Nadia tersenyum ketika akhirnya tiba di rumahnya kembali. Wanita itu menghirup udara pagi itu sedalam-dalamnya.
“Senang?”
Nadia memutar kepala, lalu mengangguk. Sepasang mata wanita itu menatap netra sang suami.
“Kuncinya mana? Biar aku buka pintu.” Mara berjalan menghampiri Raga yang berdiri di belakang kursi roda dengan Nadia di atasnya. Wanita itu sedikit membungkuk. “Selamat datang kembali di rumah,” canda Mara yang berhasil membuat senyum Nadia semakin lebar.
Sepasang mata Mara mengecil ketika wanita itu tersenyum tak kalah lebar dengan Nadia. Dia senang melihat sang sahabat terlihat jauh lebih baik, dibanding ketika wanita itu berada di atas ranjang rumah sakit. Mengingat tujuannya, wanita itu menegakkan kembali tubuhnya. Bola mata Mara bergulir ke arah sosok pria yang berada di belakang kursi roda.
Melihat tangan Raga terulur, Mara buru-buru meraih kunci yang menggantung di tangan Raga. Mara tersenyum saat tatapan mata mereka bertemu. Tidak lebih dari dua detik karena setelah itu Mara langsung memutar tubuh, kemudian berjalan cepat mendahului sepasang suami istri Raga dan Nadia.
Langkah Mara sama sekali tidak terasa berat saat menaiki beberapa undakan teras rumah dua lantai--yang menjadi tempat tinggal Nadia dan suaminya selama menikah, dan mulai hari ini juga akan menjadi tempat tinggalnya. Mara tidak menjadikan pernikahannya, atau statusnya sebagai istri kedua Raga sebagai beban, karena bagi Mara—Raga selamanya adalah suami Nadia. Dia tidak sama sekali berniat untuk menjadikan pria itu suaminya. Dia melakukan semua demi Nadia seorang.
Mara membuka kuncian pintu rumah, kemudian mendorongnya pelan. Wanita itu memutar tubuh ke belakang. Tersenyum ketika melihat Raga sedang berlutut di depan Nadia sambil menggenggam tangan sahabatnya tersebut. Keduanya terlihat sedang berbincang serius.
Menghembuskan napas panjang, Mara kemudian memutar kembali tubuhnya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Mara memutar kepala. Ayunan kakinya terarah menuju jendela kaca. Mara menyingkap gorden, kemudian membuka jendela kaca—membiarkan udara masuk, untuk menghilangkan pengap setelah entah berapa lama rumah itu kosong.
Tatapan mata Mara kembali terarah pada sepasang suami istri yang masih betah bertahan di halaman rumah. Udara pagi hari ini memang terasa segar. Ditambah dengan pemandangan taman di sekitar halaman rumah—pantas saja kedua orang itu betah berada di luar. Mara membatin.
Mara kembali memutar tubuh. Wanita itu berjalan masuk sambil mengedarkan mata. Untuk pertama kalinya dia masuk ke dalam rumah Nadia dan Raga. Kembali sepasang bibir wanita itu melengkung ke atas, ketika edaran matanya menangkap foto pernikahan keduanya.
“Kalian berdua pasangan yang serasi,” gumam Mara, sebelum melanjutkan langkah kakinya. Dia ingin melihat rumah sang sahabat.
Sementara di halaman, Nadia menatap sang suami. “Mas harus baik sama Mara. Jangan sampai dia merasa diasingkan oleh suaminya sendiri.”
“Apa tidak bisa, tidak membahas hal itu?”
Nadia memberengut. “Aku yang memintanya menjadi istri Mas. Kalau Mas tidak bisa baik sama dia, aku berdosa.”
Raga menarik sebanyak mungkin oksigen masuk ke dalam paru-paru. “Kamu tahu aku tidak akan bisa membagi hatiku.”
“Hanya untuk sementara, Mas.”
