duduk di meja rias, menatap cermin dan melihat senyumnya sendiri yang lebar. Meskipun ia harus bangun tiga puluh menit lebih pagi, tapi ia sangat menikmati ketika ibunya datang ke kamar dan mendandaninya. Memberikan yang terbaik untuk membuatnya paling bersinar di antara anak-anak lain di sekolahnya.
Ketika keluar dari kamarnya di pagi hari, ibunya sedang menyiapkan makanan bersama lima orang pelayan yang sudah dikenal akrab oleh Rasaya. Sedangkan ayahnya duduk di kursi makan, meminum kopinya sambil membaca koran. Lalu seperti adegan menyenangkan yang berulang, ayahnya akan meletakkan bacaannya, melepaskan kacamatanya, dan berdiri untuk memeluk Rasaya sangat erat.
Rasaya tahu, dia adalah anak yang paling beruntung di dunia ini. Dunianya begitu indah, semuanya tertata rapi, ia sudah bisa membayangkan akan seperti apa dirinya dua puluh tahun yang akan datang. Rasaya akan menguasai dunia dan tetap bersama orang tuanya yang hanya mencintainya.
Tapi, suatu hari ketika Rasaya pulang sekolah, ibunya tidak ada di rumah seperti biasa. Ayahnya tidak mengangkat telepon Rasaya, hal yang tidak pernah dilakukan ayahnya sebelumnya. Rasaya menangis sendirian di depan rumah yang sangat besar itu. Beberapa pelayan melihatnya dengan kesedihan serupa, tapi tidak ada yang berani mendekatinya.
Malam semakin pekat, Rasaya masih dengan tangisnya yang belum usai. Ia berdiri ketika melihat mobil orang tuanya berhenti tepat di depannya. Rasaya berlari ingin memeluk ayahnya, tapi ia berhenti ketika melihat ayahnya menggenggam tangan anak laki-laki berambut hitam. Anak laki-laki bermata sedih yang menatapnya datar. Rasaya melotot tak suka dan anak itu dengan perlahan melepaskan genggamannya pada ayahnya.
"Rasaya, kenalkan ini Randi. Dia akan menjadi kakakmu mulai sekarang. Randi anak yang pintar, dia murid terbaik di sekolahnya," kata ibu Rasaya sambil menyentuh kepala anak laki-laki itu.
Rasaya semakin menatapnya tajam, matanya berair, tapi kemarahan jelas terlihat di mata Rasaya.
"Randi, mulai sekarang jadilah kakak yang baik untuk Rasaya, dia anak yang manis dan lembut. Ajarilah dia agar bisa sepertimu, menjadi anak pintar dan mandiri. Sudah saatnya Rasaya tidak bergantung dengan kami lagi."
Kening Rasaya berkerut, "Kakak?" tanyanya tak percaya.
"Benar, Rasaya. Kamu pasti kesepian di rumah besar ini sendiri. Apalagi Ayah dan Mami sibuk dengan pekerjaan. Jadi Ayah membawa anak yang akan menemanimu, Rasaya. Randi akan menjadi kakak dan temanmu mulai sekarang," kata Reno lagi.
Rasaya menggelengkan kepalanya. "Aku tak butuh kakak. Aku tak suka memiliki kakak." Rasaya menunjuk anak dekil di depannya itu. "Dan dia bukan kakakku. Dia bukan anak Mami dan Papi, kan? Dia bukan kakak kandungku. Siapa dia, Ayah?" tanya Rasaya.
"Kakakmu, Rasaya. Orang yang akan melindungimu. Mulai sekarang, Randi adalah anak Ayah dan Mami. Dia adalah kakakmu," kata Reno dengan nada yang tak bisa Rasaya bantah.
Reno menggandeng tangan Randi dan membawanya masuk ke rumah. Meninggalkan Rasaya sendiri di depan. Ayahnya itu seperti tak peduli dengannya lagi. Semua orang tak lagi peduli dengan Rasaya. Sekarang Rasaya bukan pemain utama di rumah itu. Selalu ada Randi yang membayanginya.
