PART 6 - Salah Paham

1981 Words
Rasaya berdiri di atap gedung itu cukup lama. Tangannya memegang kopi hitam, sesekali meneguknya sambil melihat pemandangan di depannya. Gedung-gedung tinggi menjalar - tampak sedang saling menatap satu sama lain. Sedangkan suara riuh kendaraan di bawahnya membuat Rasaya semakin nyaman di tempat itu. Sepuluh tahun yang lalu, atap kantor ayahnya masih belum dibangun, hanya Rasaya yang biasanya berdiri di sana sambil melihat matahari terbenam, sekarang tempat itu sudah menjadi taman kecil, ada kantin kecil di ujung yang menjual berbagai minuman. Beberapa karyawan berlalu-lalang di belakangnya. Mengganggu Rasaya menikmati waktunya. Setelah menghabiskan kopi hitamnya, Rasaya turun, melihat Randi berjalan menuju mobilnya. Semua karyawan di lantai itu menundukkan kepalanya ketika Randi berjalan di depan mereka. Lalu dengan senyum yang dibenci Rasaya, laki-laki itu menarik bibirnya ramah kepada mereka semua. Kaki Rasaya bergerak sendiri, mengikuti laki-laki itu. Ia menghentikan langkahnya ketika melihat Aleene keluar dari mobil Randi. Adiknya itu memeluk Randi dengan erat lalu mereka pergi bersama. Rasaya segera berlari masuk ke mobilnya, merasakan ada yang tidak beres pada dua orang itu. Rasaya melihat mobil Randi terparkir di depan rumahnya. Perempuan itu masuk ke rumah dan tidak menemukan siapapun selain para pelayan. Rasaya segera naik ke lantai dua, mengetuk pintu kamar adiknya beberapa kali. "Aleene, buka pintunya!" teriak Rasaya. Teriakan Rasaya semakin keras melihat tak ada jawaban dari Aleene. "Aku tahu kau di dalam, buka pintunya sekarang, Al." Pintu itu terbuka dan Aleene dengan rambut dan seragam sekolah berantakan melihat Rasaya dengan geram. Dua kancing teratas Aleene terbuka, memperlihatkan tali bra perempun itu yang berwarna hitam. "Apa? Ada apa, Kak?" "Apa yang kau lakukan?" tanya Rasaya curiga. "Apa? Aku tidak melakukan apapun. Aku baru pulang sekolah. Aku capek dan mau mandi sekarang. Bisakah kita bicara nanti, Kak?" Tanpa menunggu jawaban Rasaya, Aleene menutup pintu dengan kasar. Rasaya mengetuk pintu kamar Aleene beberapa kali tapi tidak ada jawaban lagi. Akhirnya Rasaya dengan tidak tenang kembali ke kamarnya yang terletak di sebelah kamar Aleene. Rasaya memang tidak terlalu dekat dengan adiknya akhir-akhir ini, tapi ia tidak bisa tutup mata melihat adiknya yang bertingkah mencurigakan. Mulai dari kejadian di mobil waktu ia kembali dari Belanda. Adiknya yang jelas sekali berbohong saat makan malam kemarin. Dan juga tadi siang ketika melihat Aleene dan Randi berpelukan dengan erat di depannya. Mobil itu. Rasaya baru menyadari mobil yang berada di depan rumahnya ketika ia pulang dari Belanda adalah mobil yang sama dengan yang ada di depan rumahnya sekarang. Mobil dengan logo perusahaan ayahnya di belakang. Mobil dimana Rasaya melihat Aleene sedang berciuman dengan laki-laki. Mobil Randi. Kilasan kejadian itu tiba-tiba memenuhi kepalanya, seperti sekelebat adegan film horror yang menghantuinya ketika tidur. Rasaya tidak menyukai film horror, tapi ia lebih tak menyukai apa yang ia pikirkan sekarang. Rasaya dengan cepat keluar kamarnya. Saat ia melihat kamar Aleene, saat itu juga pintu kamar itu terbuka dan Aleene keluar bersama seorang laki-laki berkemeja putih. Rasaya melihat dua orang yang sangat ia kenal itu saling berpegangan tangan. Randi dan Aleene. Seakan tahu