“Ini melelahkan, Mara. Dan sakitnya luar biasa.”
“Aku tahu, tapi, kamu harus bertahan. Demi Raga, demi mama, demi keluarga, juga demi aku.” Mara menggenggam tangan Nadia. Sang teman sedang menjalani kemoterapi yang kedua di hari yang sama. Satu tangan yang bebas bergerak mengusap peluh di kening Nadia dengan sapu tangan. Mara memaksa senyumnya. Sekalipun hatinya seperti teriris melihat bagaimana Nadia meringis menahan sakit, tapi, dia harus tetap berusaha terlihat tegar untuk memberi semangat pada sang teman.
“Kalau mau teriak, teriak saja. Tidak apa-apa,” kata Mara ketika merasakan Nadia meremas telapak tangannya semakin kuat. Menandakan jika sang teman sedang merasakan sakit yang berlebihan.
“Arghhhh …!” Akhirnya Nadia berteriak kencang—melampiaskan sakit yang dirasakan hingga ke tulang. Sementara tangannya meremas kuat tangan sang teman tanpa wanita itu sadari.
Mara kembali mengusap peluh yang sudah membanjiri kening sang sahabat. Baru beberapa menit dia mengeringkan, sudah kembali basah. Mara sungguh tidak bisa membayangkan sesakit apa yang saat ini sedang dirasakan oleh sahabatnya.
***
Raga menahan gerak tangan yang sudah akan mendorong daun pintu lebih lebar. Dari celah sempit yang terbuka—dia bisa melihat sang istri, Nadia yang berbaring di atas ranjang sambil menjerit. Sementara istrinya yang lain—Mara, menemani. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan.
Raga urung masuk ke dalam ruangan tempat Nadia menjalani kemoterapi. Dia tidak sanggup melihat lebih lama sang istri kesakitan. Pria itu menarik kembali handel pintu pelan-pelan, hingga benda persegi yang terbuat dari kayu itu kembali tertutup. Napas pria itu berhembus kasar. Raga melangkah, lalu duduk di kursi tunggu tak jauh dari ruangan tersebut.
Kepala pria itu tertunduk lesu.
**Beberapa saat kemudian**
Raga terkejut ketika merasakan tepukan di bahu kanannya. Pria itu memutar kepala. Kedua matanya mengedip dua kali.
“Mau masuk ke dalam?” tanya Mara yang masih berdiri di samping Raga. Melihat Raga melirik ke arah daun pintu, Mara kembali bersuara. “Sudah selesai, tapi, Nadia perlu istirahat sebentar untuk memulihkan tenaganya. Baru setelah itu bisa kamu ajak pulang.”
Raga yang sudah mengalihkan tatapan matanya pada Mara, mengernyit.
“Oh iya, malam ini aku pamit pulang.” Mara tersenyum kecil. “Aku harus mengambil beberapa dokumen untuk wawancara besok. Tadi pak Andra menghubungiku.” Mara bercerita.
“Um … semisal, aku tinggal sekarang gimana? Kamu nggak masalah, kan?” tanya Mara sambil memutar kepala ke belakang—menatap beberapa detik daun pintu yang masih tertutup.
“Tidak masalah. Aku bisa mengurus istriku sendiri.”
“Ah, iya, tentu saja.” Mara menggaruk kepalanya sambil memperlihatkan cengiran. Dia lupa sedang berbicara dengan seorang suami yang sangat menyayangi istrinya. “Kalau begitu, kamu masuk saja. Tunggu Nadia di dalam. Dia juga pasti akan senang kalau melihatmu ada di dekatnya.”
Raga akhirnya beranjak dari kursi. Pria yang sudah tidak mengenakan jas tersebut memutar langkah—berniat untuk mengikuti saran Mara. Namun, langkah kaki pria itu tertahan ketika melihat pintu terbuka, lalu seorang dokter keluar. Raga mengernyit. Memangnya berapa lama dia melamun sampai tidak melihat ketika dokter itu masuk ke dalam ruangan di belakangnya?
“Pak Raga.” Sang dokter tersenyum sambil berjalan menghampiri suami salah satu pasiennya. “Kemonya sudah selesai. Setelah nanti bu Nadia kuat untuk pulang, bisa langsung diajak pulang.”
Raga menahan dengkusan. Sang dokter mengulang informasi yang sudah didengar dari Mara. Meskipun begitu, kepala pria tersebut tetap saja mengangguk. “Baik, Dok.” Raga kemudian melangkah.
“Mau pulang sekarang, atau bareng sama mereka?”
Raga yang masih bisa mendengar perbincangan di belakangnya—menoleh. Tangan kanan pria itu sudah berada di handel pintu—bersiap untuk mendorongnya.
“Pulang sekarang, Dok. Nadia sudah ada suaminya.” Mara terkekeh.
