PART 5 - Tak Pernah Cukup

1910 Words
Rasaya melihat gedung dua puluh lantai di depannya dengan senyum mengembang. Sudah hampir sepuluh tahun ia tidak mengunjungi tempat itu. Rasaya memasuki gedung itu dengan bangga, sudah lama ia menantikan hari ini, dapat membantu perusahaan ayahnya dengan tangan dan otaknya sendiri. Rasaya selalu ingin menjadi orang yang dibutuhkan di tempat itu. Masa kecil Rasaya, tidak pernah jauh dari gedung itu. Kalau tempat bermain sebagian anak adalah taman bermain atau sekolah, kantor ayahnya adalah tempat bermain Rasaya. Sejak kecil, Rasaya sudah mengingat semua ruangan di gedung itu. Tempat mana saja yang mempunyai pemandangan indah, tempat mana saja yang sejuk, tempat mana saja yang panas, dan tempat mana saja yang tidak boleh ia kunjungi. Kalau sebagian anak belajar pertama kali dengan nama hewan atau buah-buahan, lain halnya dengan Rasaya yang belajar mengeja dari nama alat-alat di sana. Gambar alir proses menjadi kertas mainannya. Cinta pertama Rasaya selain orang tuanya adalah tempat itu. Kini, Rasaya kembali ke tempat itu setelah melalui banyak hal. Setelah melakukan perjalanan panjang untuk ikut berkontribusi di perusahaan ayahnya. Jantung Rasaya berdebar-debar, tangannya meraih pintu kaca dan berjalan di lantai gedung yang licin itu. Rezardhi Group adalah perusahaan petrokimia terbesar di Asia Tenggara. Dengan luas total lima puluh hektar di pinggir kota Jakarta. Pabrik ayahnya menyuplai bahan intermediate ke pabrik lain. Dulu, ayahnya hanya tertarik dengan polyethylene (PE) - bahan baku pembuatan plastik - tapi sekarang perusahaan mereka merambah ke produk-produk lain. Terakhir Rasaya ingat, mereka memproduksi satu juta ton PE setiap tahun. Entah berapa kapasitas produksi sekarang, Rasaya tidak pernah mengikuti informasi dari perusahaan ayahnya. Semua orang melihat Rasaya ketika perempuan itu lewat. Entah karena mereka tahu Rasaya adalah anak pemilik perusahaan atau karena penampilannya. Rasaya sadar pakaiannya terlalu mencolok untuk digunakannya di hari pertama bekerja. Rasaya menggunakan baju terusan berwarna merah darah dengan lengan panjang dan sepatu hak tinggi. Rasaya juga memakai kacamata hitam, membuat siapapun yang lewat menghentikan jalannya untuk menengok Rasaya sejenak. Siapa yang berani berpakaian seperti itu di hari yang sibuk seperti sekarang? Rasaya menurunkan kacamatanya, menatap resepsionis di depannya dengan penuh percaya diri. Rasaya selalu ingin terlihat seperti perempuan kuat. Meskipun ia adalah anak pemilik perusahaan plastik terbesar di Asia Tenggara, ia tidak akan membuktikan bahwa dirinya mampu bekerja di sana bukan karena orang tuanya. Rasaya akan mencapai tempat ayahnya sekarang, dengan kemampuannya dan kekuatannya sendiri. "Dimana Randi Biyantara?" tanya Rasaya pada perempuan di depannya. Resepsionis itu menghubungi seseorang, lalu melempar senyum lebar kepadanya setelah menutup teleponnya. "Mari saya antar, Nona Rasaya." "Tidak perlu memanggilku nona. Kau bukan pembantuku." Perempuan itu tampak tersindir, tarikan bibirnya tampak berbeda, Rasaya tahu perempuan itu mencoba tetap tersenyum setelah mendengar perkataan tajamnya. Mereka berjalan memasuki lift dan membawa Rasaya ke lantai lima. Rasaya tahu lantai itu khusus digunakan untuk rapat besar atau pertemuan dengan pihak luar. Rasaya kira resepsionis itu akan mengantar Rasaya ke lantai