keberadaan Rasaya, mereka berbalik dan Rasaya dapat melihat keterkejutan di mata mereka berdua. Seperti Rasaya telah menangkap basah apa yang mereka lakukan di kamar. Rasaya mendekati mereka berdua dengan tangan mengepal. Rasaya merasa ada bola besar menjatuhi kepalanya sekarang. Bagaimana bisa laki-laki itu melakukan ini pada keluarganya? Dengan wajah berang, Rasaya menampar laki-laki di depannya dengan kuat. Semua kebencian dan kemarahannya sudah tertahan terlalu lama dan Rasaya tidak bisa menahannya. Sepuluh tamparan tidak akan cukup untuk laki-laki itu. "Kak Raya! Apa yang kau lakukan?" bentak Aleene padanya. Rasaya melirik adiknya yang kini tampak menyedihkan. Rambut pendeknya berantakan, kemejanya tampak kusut, dan bibirnya membengkak - jelas sekali terlihat seperti bekas ciuman. Entah apa yang dilakukan Randi pada adiknya. Demi apapun, Rasaya ingin menyeret tubuh Randi ke jalanan ketika melihat bekas gigitan di leher Aleene. Lima belas menit yang lalu, tanda merah itu belum ada di leher adiknya. "APA YANG KAU LAKUKAN PADA ADIKKU?" teriak Rasaya. Randi tampak terkejut dengan tamparan Rasaya. "Apa maksudmu, Ra?" "Kau! Aku tidak menyangkau kau bisa melakukan ini pada keluargaku, Ran. Kau hanya anak pembantu di rumah nenekku. Harusnya kau sadar kau siapa. Kalau ayahku tidak mengambilmu dari jalanan, kau akan tetap menjadi sampah sampai sekarang. Lalu berani-beraninya kau sekarang melakukan ini pada adikku?" Rasaya melihat adiknya dengan kecewa. "Bisa-bisanya kau dengan Randi - di belakangku. Apa yang kau pikirkan, Al?" "Kak-" Randi memotong perkataan Aleene, "Memang kenapa? Apa yang salah dengan hubungan kami?" "Apa yang salah? Kau tak tahu apa yang salah? Kau hanya anak yang tidak diinginkan siapapun. Orang tuaku sudah mengambilmu dan menganggapmu seperti anaknya sendiri. Apa ini balasanmu untuk mereka? Dengan berhubungan dengan adikku bahkan kalian - Apa kalian sudah tidur bersama?" "Kak! Cukup!" Rasaya melirik Aleene dengan sebelah matanya, "Aku tidak berbicara padamu, Al." Perempuan itu mendorong d**a Randi dengan kedua tangannya. Matanya seperti mengiris tajam orang di depannya. "Apa yang kau lakukan pada gadis delapan belas tahun? Apa yang kau ajarkan pada Aleene, hah?" Melihat Randi hanya diam, Rasaya kembali mendorong tubuh laki-laki itu hingga menabrak dinding di belakangnya. "Kau bisa mendapatkan banyak perempuan di luar sana. Kau bisa menyewa berapapun p*****r yang kau inginkan. Kenapa harus adikku? Kau tak memikirkan bagaimana perasaan orang tuaku jika mereka tahu hal ini?" "Apa kau tidak bisa bicara, Ran?" Rasaya melihat mata Randi tepat di bola mata laki-laki itu. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Menyadari itu, Rasaya segera menjauhkan wajahnya. "Dasar b******n!" Aleene menarik tangan Rasaya dari Randi dan mendorong kakaknya menjauh. "Kak! Ini bukan seperti yang kau pikirkan. Kak Randi tidak melakukan apapun padaku." "Lalu siapa yang memberi tanda ini padamu?" Rasaya menunjuk leher Aleene, membuat adiknya itu langsung merapikan kerah kemejanya. "Apa kau menggigit lehermu sendiri?" "Bukan Kak Ran-" "Memangnya kenapa kalau aku melakukan itu semua? Rasaya, apa aku masih salah jika aku dan Aleene saling mencintai? Apa aku salah jika mencintai adikmu?" Aleene menahan Rasaya mendekati Randi yang kini tampak serius dengan ucapannya. "Kak Randi, apa yang kau bicarakan?" "Katakan padaku, Ra. Apa