“Bagaimana kalau aku traktir kopi sebelum pulang?”
“Hanya kopi?” Mara kembali tertawa melihat perubahan ekspresi sang dokter. “Hanya bercanda, Dok.”
“Tidak masalah. Aku juga belum makan. Tadinya aku khawatir kamu tidak punya waktu untuk makan. Makanya aku hanya menawarkan kopi.”
Raga menatap punggung Mara dan sang dokter menjauh. Pria itu mendengkus. “Katanya mau pulang.” Lalu pria itu berdecak sebelum mendorong daun pintu, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan.
Sepasang mata Raga bergulir ke atas ranjang. Pria itu merasa pasokan oksigen di dalam paru-parunya lenyap seketika—melihat sepucat apa sang istri.
“Nad.”
Nadia tersenyum. “Hey … udah pulang kantor?” tanya wanita itu sambil menahan sakit. Dia tidak ingin memperlihatkan penderitaannya pada sang suami. Pria luar biasa baik ini sudah berkorban banyak untuknya. Dia tidak ingin membuat Raga mencemaskan dirinya.
“Sakit?”
Nadia menggeleng sambil kembali memaksa kedua sudut bibir untuk melengkung ke atas. ‘Bohong,’ batin Raga melihat gelengan kepala istrinya. Pria itu kemudian duduk di sisi ranjang, lalu meraih kedua tangan sang istri. Mengangkat, lalu mengecupnya.
“Pasti sakit,” kata pria itu sambil menatap sang istri. “Tapi aku bangga kamu mau berjuang untuk kesembuhanmu.”
Nadia menelan saliva yang terasa lengket. Merasakan remasan pada telapak tangannya, kepala wanita itu mengangguk. “Sekarang aku punya semangat untuk bertahan hidup.”
“Syukurlah. Itu bagus. Kamu pasti sembuh. Kamu harus punya keyakinan itu.”
Nadia mengangguk. Mulutnya menggumam meng iya kan apa yang suaminya katakan. Dia akan bertahan. Bertahan untuk keluarganya, terlebih untuk suaminya. Dia harus membalas kebaikan Raga selama ini.
“Oh, iya. Dimana Mara? Apa tadi Mas bertemu dengannya? Dia bilang mau mencari makanan.”
“Ya … dia memang sedang mencari makanan.”
Kening Nadia mengernyit ketika rungunya menangkap nada kesal sang suami ketika menjawab pertanyaannya. “Dari pagi dia menemaniku. Wajar kalau dia lapar.” Nadia membela sang teman.
“Aku tidak melarangnya makan. Aku membiarkannya. Siapa tahu mereka jodoh.”
“Mereka jodoh? Siapa maksud Mas?”
“Mara dan dokter kamu itu, siapa lagi?” Raga menjawab. Pria itu menghembuskan napasnya.
Sementara Nadia mengerjap beberapa kali. Kening wanita itu masih berlipat. Otaknya sedang berpikir keras. Dia jelas mendengar nada kesal suaminya. Apa mungkin?
“Sepertinya aku mendengar seseorang yang sedang cemburu.” Lalu wanita itu tersenyum hingga sepasang matanya mengecil. Rasa sakit di sekujur tubuhnya perlahan mulai berkurang.
“Siapa?” tanya Raga dengan alis terangkat. “Aku? Aku tidak cemburu, Sayang. Justru aku mendoakan semoga mereka jodoh.”
“Mana bisa begitu, Mas. Mara itu sudah punya suami. Suaminya itu kamu. Dia tidak bisa menikah dengan orang lain. Di sini tidak boleh ada poliandri, Mas.” Nadia meringis sebelum kemudian tersenyum ketika tatapannya kembali bertemu dengan netra sang suami.
“Siapa bilang tidak bisa?” Raga menatap dalam istrinya. “Bisa, setelah aku menceraikannya.”
***
“Terima kasih loh Dok, kopinya.”
“Ah, kamu tidak asyik, Mara. Kopinya belum habis, tapi, kamu sudah mau pergi. Kamu juga tidak mau menemaiku makan.”
“Maaf, Dok. Mungkin lain waktu. Sudah gelap. Rumah saya lumayan jauh dari sini.”
“Aku akan mengantarmu. Tunggu aku makan sebentar,” tahan sang dokter menawarkan tumpangan.
“Tidak perlu. Saya bawa mobil.” Mara menjawab.
“Ah … begitu.” Kepala pria itu bergerak turun naik. “Besok tidak usah bawa mobil sendiri. Naik taksi saja.”
Mara urung mengangkat pant*t. Kening wanita itu berlipat. “Memangnya kenapa, Dok?” tanya bingung wanita itu.
“Supaya aku punya alasan untuk mengantarmu pulang.”