Raga bergegas meninggalkan rapat setelah mendapat telepon dari Mara. Pria itu mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Napas Raga memburu. Dia menyesal meninggalkan Nadia seperti saran Mara. Tangan kiri Raga bergerak menarik lepas dasi yang membuatnya semakin sulit bernapas, lalu melemparnya begitu saja ke belakang. Setelahnya, pria itu melepas dua kancing teratas kemeja yang membalut tubuh berototnya.
Raga menekan pedal gas lebih cepat. Wajah pria itu terlihat begitu tegang. Raga tidak akan bisa memaafkan diri sendiri jika sampai ada hal buruk menimpa istrinya.
***
Sementara di rumah sakit, Mara memeluk ibu Nadia sambil menangis dan terus meminta maaf.
“Aku minta maaf, Tante. Aku ajak Nadia ke taman. Aku tidak tahu akan jadi seperti ini. Maaf, Tante. Maafin aku.”
Ibu Nadia mengusap pelan punggung Mara yang bergetar. Wanita paruh baya itu tidak mengatakan apapun. Sepasang matanya masih memperhatikan seorang dokter dan dua perawat yang sedang mengurus putrinya.
Ibu Nadia baru kembali dari mengambil pakaian ganti saat melihat putrinya didorong masuk ke dalam ruang rawatnya. Lalu dokter berlari menyusul. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia cemas. Wanita itu langsung bergegas masuk ke ruang rawat sang putri. Saat itulah Mara yang melihatnya langsung menghampiri, lalu memeluknya sambil menangis.
Dia tidak menyalahkan Mara. Asti tahu, kondisi putrinya memang tidak bagus. Bahkan dokter sudah berpesan agar keluarga ikhlas, dan membuat hari-hari Nadia bahagia. Sang putri bisa keluar dari masa kritis saja sudah sebuah keajaiban. Tidak mudah, tapi dia berusaha kuat menerima kondisi sang putri.
“Bagaimana, Dok?” tanya ibu Nadia setelah melihat sang dokter menegakkan tubuh.
Mara melepaskan pelukan, lalu memutar kepala. Wajah wanita itu basah dan dua matanya merah. D*da wanita itu naik turun dengan cepat.
“Masih sama. Dia hanya kelelahan.” Lalu pandangan mata dokter itu bergeser. “Tidak masalah ajak pasien ke taman. Dia pasti juga bosan terus berada di dalam ruangan. Hanya saja, besok lagi bawa oksigen untuk jaga-jaga.”
Membuka sepasang bibirnya, desah lega keluar dari celah bibir Mara. Kepala wanita itu mengangguk keras. Dia akan mengingatnya. Dia bersumpah tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali.
“Baiklah. Kalau begitu, saya permisi.”
“Dok,” panggil Mara, membuat langkah kaki sang dokter yang sudah terhela berhenti, lalu pria dengan jubah putih itu memutar tubuh ke arah sang pemanggil.
“Ya.”
Mara mengerjap. “Apa … tidak ada yang bisa dilakukan untuk kesembuhan Nadia?” Lalu Mara terdiam beberapa detik sebelum melanjutkan. “Apa kalau dia di bawa ke luar negeri—” Mara tidak melanjutkan kalimat ketika melihat gelengan kepala sang dokter.
“Lebih baik perbanyak doa. Rumah sakit, teknologi, dokter—itu semua hanya alat. Tuhan lah yang menyembuhkan. Pengobatan di sini sudah bagus. Percayalah, akan sama saja hasilnya sekalipun kamu membawanya ke belahan dunia lain.”
Mara terdiam.
Sang dokter mendesah. “Sel kankernya sudah menyebar sampai ke otak. Itu sebabnya saya minta bahagiakan dia. Keajaiban selalu ada, tapi, kami sebagai tim medis—menilai berdasarkan kondisi pasien.” Dokter itu menghembuskan napas. "Bukankah kita sudah melihat satu keajaiban terjadi ketika pasien bisa lepas dari kondisi kritis? Siapa tahu Tuhan mengabulkan doa kita semua."
“Aamiin. Kami mengerti, Dok.” Bukan Mara, melainkan ibu Nadia yang menjawab. Wanita paruh baya itu sudah mengerti kondisi sang putri. Itu sebabnya dia menuruti permintaan Nadia yang menginginkan sang suami menikah dengan sahabatnya sendiri.
Dokter itu mengangguk, lalu undur diri. Diikuti dua orang perawat, pria tersebut berjalan meninggalkan ruang rawat Nadia.