aku serendah itu sampai aku tidak pantas mencintai adikmu? Bukankah cinta bisa datang kepada siapa saja, Ra? Kenapa kau menyalahkanku atas apa yang tidak bisa aku kendalikan? Kalau aku bisa memilih, aku tidak akan memilih mencintai siapapun di keluarga ini. Tapi aku tidak bisa melakukannya." Rasaya semakin memberontak di pelukan adiknya, "Kau! Kau tidak pantas mengatakan cinta. Apa kau tidak sadar posisimu di keluarga ini?" Randi tampak terluka dengan perkataan Rasaya, tapi laki-laki itu berhasil menutupinya. "Kau membuatku sadar selain tidak layak untuk dicintai, aku pun tak pantas untuk mencintai siapapun. Kau sangat pandai melukaiku, Rasaya." "Apa yang kalian ributkan?" tanya Reno yang kini sudah berada di depan tangga bersama Helen. Orang tua itu mendekati tiga orang yang terlihat meributkan sesuatu. Rasaya melepaskan dirinya dari tangan Aleene yang masih menahannya. Dengan senyum licik, perempuan itu menunjuk Randi dengan tangannya. "Apa Ayah tahu laki-laki itu berhubungan dengan Aleene? Mereka berdua berhubungan di belakang kita. Randi, anak yang kalian bangga-banggakan itu tidak sebaik yang kalian kira." "Apa maksudmu, Rasaya?" tanya Helen tak mengerti. Randi membuka mulutnya sebelum Rasaya, "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini." "Apa yang salah? Dengan jelas aku melihatmu berciuman dengan Aleene di mobil saat aku kembali dari Belanda seminggu yang lalu. Ciuman kalian terlihat sangat panas dan aku melihat kau sangat menikmatinya, Ran. Lalu hari ini aku melihatmu keluar dari kamar Aleene, dengan keadaan Aleene seperti sekarang. Demi Tuhan, Aleene masih delapan belas tahun, Ran. Apa kau yakin kau bukan seorang p*****l?" "Jaga ucapanmu, Rasaya," ucap Reno dengan wajah tegas. "Apa yang kau lakukan, Ally?" Helen mendekati Aleene yang masih berdiri dengan takut di dekat pintu. Perempuan itu menutupi lehernya dengan kedua tangannya. Matanya berkaca-kaca melihat Randi dengan wajah sedih. Melihat semua itu membuat Rasaya semakin membenci laki-laki di depannya. Bagaimanapun juga, Aleene masih delapan belas tahun, meskipun mereka saling menginginkan, tapi Randi sepenuhnya bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Aleene. Dengan langkah pelan, Helen membawa Ally memasuki kamar dan menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Rasaya dengan dua orang laki-laki yang saling menatap dalam. "Randi tidak mungkin melakukan itu, Rasaya." Rasaya membelalak kaget dengan perkataan ayahnya. Rasaya sudah memberikan banyak bukti, tapi ayahnya masih membela laki-laki itu. Rasaya pikir kali ini ayahnya akan memihaknya, tapi ia lupa Randi terlalu sempurna di mata orang tuanya. Laki-laki itu tak mempunyai celah apapun. Hanya Rasaya yang keliru. "Randi mengatakan sendiri padaku bahwa dia yang melakukannya. Kenapa Ayah masih membelanya di depanku? Laki-laki ini tidak sebaik yang Ayah kira. Dia tidak sepolos yang Ayah pikirkan." Rasaya melihat Randi masih berdiri diam di tempatnya, laki-laki itu tidak berani menatapnya maupun ayahnya. "Kenapa kau diam? Tadi kau berkata dengan lantang bahwa kau mencintai Aleene. Kenapa sekarang kau diam? Kau tidak berani mengatakan itu di depan ayahku? Dasar pengecut." "Rasaya!" "Ayah selalu membela laki-laki ini. Lihatlah sekarang! Laki-laki ini berpikir bisa melakukan apapun pada keluarga kita." "Randi, bisakah kau menjelaskan pada Paman apa yang terjadi?" tanya