“Maksudmu?” tanya Raga dengan sepasang alis yang sudah nyaris bertabrakan di tengah. Apa Nadia sudah berencana memintanya untuk menceraikan Mara?
Nadia terdiam beberapa saat. Sepasang mata wanita itu menatap sendu netra sang suami. D*da Nadia bergerak perlahan ke atas, seiring dengan tarikan oksigen masuk melalui celah bibir yang terbuka. “Dokter bilang, waktuku sudah tidak lama. Tolong … bagi cintamu untuk kami berdua hingga waktuku habis. Setelah itu—”
“Jangan lanjutkan.” Raga menatap tidak suka sang istri. Kedua rahang pria itu terkatup rapat, lalu saling menekan-nekan hingga terlihat kedutan dari luar. Ternyata tebakannya salah. “Jangan memintaku lebih dari menikahi dia, Nad. Aku tidak bisa.”
“Mas ….”
“Kita tidak akan membahasnya lagi.” Raga kemudian beranjak. Pria itu melangkah ke belakang kursi roda, kemudian mendorong pelan.
“Setidaknya, tolong jangan judes sama Nadia. Tatapan mata kamu itu bisa membuat Mara sakit hati. Aku memilih dia karena aku tahu, dia pantas menggantikan tempatku.”
Napas Raga tertarik dan terhembus lebih cepat. Sepasang bibir pria itu tertutup rapat. Telinganya mendengar, tapi, pria itu sama sekali tidak berniat untuk menyahut. Dia tidak menyukai kata-kata sang istri, namun tidak ingin membuat istrinya sedih dengan terus menyanggahnya.
“Mara itu cantik. Mas sudah tahu itu. Dia juga pintar. Mas juga sudah tahu. Dia baik. Apalagi soal itu. Mas sudah tahu.”
Raga terus mendorong sang istri hingga naik ke teras. Pria itu tidak menghiraukan kalimat-kalimat pujian yang diucapkan oleh Nadia.
Nadia berhenti bicara setelah kursi rodanya melewati ambang pintu.
Mara mengangkat kepala. “Lewat sebelah sana yang sudah kering.” Mara menunjuk bagian lantai yang sudah kering setelah ia pel. Wanita itu masih memegang alat pel.
Tidak mendapat respon--baik dari Raga, maupun Nadia, Mara berdeham. “Maaf, kalau aku lancang. Aku hanya ingin membersihkan tempat ini.” Mara sudah menghentikan pekerjaannya. Wanita itu berniat untuk mengembalikan alat pel, jika memang sang pemilik rumah keberatan.
“Mas, panggil bibi. Aku tidak mau melihat Mara pel lantai lagi. Dia di sini istrimu, bukan pembantu.”
Mendengar kalimat panjang Nadia, Mara mengalihkan fokus pada sang teman. Wanita itu menghembuskan napas lega. “Aku sudah biasa melakukan pekerjaan rumah seperti ini, Nad. Kamu kan tahu aku di Jepang sendiri. Jadi jangan khawatir, aku sudah pro. Tenang saja.”
“Tetap saja. Aku tidak memintamu menikah dengan Mas Raga hanya untuk membersihkan rumah ini.” Nadia memutar kepala ke belakang. Wanita itu mendongak. “Ayo, buruan. Minta bibi kembali ke sini hari ini.”
Raga menatap sang istri, sebelum kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana. Untuk Nadia, apapun akan dia lakukan.
Mara hanya terkekeh melihat interaksi Raga dan Nadia. Wanita itu kemudian melanjutkan pekerjaannya, sekalipun Nadia melarang. Dia tidak tahan dengan debu. Lagipula, kondisi tubuh Nadia yang jelas tidak sehat, membutuhkan lingkungan yang bersih. Wanita itu tidak lagi mengindahkan percakapan antara Raga dan Nadia.
***
Selesai membersihkan rumah, Mara menghampiri Nadia dan Raga yang berada di ruang tengah dengan nampan berisi tiga cangkir teh.
“Kamu beneran sudah seperti pembantu di rumah ini,” ujar kesal Nadia ketika Mara meletakkan satu cangkir di depannya.
Mara tertawa. “Silahkan, Nyonya. Diminum teh nya,” balas bercanda Mara.
Nadia memberengut sebelum tertawa. Wanita itu memukul pelan lengan Mara setelah sang teman duduk di single sofa terdekat dengannya. Televisi menyala menyiarkan acara lomba memasak.
Mara menarik punggung ke belakang hingga menyandar. Wanita itu memutar kepala ke arah televisi.
“Kalau kamu tidak suka acara televisinya, ganti saja, Mara.”
“Itu acara kesukaanmu.” Raga menyahut cepat. Pria itu menoleh ke arah sang istri. Dia sangat tahu Nadia menyukai acara lomba masak-memasak itu.
Nadia yang sudah memutar kepala ke arah sang suami, membesarkan sepasang bola matanya. Dia sungguh merasa tidak enak hati pada sahabatnya. Bukan seperti ini tujuannya menikahkan mereka berdua. Dia ingin bisa pergi dengan tenang ketika waktunya tiba—karena sudah menyatukan Mara dengan Raga. Namun, penolakan sang suami terlihat begitu kentara, dan dia khawatir sudah menyakiti Mara.
Mara tersenyum. “Acaranya bagus, kok. Aku juga suka menonton acara seperti ini. Yang versi Jepang tentu saja.” Kedua mata Mara mengecil ketika sepasang bibirnya melengkung semakin tinggi.
“Oh iya, Mara. Kamu sudah mengurus pekerjaanmu di Jepang, kan? Kamu tidak mungkin kembali ke sana.”
Mara mengangguk. "Sudah." Wanita itu menarik punggung ke depan, lalu tangan kanannya meraih cangkir. Membalas tatapan sang sahabat, sepasang bibir wanita itu terbuka. “Besok aku akan mulai mencari pekerjaan di sini.” Lalu Mara membawa tepi cangkir ke sela bibirnya. Wanita itu meneguk pelan.
“Kamu bisa ikut bekerja di tempat mas Raga saja, Mara. Kamu bisa membantu usahanya.”
Raga yang sedang meneguk isi dalam cangkir, menghentikan kegiatannya. Pria itu melirik sang istri.
“Iya, kan, Mas? Mara pasti bisa bantuin kamu. Dia ini di Jepang sudah jadi senior akunting, loh. Padahal baru kerja setahun lebih dikit.”
Bola mata Raga bergeser ke arah sosok yang sedang dibicarakan oleh sang istri. Pria itu memperhatikan Mara yang sedang meletakkan kembali cangkir ke atas meja.
“Bisa, kan?” desak Nadia ketika sang suami masih belum menjawab.
Raga mengatur napas. Sekali lagi pria itu mengalah demi bisa menyenangkan hati sang istri. Pesan dokter yang memintanya untuk selalu membuat perasaan istrinya bahagia, membuat pria itu tidak berkutik.
“Aku akan mengaturnya besok.”
“Tuh, kan, Mara. Kamu bisa kerja sama Mas Raga. Jadi nggak perlu repot cari-cari lagi.” Nadia tersenyum senang bisa menyelesaikan satu masalah sang madu.
“Apa aku harus mengirim surat lamaran pekerjaan juga?” Mara menatap Raga. Lalu wanita itu tersenyum kecil. “Aku hanya bercanda. Kasih tahu alamat email HRD nya. Nanti aku kirim surat lamaran dan CV. “
Nadia kembali tersenyum. Wanita itu berkali-kali meraup oksigen, lalu menghembuskan perlahan. Nadia menatap Mara, lalu memutar kepala ke arah sang suami. Senyum masih terus menghiasi wajah pasien penderita kanker stadium 4 tersebut.
“Malam ini, giliran Mara yang tidur sama Mas.” Nadia mengeluarkan satu kalimat yang sanggup membuat dua orang lainnya di dalam ruangan tersebut, langsung menoleh dengan sorot mata terkejut.