tujuh, dimana divisi produksi berada. Melihat Randi tidak menyuruhnya datang ke pabrik, Rasaya yakin laki-laki itu menempati posisi yang lebih tinggi dari dugaannya. Mungkin dia sudah menjadi manajer produksi. Atau mungkin saja laki-laki itu mengirim Rasaya ke kantor karena khawatir Rasaya tidak mau ditempatkan di pabrik. Jika itu yang Randi pikirkan, laki-laki itu sungguh meremehkannya. Rasaya melihat banyak sekali wartawan di depan pintu ruang rapat itu. Resepsionis membelah wartawan yang berjumlah puluhan itu, lalu membuka pintu untuk Rasaya. Setelah menundukkan kepalanya dengan hormat, resepsionis itu menutup pintu. Rasaya berjalan melalui beberapa lorong dan melihat seorang tengah berpidato di depan. Rupanya sedang ada acara besar, melihat banyak media yang meliput di sana. "Komitmen yang saya jelaskan tadi bertujuan untuk menerapkan siklus ekonomi yang baik, mencapai keunggulan dalam keselamatan dan kesehatan kerja, dan menjadi tetangga yang baik bagi lingkungan sekitar. Saya optimis menatap masa depan lebih baik bagi Rezardhi Group, dengan menjaga kelestarian lingkungan dann mewujudkan harapan seluruh pemangku kepentingan akan pertumbuhan berkelanjutan. Atas nama Direksi Rezardhi Group, perkenankan saya menyampaikan penghargaan tinggi kepada seluruh staf dan karyawan yang telah maksimal bekerja mewujudkan impian kita. Prestasi Rezardhi Group sekarang tidak akan tercapai tanpa kalian semua." Laki-laki itu berdiri di podium dengan jas hitam formal. Rasaya tidak pernah melihat Randi menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Laki-laki itu terlihat seperti orang yang berbeda- lebih dewasa- menyadarkan Rasaya bahwa laki-laki itu lima tahun lebih tua darinya. Andai Rasaya melihat Randi untuk pertama kalinya hari ini, mungkin Rasaya akan menyukai laki-laki itu. Tak bisa dipungkiri bahwa penampilan Randi sekarang membuat para perempuan bisa bertekuk lutut di hadapannya. Namun, Rasaya tidak bisa melihat laki-laki itu tanpa kebenciannya. Apalagi pemandangan di depannya yang membuat Rasaya ingin berteriak dan membubarkan pertemuan itu. Melihat laki-laki itu akrab dengan para pemegang saham di perusahaan ayahnya membuat Rasaya geram. Jemarinya menekan telapak tangannya dengan kuat. Rasaya bisa mendengar darahnya mengalir ke kepalanya dengan cepat. Beberapa orang asing naik ke atas podium untuk menyerahkan penghargaan kepada Randi. Laki-laki itu tersenyum ke beberapa kamera yang memotretnya. Senyum yang sangat lebar, yang tidak pernah Rasaya lihat sebelumnya. Bagaimana bisa lelaki itu berdiri di sana? Apa yang ia lakukan sebenarnya? Bukankah dia hanya seorang pekerja bawahan? Manajer produksi pun tidak akan bisa mendapat kesempatan di depan seperti itu. Lalu kenapa Randi bisa ada di atas podium? Di depan ratusan orang dan beberapa direksi yang duduk di kursi paling depan? Apa yang ia lakukan dengan mengganti tempat ayahnya di atas sana? Tubuh Rasaya bergeser ketika beberapa wartawan dari belakangnya bergerombol mendekati Randi yang sudah turun dari podium. Laki-laki itu sudah dikelilingi oleh banyak wartawan. Sekilas mata mereka bertemu, tapi laki-laki itu langsung mengalihkan matanya dari Rasaya, lalu menjawab pertanyaan wartawan di depannya. Rasaya melihat ayahnya berjalan keluar, "Ayah!" teriak Rasaya memanggil ayahnya. Tapi suaranya tertutup oleh beberapa wartawaan yang mengejar ayahnya. Rasaya menatap