Kalau kau pernah merasa begitu terkejut hingga seluruh sel tubuhmu memanas, kelopak matamu membuka, bibirmu kaku tak bergerak, dan tanganmu dingin hingga mati rasa, maka kau tengah merasakan apa yang kini Rasaya rasakan. Pemandangan di depannya begitu menyesakkan hingga ia hanya diam tak berkutik di kamar itu. Melihat dua orang yang hampir telanjang saling bersentuhan di ranjang yang tampak berantakan.
"Rasaya ..." ucap laki-laki yang tersadar oleh bunyi pintu yang ditimbulkan Rasaya. Laki-laki itu sudah bertelanjang d**a. Tubuhnya berada di atas perempuan berambut panjang yang kini melihat Rasaya dengan senyum ketakutan.
Seperti tersadar dari mimpi buruk, Rasaya meninggalkan kamar itu. Berlari sangat cepat hingga rasanya kakinya tidak menyentuh tanah lagi. Panggilan di belakangnya membuat Rasaya mempercepat langkahnya. Air matanya menetes sangat deras. Rasaya jarang menangis, tapi hatinya sangat sakit sekarang.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Lima tahun Rasaya menghabiskan waktunya bersama Araf. Selama lima tahun ini Rasaya tidak pernah melirik laki-laki lain. Rasaya sangat mencintai laki-laki itu. Mereka banyak menghabiskan kenangan manis. Mereka adalah pasangan yang diimpikan banyak orang. Rasaya memperkenalkan Araf ke semua temannya di Belanda. Laki-laki itu juga orang pertama yang ia kenalkan pada orang tuanya. Rasaya kira ia memilih orang yang tepat. Rasaya kira tidak ada masalah selama ini, bahkan ia ingin membicarakan pernikahan dengan laki-laki itu. Tapi apa yang didapatkannya sekarang?
Rasaya memergoki pacar lima tahunnya itu tengah bercinta dengan perempuan lain. Perempuan di kamar itu bahkan sudah telanjang sepenuhnya.
Rasaya tidak mungkin salah paham, karena ia juga mengerti akan hal itu. Ia pikir Araf bukan laki-laki yang melakukan seks sebelum menikah. Laki-laki itu selalu menjaganya, Araf selalu tahu batas ketika menyentuhnya. Bahkan di hubungan mereka, Rasaya lah yang sering lupa diri. Tapi ternyata laki-laki itu mendapatkan kebutuhannya dari perempuan lain.
Bodoh sekali. Benar-benar bodoh kau, Rasaya.
"Rasaya!"
Rasaya mengutuki lorong yang begitu panjang karena sekarang Araf sudah memegang tangan kirinya. Rasaya bernapas dengan brutal, ia hampir tersedak dengan tangisnya sendiri. Seharusnya ia menampar laki-laki di depannya, tapi Rasaya tidak bisa menggerakkan tangannya.
"Rasaya, dengar penjelasanku," kata Araf dengan tatapan memohon. Kalau ini adalah adegan film, Rasaya pasti akan tertawa. Sang perempuan begitu bodoh karena membiarkan laki-laki mempermainkannya begitu lama.
Inikah yang kau dapatkan setelah mengagung-agungkan otakmu selama ini?
"Jangan mengatakan sesuatu karena itu hanya membuatmu semakin berengsek, Raf."
Araf menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasaya menatap laki-laki itu dengan seksama. Sebenarnya apa yang dicari laki-laki ini? Bukankah Rasaya sudah melakukan segalanya? Rasaya sudah sekuat tenaga membuatnya menjadi laki-laki paling beruntung di dunia. Rasaya selalu menuruti kemauan laki-laki itu. Araf tak suka perempuan yang sering keluar malam, ia suka perempuan pintar, ia suka perempuan yang bisa memasak, mengerti olahraga, perempuan yang sederhana, ramah, bersih. Meskipun semua itu bukan dirinya, Rasaya berusaha mati-matian menjadi perempuan yang Araf inginkan. Tidak ada sebercak pun noda dalam diri Rasaya yang bisa membuat laki-laki itu berselingkuh.