Mara berkali-kali menarik dalam napasnya. Sepasang mata wanita itu bergulir mengikuti pergerakan tiga pekerja medis hingga tak lagi tampak.
“Ayo, kita temani Nadia.” Asti meraih sebelah lengan Mara, lalu mengajak madu sang putri menghampiri ranjang.
Berdiri di samping ranjang, Mara menatap sendu wajah pucat Nadia. Dalam hati wanita itu berdoa mengharap keajaiban untuk sang teman. Dia tidak tega melihat kondisi Nadia seperti sekarang. Satu tetes air mata turun tanpa wanita itu minta.
Mara menoleh saat merasakan usapan di punggungnya. Satu tangannya terangkat untuk menghapus cairan yang membasahi pipi. “Kenapa dia jadi seperti ini, Tante?” Lagi, air mata turun dari sudut mata Mara.
“Sudah takdir, Mara.” Asti memaksa sudut bibirnya tertarik. “Tante juga maunya dia sehat. Dia belum memberi Raga keturunan.” Asti menarik sebanyak mungkin oksigen masuk dari lubang hidung. “Padahal dia sangat menginginkan anak.”
“Itu tidak lebih penting dari kesehatan Nadia,” ujar Mara menyahut kalimat ibu Nadia. Mara mengusap kembali kedua pipinya. Perhatian wanita itu sudah kembali pada sang sahabat yang masih menutup mata, dan bernafas dengan bantuan oksigen.
“Tapi, bagi Nadia penting. Sejak awal menikah, dia sudah menginginkan anak.” Asti mendesah pelan. “Sayang, Tuhan sepertinya belum percaya padanya.”
Mara masih terus menatap lekat wajah Nadia. Napas wanita itu tertarik berat. Mara berusaha mengusir rasa panas yang menguasai kedua matanya. D*danya sungguh sesak. Dia masih mengingat Nadia remaja. Sosok yang memiliki banyak kelebihan. Tidak hanya cantik, dia cerdas dan baik hati. Nadia muda yang saat itu terlihat begitu sehat, menjadi primadona di manapun dia berada. Siapa sangka Nadia yang dilihat sekarang adalah sosok yang begitu lemah. Tidak berdaya. Tubuhnya habis digerogoti sel-sel kanker mematikan.
“Apa yang terjadi dengan Nadia?”
Suara yang terdengar membuat Mara dan ibu Nadia menoleh ke arah pintu. Raga melangkah panjang masuk ke dalam ruang rawat sang istri. Wajah pria itu terlihat tegang. Rambutnya sedikit berantakan, dan pergerakkan dad*nya menunjukkan jika napas pria itu memburu.
“Dia pingsan.” Mara menjawab. Bola mata wanita itu bergerak-gerak tidak tenang. Melihat sorot menghakimi pria yang sudah sah menjadi suaminya, Mara kembali membuka sepasang bibir. “Maaf, aku mengajaknya ke taman. Aku tidak tahu akan jadi seperti ini.”
Raga sudah membuka mulut berniat untuk menyahut kalimat Mara, ketika suara ibu mertuanya terdengar.
“Bukan salah Mara. Memang kondisi Nadia yang lemah. Dia juga pasti senang diajak ke taman.” Asti menatap sang menantu. Wanita itu mengatur tarikan dan hembusan napasnya. Asti bisa melihat ketegangan di wajah sang menantu.
Raga menghembus keras karbondioksida keluar dari celah bibir. Semua kalimat yang sudah ada di ujung lidah tertelan kembali setelah mendengar kata-kata sang mertua. Pria itu menarik langkah mendekati ranjang, lalu menatap wajah sang istri yang terlihat damai sekalipun pucat.
Tiga orang yang masih berdiri di samping ranjang itu bergerak mendekat saat melihat kelopak mata sosok yang tergeletak di atas ranjang bergerak.
“Sayang ….”
“Nad ….”
Raga meraih sebelah telapak tangan sang istri. Pria itu merunduk mengurangi jarak di antara dirinya dan sang istri.
“Aku mau pulang.”
Raga menatap sepasang mata yang baru saja terbuka. Lipatan muncul di dahi Raga.
“Aku kangen rumah.”
“Tapi Sayang, kondisimu belum sehat.” Raga menahan keinginan sang istri. Bagaimana bisa dia membiarkan sang istri tanpa pengawasan perawat dan dokter dengan kondisinya saat ini.
Nadia menggeleng. “Aku mau pulang.” Wanita itu mengulang keinginannya. Dia sudah tidak betah berada di rumah sakit. “Aku tidak mau menghabiskan waktuku di sini. Aku tidak mau … mati di sini.”