mereka berdua yang sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan Rasaya masih berdiri diam di tengah mereka. Menunggu siapa yang lebih dulu menyelesaikan wawancara sialan itu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi, Rasaya sudah berjalan untuk membawa Randi keluar saat ayahnya menarik tangannya. "Jangan mengganggu Randi. Ayo ikut ayah ke kantor," ucap ayahnya yang membuat Rasaya semakin marah. Di perjalanan, ayahnya beberapa kali bertemu untuk berbicara dengan orang-orang. Rasaya menunggu dengan sabar di belakangnya. Saat mereka sampai di kantor ayahnya, Rasaya melempar kacamatanya ke lantai. "Apa maksud semua ini, Ayah?" "Apa yang kau maksud?" Rasaya menyibak rambutnya dengan tangan kirinya, "Randi. Kenapa Randi menggantikan ayahnya di sana? Bukankah harusnya ayah yang menerima penghargaan itu?" "Rasaya, Randi adalah wakil direktur utama di perusahaan ini. Dia berhak menggantikan ayah kapan saja." Rasaya menggeleng tidak percaya, menatap ayahnya dengan kening berkerut. Mengamati mata ayahnya mencari sedikit saja kebohongan, tapi Rasaya tidak menemukan apapun. Ayahnya tidak pernah berbohong kepadanya. Rasaya kecewa pada ayahnya. Rasaya tidak pernah mengira Randi bisa menjadi wakil ayahnya, posisi yang selama ini Rasaya inginkan. Laki-laki itu sudah menempati posisi tertinggi di perusahaan setelah ayahnya. Lalu dimana tempat Rasaya? "Ayah! Kenapa ayah memberikan posisi itu kepada Randi? Ayah tahu aku menginginkannya dari dulu. Kenapa harus Randi? Kenapa harus dia, Ayah?" teriak Rasaya kepada ayahnya. Reno melihat anaknya dengan sedih, ia tahu Rasaya tidak akan senang dengan jabatan yang ia berikan kepada Randi, tapi ia tidak tahu kalau Rasaya akan semarah ini padanya, "Ayah tidak memberikannya pada Randi, Rasaya. Tapi Randi yang mendapatkannya dengan kemampuannya sendiri. Tidak ada alasan kenapa ayah tidak menerimanya sebagai wakil ayah. Kenapa kau marah seperti ini?" "Ayah tidak mengerti. Aku tidak ingin laki-laki itu merebut apa yang seharusnya milikku, Ayah. Seharusnya ayah tidak memberikan jabatan yang terlalu tinggi padanya." Reno duduk di kursi kerjanya, menggaruk kepalanya ringan, melihat Rasaya yang tampak sangat marah padanya, "Ayah sudah tua, Rasaya. Ayah butuh seseorang yang bisa ayah andalkan dan Randi adalah orang itu. Kau tidak tahu apa yang Randi lakukan pada perusahaan ini. Dibanding apa yang ia lakukan untuk perusahaan ayah, jabatan wakil direktur bukanlah apa-apa. Perusahaan ini membutuhkan Randi lebih dari yang kau tahu." "Kenapa harus dia? Ayah bisa mendapatkan orang yang lebih mampu daripada dia. Ayah bisa merekrut orang lulusan luar negeri yang lebih handal daripada laki-laki itu. Ada banyak orang yang lebih mampu daripada Randi, Ayah." "Rasaya, Randi mengenal perusahaan ini dari kecil. Dibanding ayah yang sudah tua, dia lebih mengerti apa yang dibutuhkan perusahaan ini. Dua tahun ini, perusahaan meningkat cukup pesat karena Randi. Kau tidak bisa membandingkan pengetahuan orang luar dengan pengalaman Randi selama puluhan tahun di tempat ini, Rasaya." Rasaya mendekati ayahnya dengan langkah kesal, "Pokoknya aku tidak mau laki-laki itu memegang jabatan tinggi di perusahaan kita. Aku tidak akan setuju dengan ini." "Rasaya, kau ketidaksukaanmu tidak akan mempengaruhi apapun. Ayah bukan satu-satunya pemegang saham di sini. Semua direksi sudah memilih Randi. Kau tidak