“Akhirnya kita bisa jalan-jalan berdua seperti dulu.” Nadia tersenyum menatap Mara yang sedang mengemudi.
Mara mengangguk membenarkan. Kedua sudut bibir wanita itu tertarik melengkung ke atas. Bola matanya bergulir ke samping beberapa detik. “Makanya jangan malas kemo. Nanti setelah kamu benar-benar sembuh, kita akan jalan-jalan beneran. Kalau sekarang kan kita jalan cuma ke rumah sakit.”
Nadia mengerucutkan bibir. “Kamu tahu apa artinya kanker stadium 4B kan?”
“Dan kamu juga pasti tahu tidak akan ada yang mustahil dilakukan oleh sang pencipta seluruh langit, dunia dan semua yang ada di antaranya.” Mara menatap Nadia dari spion. Mereka mengulang pembicaraan yang sama.
“Ya … ya. Sekarang kamu jadi lebih mirip ustadzah,” gumam Nadia sambil meluruskan pandangan. Bibir wanita itu tidak lagi cemberut, berganti dengan senyum mengembang. “Seharusnya dari dulu aku minta Raga menikahimu.”
Nadia buru-buru menahan tangan ke dashboard, lalu menoleh ke samping ketika Mara menekan pedal gas secara tiba-tiba.
‘Tin! Tin!’
‘Tin!’
Mara segera melajukan kembali mobil. Wanita itu menarik napas panjang, sebelum menghembuskan perlahan setelah beberapa saat. “Kamu membuatku terkejut.”
“Ish … kenapa harus terkejut? Hampir saja.” Nadia mengusap dadanya.
Mara yang melirik sang teman dari spion, meringis. “Maaf. Makanya jangan bicara sembarangan. Baru kali ini aku bertemu perempuan yang menyukai poligami.” Mara menggelengkan kepala.
“Asal kamu maduku, aku tidak keberatan. Tapi kalau perempuannya bukan kamu, jangan harap.” Kata Nadia sambil membesarkan sepasang mata menatap sang sahabat.
Mara kehabisan kata-kata. Wanita itu menggeleng beberapa kali. Beberapa saat kemudian hening ketika sepasang sahabat itu sama-sama diam, hanya menikmati alunan lagu-lagu lawas zaman mereka masih sekolah. Sampai kemudian Mara menyalakan lampu sein, lalu mulai memutar benda bundar di depannya. Mereka sudah sampai di rumah sakit.
“Oh ya, Mara. Apa mas Raga memberimu kartu ATM—”
“Iya. Dia bilang dia bertanggung jawab pada semua kebutuhanku.” Mara memotong kalimat yang sebelumnya masih belum selesai Nadia ucapkan. Wanita itu tersenyum kecil saat melihat Nadia menggerakkan kepala turun naik. Sahabatnya terlihat puas mendengar jawabannya.
“Memang sudah seharusnya begitu, kan? Dia harus bertanggung jawab pada istri-istrinya.”
“Kamu tidak khawatir aku akan menghabiskan uang suamimu?”
Nadia berdecak. “Dia juga suamimu. Lagipula aku tahu, kamu tidak mungkin akan menghabiskannya.”
“Astaga. Aku seperti tidak mengenal Nadia yang sekarang.” Mara menghentikan laju mobil lalu memutar kunci hingga suara mesin tak lagi terdengar. “Seingatku, dulu kamu tidak pernah berbagi cowok.” Wanita itu mendesah. “Apa yang membuatmu berubah 180 derajat?”
Mara melepas sabuk pengaman. Begitupun dengan Nadia.
“Itu namanya berproses menjadi lebih dewasa,” jawab Nadia sebelum wanita itu mendorong daun pintu, kemudian keluar dari dalam mobil. Nadia menghirup udara sebanyak mungkin. “Rasanya menyenangkan bisa berada di luar seperti ini. Tidak terkurung di dalam kamar.” Wanita itu menoleh—menyadari sang teman sudah berdiri di sebelahnya.
Mara tersenyum. “Aku yakin kamu akan bisa menikmati alam bebas sesukamu seperti dulu lagi. Asalkan kamu mengikuti saran dokter. Sudah, ayo masuk.” Mara meraih sebelah tangan Nadia, lalu mengajaknya masuk.
***
Raga menghempas tubuh ke atas kursi kerjanya. Napas pria itu tertarik dalam kemudian terhembus perlahan. Entah akan seperti apa hidupnya ke depan setelah memiliki dua istri. Dia merasa tidak nyaman berada di rumahnya sendiri. Rasanya serba salah. Apalagi istri keduanya bukan orang lain untuknya dan juga untuk sang istri. Ditambah sikap Mara yang membuatnya kesal.
Suara ketukan membuat pria itu menggulir bola mata ke arah akses keluar masuk ruangannya. Beberapa saat kemudian daun pintu terkuak, lalu seorang wanita muda yang baru satu tahun bekerja sebagai sekretarisnya masuk dengan membawa beberapa lembar kertas.
“Ini yang tadi Bapak minta untuk di print.” Tanpa duduk, wanita berusia 24 tahun itu menyodorkan beberapa lembar kertas yang ditumpuk, ke depan sang atasan.
Raga menerima kemudian membacanya. Pria itu meraih pena kemudian mulai memberikan catatan pada beberapa lembar kertas berukuran A4 tersebut. Sementara sang sekretaris masih berdiri menunggu.
“Ini, berikan pada Pak Danu. Minta buat sample segera.” Raga mengulurkan dua kertas berisi gambar desain meja kopi dan juga meja bar.
Pria itu kemudian kembali fokus dengan beberapa lembar kertas yang lain. Membaca, lalu memberikan beberapa catatan penting sebelum memberikan kepada sang sekretaris. “Yang ini berikan pada Erika. Minta dia menghitung harganya.”
Sang sekretaris mengangguk paham. “Baik, Pak.” Wanita muda itu sudah memutar langkah berniat keluar, sebelum mengingat sesuatu, lalu buru-buru memutar kembali tubuhnya hingga menghadap sang atasan.
Raga menatap Rini dengan kernyit di dahi.
“Oh, iya. Tadi pak Andra mencari Bapak.”
“Andra?” Sepasang bibir Raga berkerut, sebelum detik berikutnya kepala pria itu mengangguk. “oke.”
“Saya permisi.” Rini berpamitan. Kali ini wanita itu benar-benar melangkah meninggalkan meja sang atasan, lalu keluar dari ruangan tersebut.
Raga segera meraih telepon di sisi kiri meja kerjanya. Menekan beberapa angka, kemudian membawa gagang telepon ke telinga kiri. Pria itu mendorong punggung ke belakang hingga menyandar.
“Ndra.”
“Oh … sudah di kantor?”
Raga menggumam menjawab pertanyaan salah satu sahabat sekaligus bawahannya.
“Aku menerima email lamaran pekerjaan dari Asmara.”
“Ah, itu. Kamu bisa pekerjakan dia sebagai asistenmu. Bukankah kamu bilang membutuhkan asisten?”
Andra tertawa. “Akhirnya, setelah sekian lama kamu memberiku asisten. Terima kasih, Bos. Kalau begitu, aku akan menghubunginya. Kebetulan sekali sebentar lagi waktunya laporan keuangan tahunan. Soal gaji, biar dia nego langsung sama kamu, ya. Aku ngeri melihat curriculum vitae nya.”
Raga kembali menggumam sebagai jawaban.
“Kenapa dia mau kerja di perusahaan kecil, ya? Aku jadi penasaran. Padahal gaji sebelumnya pasti besar sekali.”
“Itu karena dia kerja di jepang.”
“Iya juga.” Lalu Andra berdehem. “Fotonya cantik.” Andra menambahkan sebelum tertawa kecil. “Lumayan dapat pemandangan.”
“Hati-hati istri orang.” Raga mengerjap lalu merapatkan sepasang bibirnya. Apa yang baru saja dia katakan? Dia tidak ingin orang tahu jika dia memiliki dua istri. Raga mengatur napas. “Maksudku, mungkin saja—”
“Tidak. Statusnya masih single, kok.”
***
Mara tersenyum lalu mengangguk ketika dokter yang merawat Nadia melangkah ke arahnya. Mara menggeser posisi duduk hingga sang dokter bisa duduk di sebelahnya. Pria itu menoleh.
“Hari ini Nadia kelihatan berbeda.”
“Lebih baik?” tanya Mara dengan sebelah alis terangkat. Wanita itu tersenyum ketika mendapat jawaban berupa anggukan kepala. “Syukurlah.”
“Sepertinya dia punya semangat baru.”
Sepasang mata Mara mengecil ketika wanita itu tersenyum. “Bukankah kemungkinan sembuh itu tetap ada, Dok?”
“Sebagai dokter aku akan menjawab sangat tipis, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Tapi sebagai umat yang ber Tuhan, aku akan menjawab, iya. Apapun bisa terjadi.”
Mara menghembus cukup keras napas keluar dari celah mulut yang terbuka. “Apa sebelum ini tidak ada yang survive setelah di diagnosa stadium 4B, Dok?” tanya Mara ingin tahu.
“Jawaban jujur?” tanya balik sang dokter yang detik kemudian mengulum sepasang bibir melihat reaksi Mara yang mendelik.
Pria yang masih memakai jubah kebesarannya tersebut terkekeh beberapa saat sebelum menarik dalam-dalam napasnya, lalu menghembuskan perlahan. Senyum sang dokter menghilang, sebelum kepala pria itu bergerak ke kanan dan kiri. “Bisa bertahan satu tahun, itu sudah luar biasa.”
Mara terdiam sambil menatap sang dokter. “Saya berharap Dokter berbohong.”
“Sayangnya tidak. Memang itu yang terjadi.” Lalu sang dokter mengangkat lengan kiri. “Sebentar lagi akan selesai.” Pria itu menoleh ke belakang—ke arah pintu yang masih tertutup. Di dalam ruangan di belakangnya, beberapa pasien kanker sedang menerima perawatan kemoterapi.
“Oh ya, apa kalian akan menunggu di rumah sakit sampai nanti sore?”
Mara mengedip.
“Kalau kalian bolak-balik ke rumah takutnya Nadia akan kelelahan.” Sang dokter memberitahu. Hari ini memang jadwal kemoterapi Nadia 2x sehari. Selama lima hari berturut-turut. Itu yang akan Nadia lakukan untuk membunuh sel-sel kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh.
“Benar juga.” Mara mengangguk membenarkan. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah lebih dari 30 menit. Belum lagi jika macet.
“Baiklah. Sepertinya kami akan menunggu di sini saja.”
“Aku akan melihat ke dalam.”
“Baik, Dok.” Mara memperhatikan sang dokter yang sudah beranjak kemudian berjalan menuju pintu ruangan tempat Nadia sedang menjalani kemoterapi.
Mara menghembuskan napas. Tidak bisa membayangkan seperti apa sakitnya harus menjalani kemoterapi 2x dalam satu hari. Mengingat sesuatu, Mara segera membuka tas kemudian mengeluarkan ponsel. Wanita itu menggulir layar beberapa saat, kemudian membawa benda penghubung bernama ponsel tersebut ke telinga kanan.
Beberapa saat wanita itu menunggu sampai sebuah suara terdengar.
“Halo. Ada masalah dengan Nadia?”
Sepasang bibir Mara berkerut. Dia bersyukur pria itu sangat mencintai sahabatnya. Apa yang dilakukannya dua tahun lalu tidak sia-sia. Mara tersenyum kecil.
“Tidak. Jangan khawatir. Aku menghubungi untuk memberitahu kalau kami akan berada di rumah sakit sampai jadwal kemoterapi kedua nanti sore. Supaya Nadia tidak kelelahan di jalan.”
Di tempatnya, Raga terdiam setelah menghembuskan napas lega.
“Kamu suami yang baik, Raga. Terima kasih sudah mencintai Nadia sebesar itu. Setiap kali mendengarmu mengkhawatirkannya, aku benar-benar bersyukur. Jangan khawatir. Nadia akan bertahan. Aku yakin itu. Sudah dulu. Selamat bekerja.”