Lalu kenapa?
"Aku minta maaf, Rasaya. Aku minta maaf. Biarkan aku menjelaskan-"
Rasaya mengangkat tangannya yang kaku dan menampar wajah Araf dengan keras. Tapi tamparan itu tidak mampu menenangkan dirinya. "Teganya, kau! Teganya kau melakukan ini padaku! Apa salahku, Raf? Kau! Kau benar-benar b******k! Bagaimana bisa kau selingkuh setelah lima tahun hubungan kita? Apa kau selalu bermain di belakangku selama ini? Kau pasti menertawakan diriku selama ini. Kau pasti senang karena berhasil membodohiku!"
Araf memukul dinding di sebelahnya hingga tangannya berdarah, "Bukan seperti itu, Rasaya. Aku tidak mungkin melakukan itu padamu. Aku dan Yuri baru bertemu satu bulan ini."
"Satu bulan?"
Rasaya mendekati Araf dan rasa kecewa memenuhi dirinya seperti menekan semua kemarahannya. "Satu bulan? Jadi kau selingkuh dengan perempuan itu satu bulan? Kau merasa lebih baik karena hanya berselingkuh satu bulan? Tidak, Raf. Pergilah dari hidupku mulai sekarang!"
"Rasaya! Dengarkan aku!" Araf menyusul Rasaya dan menghadap perempuan itu.
"Aku tidak menyangka kau sejahat ini, Araf. Aku menyesal mengenalmu. Aku menyesal pernah mencintaimu."
"Rasaya, aku minta maaf. Tapi kau harus tahu bahwa sebelum ini aku tidak pernah membohongimu. Lima tahun ini aku benar-benar mencintaimu, Rasaya. Aku mencintaimu."
"Pergi!"
"Rasaya ..."
Rasaya sudah kembali berjalan tapi Araf masih di sampingnya. "Pergi, Berengsek!"
"Rasaya, setidaknya biar aku mengantarmu pulang," mohon Araf kepada dirinya.
"Kembalilah ke kamar. Jangan membuat perempuan tadi menunggumu. Aku tidak mau merusak hubungan kalian yang sudah berjalan satu bulan."
"Rasaya ... Aku mohon jangan seperti ini."
Rasaya mendongakkan badannya, menatap tepat pada manik mata Araf yang sempat membuatnya ketagihan itu. "Pergi! Kau membuatku jijik!"
Araf terdiam. Laki-laki itu tidak lagi mengikutinya. Rasaya memasuki lift sendirian. Terduduk di sudut lift dan menangis hingga tubuhnya bergetar. Rasaya tidak tahu bahwa kehilangan orang bisa sesakit ini. Rasaya kehilangan Araf dengan cara yang paling menyakitkan. Ia bisa memaafkan apapun, tapi tidak untuk pengkhianatan. Dan selingkuh adalah pengkhianatan paling besar bagi Rasaya.
Rasaya turun dari lift dan melangkah lemah keluar gedung. Ia berjalan tanpa arah, melupakan Randi yang menunggunya di parkiran gedung. Rasaya terus berjalan dengan kaki lemahnya. Melewati beberapa toko di tepi jalan. Air matanya sudah kering dan Rasaya tidak sanggup lagi untuk menangis. Ketika berjalan di jalanan yang sepi, ia melihat bayangan di belakangnya, Rasaya membalikkan badan. Randi berada di belakangnya. Laki-laki itu menatap Rasaya dengan nanar.
"Pergi! Jangan mengikutiku, Sial-an!"
Tapi Randi hanya diam. Rasaya melanjutkan perjalanannya tanpa menghiraukan Randi yang terus mengikutinya di belakang. Saat sampai di jembatan di atas sungai yang besar, Rasaya berhenti. Hak sepatunya patah. Rasaya menangis lagi. Ia berjongkok di tepi jembatan, menggengam sepatunya dan memukulnya beberapa kali ke jalan. Rasaya berusaha memasang hak itu ke sepatunya tapi tidak bisa.