Reno pada Randi. Melihat Randi hanya diam membatu, Rasaya kembali berkata, "Terserah apa yang akan kau katakan pada Ayahku. Apapun itu tidak akan mengubah pikiranku bahwa kau hanyalah seorang b******n, Ran." Rasaya melihat ayahnya yang tampak berpikir keras. Ayahnya tidak mungkin mempercayai dengan mudah apa yang terjadi sekarang. Rasaya tahu betapa ayahnya sangat mempercayai Randi. "Jangan memarahiku karena memanggilnya b******n. Bersyukurlah aku tidak menyakiti anak kesayangan Ayah dengan kedua tanganku. Kalau Ayah tidak ada di sini, aku pasti akan melakukannya." Rasaya meninggalkan dua orang yang masih berdiri kaku itu memasuki kamar. Ia menutup kamarnya dengan kasar. Rasaya membersihkan dirinya di kamar mandi. Berharap air dingin membasahi kepalanya dan menguraikan kemarahan yang masih memenuhi kepalanya. Dirinya sudah terlalu lama meninggalkan rumah ini - enam tahun bukan waktu yang singkat. Enam tahun ia meninggalkan rumah ini dan pasti banyak yang terjadi di rumah ini. Banyak hal yang berubah dan perasaan orang pun bisa berubah. Waktu kecil, Aleene selalu mengikuti Randi kemanapun laki-laki itu pergi. Adiknya memang lebih dekat dengan Randi daripada dirinya. Rasaya selalu menghabiskan waktunya untuk belajar sendirian. Dari kecil Rasaya tidak terlalu menyukai anak kecil dan ia juga tidak ingin memiliki saudara. Aleene dan Randi tidak bisa dipisahkan dan Rasaya hanya orang asing di antara mereka. Sampai usia tujuh tahun, Rasaya pikir dunia hanya berputar di sekitarnya. Orang tuanya, barang miliknya, rumahnya. Tapi tiba-tiba ada dua orang yang hadir di hidupnya. Randi, laki-laki berusia dua belas tahun yang pendiam dan pintar, membuat ayahnya lebih suka bersama laki-laki itu. Lalu dua tahun setelah kedatangan Randi, anak kedua Rezardhi lahir, bayi yang baru lahir dengan wajah menggemaskan, membuat siapapun ingin menyentuhnya. Semua perhatian ibunya sudah tersita untuk Aleene. Tidak ada lagi yang memedulikan Rasaya. Rasaya selalu sendiri. Dia bukan pusat dari dunia lagi. Bahkan dunianya pun pergi meninggalkannya. Rasaya tak pernah bisa berbagi - apalagi hal yang paling ia cintai. Dari kecil, Rasaya tidak pernah diajarkan untuk berbagi apapun. Berapa lama pun dia berpikir tentang hubungan Randi dan Aleene, Rasaya tidak bisa menerimanya. Membayangkan semua orang bahagia - Randi dan Aleene saling mecintai dan orang tuanya yang mendukung mereka berdua - membuat Rasaya mual. Karena itu artinya, Randi akan benar-benar menjadi keluarganya. Dan Rasaya tidak bisa mengambil kembali apa yang diambil laki-laki itu darinya. Rasaya keluar dari kamar, melihat keluarganya sedang duduk di ruang keluarga. Semua orang tampak serius membahas sesuatu. Randi dengan menunduk duduk di depan ayahnya, laki-laki itu seperti sedang mengakui dosanya. Rasaya melihat Aleene menangis sambil memegang tangan ibunya erat. Rasaya bisa dengan mudah mengartikan percakapan mereka dari apa yang ia lihat sekarang. Meskipun ayahnya tampak lembut, ia adalah seorang pria yang keras dan tegas. Ayahnya tidak akan membiarkan Aleene yang belum lulus sekolah menjalin hubungan dengan laki-laki yang berjarak empat belas tahun di atasnya. Rasaya yang paling tahu, ayahnya tidak akan membiarkan Aleene berpacaran sebelum ia lulus kuliah. Karena bagi ayahnya, pendidikan adalah hal paling penting bagi anak-anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD