Dengan memakai setelan blazer dan rok span sepanjang di bawah lutut berwarna marun, rambut diikat ekor kuda dengan poni tipis menutup sebagian dahi—Mara melangkahkan kaki berbalut heels hitam setinggi 7 cm, masuk ke dalam gedung yang merupakan kantor tempat Raga mengoperasikan bisnis keluarganya.
Wanita itu mengedarkan mata, lalu melangkah lebar menghampiri tempat seorang wanita yang duduk di belakang meja panjang dengan tulisan receptionist.
“Permisi. Saya ada janji dengan Bapa Andra Gunawan.” Mara bertanya setelah tiba di depan meja resepsionis.
“Tunggu sebentar. Nama kakak siapa?”
“Asmara Wulandari.” Mara menarik pelan napasnya. Wanita itu kemudian memperhatikan sang resepsionis yang sedang menghubungi seseorang. Mara tersenyum setelah wanita yang duduk di balik meja meletakkan kembali gagang telepon, kemudian memberikan perhatian padanya.
“Silahkan naik saja. Ruangannya di lantai 2 sebelah kanan. Ada tulisan Departemen Keuangan.”
“Oh, baik. Terima kasih.” Mara menganggukkan kepala, kemudian berpamitan. Wanita itu berjalan ke arah tangga. Meniti anak tangga menuju lantai 2. Perusahaan yang didatangi memang hanya terdiri dari dua lantai. Meskipun begitu—bangunannya cukup besar. Di samping bangunan yang merupakan kantor, terdapat satu bangunan satu lantai yang sangat besar—tempat para pekerja produksi.
Tiba di lantai dua, Mara berbelok ke kanan. Mengikuti arahan dari wanita yang bekerja sebagai resepsionis di lantai satu, fokus mata Mara tertuju ke ruangan di sebelah kanan. Sampai kemudian menemukan satu pintu dengan tulisan departemen keuangan. Mara bergegas menghampiri. Berdiri di depan benda persegi yang terbuat dari kayu dengan cat berwarna coklat, Mara mengetuk daun pintu dua kali.
“Masuk.”
Mara mendorong pintu. Wanita itu melongok ke dalam, lalu mengangguk kecil sebelum membuka lebih lebar daun pintu, kemudian melangkah masuk. Menutup pelan pintu, Mara melanjutkan ayunan langkah kaki menghampiri meja dengan seorang pria duduk di baliknya.
“Selamat pagi, Pak.”
“Silahkan duduk, Asmara.”
“Mara saja, Pak.” Mara kemudian menarik punggung kursi, melangkah ke depan sebelum duduk. Mara mengulurkan map kertas warna biru yang dibawanya. “Ini lamaran pekerjaan saya.”
Andra menerima, lalu meletakkan di sisi kanan meja. Dia tidak perlu melihat karena sudah membaca yang Mara kirimkan melalui email.
“Jadi, kenapa berniat untuk bekerja di sini?”
“Seseorang memberikan rekomendasi pada saya. Yang pertama itu.” Mara terdiam sesaat. “Yang kedua, saya sudah mencari informasi tentang perusahaan ini. Menurut saya, perusahaan ini memiliki kesempatan untuk berkembang lebih besar lagi, dan saya ingin menjadi bagian dari perjalanan perusahaan ini berkembang menjadi yang nomor satu di negara kita.”
“Wah, kamu punya mimpi besar.”
“Benar. Saya seseorang yang selalu berminpi besar.”
“Bukankah kamu sudah mendapatkan mimpi besarmu ketika bekerja di perusahaan besar di Jepang? Sebagai senior financial advisor? Wow … itu posisi yang luar biasa di usiamu yang masih di bawah 30 tahun. Membaca curriculum vitae mu membuatku insecure.”
Mara tersenyum kecil. “Apa ini artinya penolakan? Karena anda insecure dengan calon bawahan anda?”
Andra menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. “Sayangnya aku menyukai wanita pintar. Dan aku penasaran. Apa yang bisa kamu lakukan untuk perusahaan ini.”
Kedua alis Mara terangkat. Wanita itu mengernyit ketika melihat pria di depannya beranjak, lalu meraih map berisi lamaran pekerjaannya.
“Ayo, kamu harus bertemu dengan bos di tempat ini untuk negosiasi gaji.”
Mara yang sudah sedikit mendongak—menatap Andra dengan sepasang alis berkerut. “Tidak ada tes yang harus saya jalani?” tanya bingung wanita itu.
“Tidak perlu. Pengalamanmu sudah lebih dari cukup. Aku tidak suka membuang waktu untuk urusan yang tidak diperlukan.” Andra mengangkat kedua bahunya. “Kualifikasimu sudah melewati batas posisi yang akan kamu dapatkan. Ayo.” Andra melangkah keluar dari balik meja.
Mara mendorong pelan kursi ke belakang, lalu berdiri. Menggeleng kepala, wanita itu meninggalkan kursi yang belum lama didiami. Berjalan satu langkah di belakang sang pemilik ruangan.
“Jangan kaget kalau bos bersikap dingin. Orangnya memang begitu. Anggap saja kamu bicara dengan patung es.” Lalu Andra terkekeh. Pria itu membuka lebar daun pintu—meminta Mara untuk keluar terlebih dahulu, sebelum berjalan mengikuti sambil menarik handel pintu hingga kembali tertutup.
Oh … Mara nyaris saja tersedak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pria bernama Rendra. Lipatan halus menghias kening yang sebagian tertutup poni.
“Tapi aku harus mengingatkanmu satu hal.” Rendra menoleh ke samping sementara kakinya masih melangkah. “Jangan terpesona padanya. Dia pria beristri, dan dia pria paling setia di seluruh muka bumi.”
Kali ini Mara tidak bisa tidak tersedak.
“Kenapa? Apa kamu sudah terlanjur terpesona pada pria itu? Ah, ya … kamu sudah mencari tahu tentang perusahaan ini. Pasti kamu sudah tahu seperti apa tampang Raga Sailendra.”
Mara mengangkat tangan kanan, lalu menggerakkan ke kanan kiri—membuat tanda tidak. Wanita itu masih terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya bisa bernapas dengan normal. Mara menarik pelan tapi panjang—oksigen masuk ke dalam paru-paru.
“Bukan masalah itu, Pak. Saya hanya kaget Bapak bisa bicara seperti itu tentang atasan Bapak.”
Andra tertawa kecil. Pria itu menghentikan langkah di depan pintu dengan warna cat yang sama seperti beberapa pintu lainnya di tempat tersebut. Andra menoleh, lalu tersenyum tanpa memberi respon pada kalimat terakhir Mara.
“Pak Andra.”
Andra memutar kepala ke arah datangnya suara. Pria itu berdecak kecil. “Darimana kamu? Seharusnya kamu duduk di sini. Jangan kemana-mana.”
“Saya ke toilet, Pak. Kan tidak mungkin saya pipis di sini.” Wanita muda yang merupakan sekretaris Raga itu memperlihatkan cengiran.
“Dasar.” Andra menggelengkan kepala. "Ada di dalam, kan?" tanya Andra sambil mengedik ke arah ruangan di depannya.
Sekretaris Raga mengangguk. "Tadi sih ada."
Lalu Andra melanjutkan kegiatan yang tertunda. Pria itu mengetuk daun pintu di depannya. Begitu mendengar suara Raga, pria itu menekan lalu mendorong handel pintu.
Masuk ke dalam ruangan Raga, Andra menahan daun pintu kemudian meminta Mara untuk masuk.
Andra masuk mengikuti. Setelah menutup kembali pintu, Andra melanjutkan langkah kaki diikuti oleh Mara.
“Bos, ini Mara.” Andra menoleh ke samping. Memperhatikan Mara yang mengangguk kecil. “Dia ini—”
“Tinggalkan kami, Ndra.”
Andra mengernyit ketika Raga memotong kalimatnya yang belum selesai. Menatap sesaat sang atasan, Andra kemudian menoleh ke samping. Napas pria itu berhembus pelan.
Andra mengembalikan fokus pada sang pemilik ruangan. Pria itu kemudian menyerahkan map berisi lamaran pekerjaan milik Mara. “Baik. Ini surat lamarannya.”
Setelah meletakkan map kertas ke depan Rega, Andra sekali lagi menoleh ke arah Mara. “Jangan lupa pesanku tadi. Aku tinggal sekarang.” Rendra kemudian meninggalkan ruangan tersebut setelah melihat anggukan kepala Mara.
Mara refleks menoleh mengikuti pergerakan Andra hingga pria itu tak lagi terlihat.
“Dia berpesan apa sama kamu?”
Suara Raga membuat Mara memutar kepala dengan cepat. “Oh … bukan hal penting.”
Raga menggulir bola mata, lalu mengedik ke arah kursi di depannya. Pria itu tidak berniat mengulik lebih dalam pembicaraan Andra dengan Mara.
Mara menarik punggung kursi kemudian mendudukinya. Wanita itu memangku tas dengan dua tangan berada di atasnya. Perhatiannya sudah tertuju penuh pada pria yang duduk di balik meja. Memperhatikan Raga yang sedang membuka lamaran pekerjaan miliknya. Wanita itu mengatur napas.
“Jadi, berapa gaji yang kamu inginkan?”
Sepasang alis dengan bulu-bulu rapi tanpa disulam itu bergerak hingga mencipta lipatan pada keningnya.
Raga mengangkat kepala ketika masih belum mendengar jawaban dari sang lawan bicara, setelah beberapa saat dia menyelesaikan kalimat tanya nya.
“Berapa?” tanya Raga yang sudah meraih pena dan menggantung di atas surat lamaran pekerjaan Mara.
Mara tertawa setelah beberapa saat membuat Raga menunggu hingga kening pria itu berlipat.
“Maaf … maaf. Aku hanya sedikit terkejut. Ternyata kamu bukan hanya suami yang baik, tapi juga atasan yang sangat royal. Menawarkan gaji pada calon pekerjanya. Wah … kamu benar-benar luar biasa, Raga.”
Raga mendengkus. Sepasang mata pria itu mengecil ketika senyum sinis menghias wajah tampan pria tersebut. “Penyesalan memang selalu datang terlambat, Mara. Jadi … berapa gaji yang kamu inginkan? Jangan sampai kamu menyesal untuk yang ke dua kalinya.”