Sepatu itu sudah rusak.
Hubungannya dengan Araf sudah rusak.
"Kau melukai tanganmu, Rasaya. Lepaskan sepatu ini!" kata Randi sambil merebut sepatunya dari tangan Rasaya.
Randi ikut berjongkok di depan Rasaya. Meraih kaki kanannya dan membuka sepatu Rasaya yang lain. Kemudian, laki-laki itu membuka sepatunya. Rasaya hanya menuruti Randi ketika laki-laki itu memakaikan sepatunya ke kaki Rasaya. Sepatu itu begitu besar dan tidak nyaman di kaki Rasaya. Ia berniat melepaskannya tapi tangan Randi menahannya.
"Kakimu akan terluka jika berjalan tanpa sepatu," ucap laki-laki itu.
Rasaya menatap Randi yang kini berada cukup dekat dengannya. Di saat seperti ini, Rasaya sekilas tidak merasakan lagi kebenciannya pada laki-laki itu. Randi selalu berada di sampingnya saat ia terluka.
Rasaya mengingat enam tahun yang lalu, saat ia tidak berhasil mendapat beasiswa ke Jerman, laki-laki itu terus menemani Rasaya dan berhasil membuatnya tersenyum. Tapi keesokan harinya, kebaikan Randi berganti menjadi kebencian yang semakin kuat pada laki-laki itu. Randi mendapat beasiswa ke Singapura. Rasaya marah. Laki-laki itu berbuat baik padanya pasti karena kasihan kepada Rasaya. Laki-laki itu selalu mendapatkan apa yang ia mau, sedangkan Rasaya tidak.
Seperti sekarang, saat keadaannya terpuruk, laki-laki itu selalu berada di sampingnya. Satu-satunya orang yang mengetahui semua kelemahannya. Rasaya tidak menyukai orang yang ingin ia lawan menjadi orang yang selalu melihat air matanya.
"Apa kau melihat semuanya?" tanya Rasaya.
Randi mengangguk singkat. "Ayo berdiri," ucapnya sambil menarik tangan Rasaya. Mereka bersandar pada dinding jembatan yang mengarah pada air sungai.
"Kau juga akan menertawakanku, kan? Kau pasti menganggapku bodoh. "
"Satu-satunya yang bodoh di sini adalah Araf karena meninggalkanmu."
Rasaya melihat Randi lagi. Laki-laki itu menatap kosong ke depan. Dari samping seperti ini, laki-laki itu ternyata memilki bulu mata yang panjang. Rasaya tidak menyukai semua kelebihan yang dimiliki Randi.
"Saat pertama kali bertemu, Araf adalah laki-laki yang sangat baik. Dia satu fakultas denganku di Belanda. Dia berada di sana sendirian, benar-benar sendiri. Awalnya aku kasihan karena kulihat ia tidak memiliki uang sehingga harus bekerja sepulang kuliah. Aku mengikutinya ke kafe tempatnya bekerja. Aku selalu pergi ke sana sepulang sekolah. " Rasaya mengingat lagi awal hubungannya dengan Araf. Berusaha menemukan celah yang membuat laki-laki itu memilih perempuan lain. "Kalau dilihat lagi, selalu aku yang mengambil langkah lebih dulu. Aku yang mengejarnya, aku yang menyatakan perasaan lebih dulu," lanjut Rasaya.
Tidak mendengar tanggapan Randi, Rasaya melanjutkan. "Tapi Araf benar-benar baik. Dia membuat duniaku lebih baik. Karena Araf, aku meninggalkan pergaulanku yang kelewat bebas. Dia tidak pernah menyakitiku sebelum ini. Hubungan kami baik-baik saja. Ia pulang ke Indonesia dua tahun yang lalu. Kami berhubungan jarak jauh. Tapi beberapa bulan sekali ia mengunjungiku ke Belanda. Aku pikir hubungan kami baik-baik saja. Lalu kenapa ia melakukan ini padaku, Ran? Kenapa?"
"Aku tidak tahu," ucap Randi dengan wajah datar. Tubuh Rasaya semakin lemas mendengar jawabannya. "Kau harus menanyakan pada Araf langsung."
"Aku benar-benar tak mengerti kenapa Araf bisa melakukan ini padaku. Aku benar-benar tak paham. Apa seks sepenting itu hingga ia tega selingkuh dariku? Kenapa dia tidak meminta padaku saja? Kenapa harus dia harus melakukannya dengan perempuan lain? Kenapa, Ran?"
Randi tidak menjawab pertanyaan Rasaya. Membuat tangis Rasaya semakin kencang. Perempuan itu berteriak di tengah berisiknya kendaraan yang lewat di belakang mereka. Seakan meluapkan semua kesedihannya pada air sungai yang diam. Rasaya tak pernah merasakan kesedihan sedalam ini sebelumnya.
Rasaya mengusap butiran air mata yang jatuh di pipinya. Sudah cukup ia menangis malam ini. Kedatangannya ke Indonesia bukan untuk hal meratapi kisah cintanya yang berakhir menyedihkan. Rasaya datang ke sini untuk mengambil kembali apa yang ia tinggalkan dulu. Menangis di hadapan Randi adalah hal terakhir yang ia inginkan.
"Dimana mobilmu?" tanya Rasaya setelah tangisnya reda.
"Aku meninggalkannya di apartemen Araf," jawab Randi.
Rasaya mendengus kesal. Ia tidak mungkin kembali ke apartemen Araf. Mereka sudah berjalan cukup jauh. Rasaya tidak mempunyai tenaga lagi untuk berjalan puluhan menit dengan sepatu Randi yang kebesaran di kakinya itu.
"Kenapa kau meninggalkannya di sana, Bodoh?"
Mendengar Rasaya memanggilnya bodoh, wajah Randi seketika nampak kaku. "Aku akan mengambilnya, kau tunggu di sini," ucap laki-laki itu. Randi meletakkan sepatu Rasaya yang masih ia pegang di jalan. "Tunggu di sini. Jangan pergi kemanapun!"
Randi berlari meninggalkan Rasaya dengan kaki telanjang. Rasaya melihat sepatu Randi yang kini masih ia gunakan.
Kenapa laki-laki bodoh itu berlari tanpa sepatu? Apa dia pikir Rasaya akan berterima kasih atas perhatiannya itu?
"Randi!" teriak Rasaya sambil menyusul Randi yang sudah berada tiga meter dari tempatnya berdiri. "Pakai sepatu bodoh ini. Kenapa kau berlari dengan kaki telanjang seperti itu?"
Rasaya melepas sepatu dan melemparkannya pada Randi, laki-laki itu langsung berkata, "Aku tidak membutuhkannya."
"Pakai saja! Jangan berlagak peduli denganku!" Melihat Randi selesai memakai sepatunya, Rasaya berkata lagi, "Kau harus menjemputku setengah jam lagi di sini atau aku akan naik taksi sendiri. Aku tidak mau menunggu lama."
Laki-laki itu mengangguk pelan lalu berlari menjauhinya. Setelah Randi menghilang dari pandangannya, Rasaya kembali menangis di jembatan itu sendiri. Ternyata menangis sendiri terasa lebih menyakitkan. Rasaya tak tahu bagaimana besok ia menghadapi harinya tanpa Araf. Tanpa pesan dari laki-laki itu yang selalu membuat harinya lebih baik. Tanpa senyumnya. Tanpa dirinya yang sudah menjadi tempatnya bergantung lima tahun ini.
Araf adalah cinta pertamanya. Benar-benar orang pertama yang bisa ia cintai tanpa maksud apapun. Araf adalah tempatnya pulang dari semua hal yang membebani pikirannya selama ini. Sekarang, tak ada lagi Araf dan Rasaya tidak tahu kepada siapa lagi ia harus menyandarkan kepalanya.