bisa melakukan apapun terhadap itu. Bersikaplah sedikit dewasa!" Bunyi pintu terdengar ketika Rasaya ingin membalas perkataan ayahnya. Randi berdiri di depan pintu, masih menggunakan jas formalnya. Laki-laki itu menggunakan kacamata tebalnya. Berdiri diam beberapa saat sebelum melangkah mendekati Rasaya. Rasaya menatap Randi dengan dingin, lalu berbalik ke arah ayahnya lagi, "Sampai kapanpun aku tidak akan setuju dengan pilihan ayah. Ayah sudah berjanji akan membiarkanku menjalankan perusahaan ini. Aku sudah belajar banyak, Ayah." Rasaya berbalik menghadap Randi yang tengah menatapnya. "Aku akan membuktikan bahwa aku lebih pantas daripada laki-laki itu." Perempuan itu meninggalkan kantor ayahnya dengan wajah kesal. Rencana di kepalanya tidak lagi terlihat menarik. Jika sebelumnya Rasaya ingin memulai semua dari bawah, sekarang Rasaya tidak punya waktu lagi. Randi sudah berada di puncak bahkan sebelum Rasaya memulai perjalanannya. Rasaya tidak akan membiarkan laki-laki itu mengambil lagi apa yang seharusnya menjadi miliknya. "Rasaya," teriak Randi di belakangnya. Laki-laki itu berlari menyusul Rasaya dan menarik tangan Rasaya menuju tangga kantor yang sepi. "Semua ini tidak seperti yang kau pikir. Aku hanya-" Rasaya menarik tangannya dengan kasar, "Dua puluh tahun lalu, kau datang dan mengalihkan perhatian orang tuaku. Enam tahun yang lalu kau berhasil membuatku pergi dari rumahku sendiri. Dan sekarang, kau mengambil tempat yang sangat aku inginkan, tempat yang aku cita-citakan dari kecil. Kau sudah mengambil segalanya dariku. Apa lagi yang akan kau ambil nanti, Ran?" "Aku tidak pernah mengambil apapun darimu, Rasaya." "Lalu apa yang kau lakukan sekarang?" Rasaya jarang sekali melihat Randi begitu putus asa, tapi sekarang laki-laki itu melakukannya. "Aku hanya membantu ayahmu. Aku hanya ingin memberikan sesuatu untuk keluargamu. Aku hanya ingin bekerja keras untuk perusahaan ayahmu. Bukan untukku Rasaya, tapi untuk kalian, untuk kau dan keluargamu. Aku tidak pernah berniat untuk mengambil apapun. Karena yang keluargamu berikan padaku lebih dari cukup." "Kalau begitu, mundurlah dari jabatanmu sekarang," ucap Rasaya membuat Randi tampak kebingungan. "Aku tidak bisa." Rasaya tersenyum miring, "Kenapa? Bukankah kau tidak menginginkan apapun dari keluargaku? Seharusnya kau mau meninggalkan posisimu di perusahaan ini jika memang kau tidak ingin apapun." "Aku harus menyelesaikan sesuatu, Rasaya. Ayahmu memberikan tanggung jawab besar. Aku tidak bisa meninggalkannya tiba-tiba." "Randi, kau pikir dengan melakukan ini, aku akan berterima kasih padamu? Kau tidak perlu melakukan apapun untuk membalas kebaikan orang tuaku. Kau hanya perlu pergi dari rumah kami, pergi dari hidupku, pergi jauh sampai aku tidak bisa menemukanmu. Karena selama ini kau tidak lebih daripada sebuah penghalang bagiku." Rasaya mendorong d**a Randi, menatap laki-laki itu dengan penuh kebencian yang dalam. "Kau tidak bisa melakukannya? Kalau begitu aku akan terus membencimu." "Rasaya, apapun yang aku lakukan - sampai kapanpun aku berusaha, itu tidak akan cukup untukmu, kan? Aku tidak pernah cukup untukmu." Rasaya mendengar suara lirih Randi sebelum menutup pintu tangga darurat itu. Benar, apapun yang laki-laki itu lakukan, Rasaya tidak akan melihat padanya, bahkan tidak akan meliriknya sedetikpun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD