BSW Bab 1
“Aku ingin Mas menikah dengan Mara. Ini permintaan terakhirku.”
Raga menatap tidak percaya perempuan yang sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wajah wanita itu tirus, dan bibirnya pecah-pecah. Nadia Lestari--wanita yang dia nikahi 1.5 tahun lalu itu baru saja memintanya untuk menikah lagi.
"Jangan katakan apapun. Kamu masih sakit."
Nadia--dengan napas pendek-pendek, menggeleng. Sorot mata wanita itu redup. Dia merasa tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya. Kedua payudaranya sudah diangkat. Namun, sel-sel kanker itu masih berkembang bahkan sudah menyebar ke bagian vital tubuhnya yang lain. Dokter sudah berusaha, namun sepertinya--waktunya sudah tidak lama lagi.
"Tolong ... penuhi keinginanku. Menikahlah dengan Mara."
***
Asmara Wulandari--wanita berusia 28 tahun tersebut langsung terbang kembali ke Indonesia ketika mendengar kabar jika sahabatnya—Nadia dalam keadaan kritis. Dia jelas tahu Nadia sakit-sakitan selama dua tahun terakhir.
Keluar dari bandara, wanita yang selama satu tahun terakhir bekerja di negeri sakura itu bergegas mencari taksi. Perasaannya tidak enak. Pikirannya tidak tenang. Dia takut terjadi hal buruk pada sahabatnya. Saat Raga—suami Nadia menghubunginya, pria itu bahkan terdengar menahan tangis.
Masuk ke dalam taksi, Mara langsung meminta sang pengemudi menuju salah satu rumah sakit swasta tempat Nadia menjalani pengobatan. Mara menatap jalanan di samping melalui kaca mobil, sementara kedua tangannya saling meremas. Berulang kali wanita itu menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Mara berusaha untuk menenangkan dirinya. Dalam hati wanita itu terus menguntai doa. Kalimat terakhir yang suami Nada katakan, terngiang terus menerus di telinganya.
“Nadia ingin bertemu denganmu sekali saja.”
Mara menggelengkan kepala. ‘Tidak hanya sekali, Nad. Kita bisa bertemu berulang kali. Kamu harus sembuh, Nad,’ batin Mara sembari kembali memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya.
***
Raga duduk di samping ranjang menghadap sang istri. Pria itu menggenggam sebelah tangan Nadia yang tidak tertusuk jarum infus. Sepasang mata pria 33 tahun itu sudah berbayang, namun sekuat tenaga Raga berusaha untuk tidak menangis. Dokter mengatakan jika waktu yang dimiliki sang istri sudah tidak lama lagi.
“Raga … apa belum ada kabar dari Mara?”
Raga masih menatap wajah sang istri yang sebagian tertutup alat bantu pernapasan. Pria itu baru menoleh ketika merasakan usapan lembut di bahunya. Dengan sepasang bibir tertutup rapat, pria itu menggeleng.
Wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu dari Nadia menghembuskan napas pelan. Netra wanita itu merah lantaran terus-terusan menangisi sang putri. “Mereka berteman sudah lama.”
Raga membenarkan dengan anggukan kepala. Dia tahu. Mara bukanlah orang asing baginya. Dia mengenal wanita itu tiga tahun silam.
“Mama juga berat menerima permintaan Nadia, tapi … kita harus menghormati keinginannya. Nadia sangat mencintai kamu. Mungkin dia ingin memastikan kamu berada di tangan orang yang dia kenal dengan baik. Yang dia percaya.”
Raga menarik napas dalam-dalam saat merasakan remasan tak kasat mata di dalam d*danya. “Aku mencintai Nadia.
“Mama tahu. Nadia sangat beruntung bisa mendapatkan pria yang mencintainya dengan tulus. Mau menerima kondisinya yang—” Wanita itu tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Air mata sudah kembali turun membasahi kedua pipi, hingga dia buru-buru harus mengusapnya. Dia tidak boleh terus menerus menangis. Dia harus kuat seperti permintaan Nadia sebelum putrinya itu menutup mata.
“Maaf, Bu. Setengah jam lagi kalau yang ditunggu masih belum datang, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Ibu Nadia menoleh. “Dia dari luar negeri, Pak. Mungkin penerbangannya delay. Tolong ditunggu.”
Pria yang memakai setelan jas, dan juga peci itu mengangkat lengan kiri. Pria itu mendesah. "Masalahnya saya harus menikahkan pasangan lain, Bu.”
“Nad … Sayang,” panggil Raga begitu merasakan gerakan jari tangan istrinya.
Ibu Nadia yang mendengar suara menantunya langsung memutar tubuh lalu mendekat ke tepi ranjang. “Ada apa, Raga?” tanya wanita itu sambil memperhatikan d*da putrinya. Wanita itu menghembuskan napas lega. Putrinya masih bernapas.
“Jari Nadia baru saja gerak, Ma.” Raga mengusap lembut punggung tangan istrinya. “Nad, kamu dengar aku, kan? Ayo bangun.” Raga mengangkat tangan sang istri kemudian mengecup punggung tangan wanita itu. “Kamu tidak mau jalan-jalan ke taman?” Pria itu menarik napas pelan saat tidak mendapatkan respon dari sang istri. “Baiklah kalau kamu masih ingin tidur.” Pria itu mendesah.
***
Mara masuk ke lobi rumah sakit dengan mengangkat koper. Mengedarkan mata, wanita itu bergegas menghampiri meja panjang.
“Permisi, Sus. Boleh saya titip koper di sini?” tanya Mara pada seorang perawat yang duduk dibalik meja panjang. Melihat kernyit di dahi perawat itu, Mara menambahkan. “Saya dari Jepang langsung ke sini. Makanya masih bawa koper. Isinya cuma pakaian, kok. Bukan bom,” kata Mara dengan Nada sedikit kesal.
“Ya sudah lah kalau tidak boleh.” Mara yang kesal karena hanya ditatap oleh perawat itu akhirnya memutar tubuh lalu melanjutkan langkah dengan membawa kopernya. Ingin menarik koper itu, tapi rasanya aneh karena dia berada di rumah sakit, bukan di bandara. Sial, batin Mara.
Wanita itu mempercepat langkah kaki saat mengingat kondisi sang teman. Wanita itu bahkan berlari ketika melihat pintu lift nyaris tertutup. “Tunggu!” Mara bergegas masuk ke dalam lift setelah seseorang menahan pintu untuknya. “Terima kasih … Dok.” Wanita itu menggerakkan kepala turun.
“Lantai berapa?”
“Sepuluh.”
Mara tersenyum kecil saat dokter itu menekan nomor lantai untuknya. Mara beberapa kali meraup oksigen sebanyak mungkin lalu menghembuskan dari mulut yang ia bulatkan. Tidak lama kemudian bunyi lift terdengar, lalu pintu besi di depannya terbuka. Mara langsung melangkah keluar. Menoleh ke kanan kiri sambil mengedarkan pandangan mata, Mara kemudian menarik ayunan kakinya ke kanan.
Mara memperhatikan pintu di kanan kirinya—mencari nomor yang merupakan kamar rawat Nadia. Mara semakin mempercepat langkah kakinya. Wanita itu menghembuskan napas lega saat melihat nomor kamar rawat yang dicarinya. Mara sudah mengangkat tangan kanan untuk mengetuk, ketika benda persegi di depannya terbuka dari dalam. Mara bahkan refleks menarik ke belakang kedua kakinya.
“Mara.”
Mara memutar kepala. Sepasang matanya mengerjap melihat ibu sang sahabat berdiri di ambang pintu.
“Pak … yang kita tunggu sudah datang. Tolong sebentar saja.” Ibu Nadia memohon pada dua orang yang sudah akan pergi. Wanita itu kemudian menggulir bola mata ke arah Mara. “Masuk, Mara.”
“Tante … bagaimana kondisi Nadia?” Mara meletakkan koper ke samping pintu, lalu melanjutkan langkah kaki. Wanita itu memeluk ibu Nadia yang sudah menangis. Mara menatap ke atas ranjang. Melepas pelukannya, langkah kaki wanita itu kembali terayun menghampiri ranjang.
“Nad,” panggil Mara yang langsung duduk di tepi ranjang. Wanita itu meraih tangan sang sahabat. “Hei … aku datang. Kamu bilang ingin ketemu aku.” Mara mengusap pelan kepala Nadia. Tangannya bergetar saat beberapa helai rambut menempel di tangannya. Mara mengepalkan tangannya. Wanita itu menarik napas dalam-dalam.
“Bu, bisa kita mulai sekarang?”
Ibu Nadia menganggukkan kepala, lalu menghampiri Mara. “Mara,” panggil wanita itu.”
"Tante … rambut Nad.” Mara memutar kepala. Sepasang mata yang sudah berlapis cairan itu menatap sedih ibu sang teman. Dia memperlihatkan beberapa helai rambut Nadia yang menempel di tangan kirinya.
Ibu Nadia menganggukkan kepala. “Ada yang harus Tante sampaikan sama kamu soal Nadia.” Wanita itu menghembuskan napas pelan. “Kankernya sudah menyebar.” Kepala wanita itu menggeleng. “Sudah tidak ada harapan kecuali keajaiban Tuhan.”
Mara kehilangan kata-kata. Tetes bening turun di sudut mata wanita itu. Kepala Mara menggeleng.
“Nadia punya satu permintaan buat kamu.”
Mara masih belum bisa mengeluarkan kata-kata. Sepasang mata wanita itu terus memproduksi cairan bening yang kemudian menetes membasahi dua pipinya. Mara mengusap wajah basahnya berkali-kali. Menahan sekuat tenaga agar isak tangis tidak pecah.
“Mara … kamu tahu Nadia sangat mencintai Raga. Dia juga sangat menyayangi kamu.” Ibu Nadia menghapus air matanya. “Tante mohon, tolong penuhi keinginan terakhir putri Tante. Menikahlah dengan Raga.”