Dunia Rasaya seakan runtuh, mempunyai kakak laki-laki yang terlihat sempurna di mata orang tuanya tidak pernah ada dalam rencananya. Kalau Rasaya ingin mencapai sesuatu, maka ia akan melakukannya dengan tangannya sendiri. Dia adalah anak yang paling bahagia di dunia ini, ia tidak pernah kekurangan apapun, dan tidak ada seorang pun yang berani menyalahkannya. Jadi, kenapa ia harus membutuhkan Randi untuk meraih semua yang ia inginkan?
Sejak pertemuan itu, ibunya tidak lagi datang ke kamarnya untuk menyisir rambut Rasaya karena ia harus menyiapkan bekal untuk Randi. Ayahnya tidak lagi memeluk Rasaya setiap pagi karena ia asik berbincang dengan Randi di meja makan. Sopirnya tidak lagi mengantarnya ke sekolah karena Rasaya harus berangkat bersepeda dengan Randi. Setiap minggu, orang tuanya tidak pernah mengajak Rasaya ke toko buku lagi karena semua buku yang digunakan Rasaya adalah buku bekas dari Randi. Ayah Rasaya tidak lagi membantunya mengerjakan tugas karena ada Randi yang siap melakukannya.
Dunia Rasaya tiba-tiba berada dalam lingkaran laki-laki itu. Kasih sayang orang tuanya sudah terbagi. Waktu orang tuanya sudah terbagi. Kini, Rasaya tidak lagi melihat jelas seperti apa dirinya dua puluh tahun nanti. Semua rencananya berantakan. Semua sekarang milik anak laki-laki itu.
Randi yang pintar. Randi yang selalu menjadi juara kelas. Randi yang memiliki banyak teman. Randi yang selalu membantu ibunya di dapur. Randi yang suka berolahraga dengan ayahnya. Randi yang suka membantu para pelayan membersihkan rumah.
Ketika mereka beranjak dewasa, semua julukan itu berganti. Randi yang tampan. Randi yang tinggi. Randi yang mempunyai banyak penggemar. Randi yang selalu diajak bicara ayahnya tentang pekerjaan. Randi yang mengikuti banyak klub di sekolah. Randi yang selalu mendapat beasiswa. Randi yang selalu tersenyum hangat kepada siapapun. Randi yang selalu dibicarakan semua orang.
Randi. Randi. Randi. Randi. Randi.
Randi, selalu nama itu.
Tidak ada lagi yang melihat Rasaya. Semua mendekatinya karena ingin mengenal laki-laki itu. Semua temannya datang ke rumahnya karena ingin bertemu dengan laki-laki itu. Semua memperlakukannya dengan baik karena ingin dilihat laki-laki itu. Semua di sekitarnya palsu. Para pelayan yang sudah ia kenal dari kecil, lebih mengenal Randi daripada Rasaya. Bahkan, adik perempuannya yang masih kecil, lebih menyukai Randi daripada Rasaya.
Rasaya tahu di balik senyumnya yang selalu hangat kepadanya, laki-laki itu tertawa bahagia ketika Rasaya gagal dan semua orang meninggalkannya. Menikmati ketika Rasaya jatuh di bawahnya.
Rasaya gerah. Ketika neneknya yang tinggal di Belanda mengajaknya pindah, Rasaya menyetujui. Rasaya senang karena bisa berpisah dari laki-laki itu. Ia akan pergi dan ketika kembali, Rasaya akan memperlihatkan pada laki-laki itu apa yang sebenarnya ia miliki. Rasaya akan menunjukkan di depan mata Randi bahwa laki-laki itu tidak memiliki apapun. Ia tidak berhak memiliki apapun.
Randi hanya merebut apa yang dimiliki Rasaya. Randi hanya mencurinya.
Karena sebenarnya, Randi hanyalah anak haram yang bahkan tidak diakui oleh kedua orang tuanya. Randi hanyalah anak tanpa keluarga yang menumpang hidup di rumahnya. Randi hanyalah orang yang hidup dari belas kasihan orang tuanya. Rasaya berjanji, akan mengatakan itu dengan jelas di depan wajah laki-laki itu.
Rasaya akan mengusir laki-laki itu dari hidupnya tanpa membawa apapun. Seperti ketika ia datang ke rumahnya dengan tangan kosong.
Karena laki-laki itu memang tidak memiliki apapun.