Mara membawa Nadia ke taman di samping rumah sakit. Wanita itu mendorong pelan kursi roda ke arah pohon beringin dengan daun rimbun yang menghalangi sinar matahari. Mara kemudian duduk di bangku semen setelah menghentikan kursi roda di samping bangku dan memutar ke arah taman.
“Di sini lumayan,” kata Mara sambil mengedarkan mata. Udara pagi itu masih terasa segar. Mara menyelipkan sebagian rambut yang tertiup angin ke belakang telinga. Wanita itu menarik napas panjang—menghirup sebanyak mungkin oksigen untuk mengisi paru-parunya. Mara menoleh ke samping lalu tersenyum saat melihat Nadia memejamkan mata dengan posisi kepala mendongak ke atas. Nadia tersenyum.
“Aku akan menemanimu setiap hari menikmati udara pagi.”
Nadia membuka mata lalu menoleh. Bibir kering pecah-pecah itu kembali tertarik ke atas. “Semoga.”
“Pasti. Kamu masih ingat waktu kita sering joging pagi buat cari pemandangan cowok-cowok ganteng?” tanya Mara sambil tersenyum.
Nadia tertawa. Kepala wanita itu mengangguk. “Sekalian buat cari sarapan gratis.”
Mara membenarkan dengan anggukan kepala. Setelah berkenalan dengan para pria itu, ngobrol sebentar—mereka akan dengan sendirinya menawarkan sarapan bersama. Entah bubur ayam, nasi uduk, bubur kacang hijau, apapun itu.
Nadia menatap sendu sang teman. Di tempat itu juga lah mereka berkenalan dengan Raga.
“Setelah kamu sehat, aku ingin kita jogging di tempat itu lagi.” Mara tertawa. “Siapa tahu aku bisa dapat jodoh di tempat itu.”
“Kamu sudah punya suami.”
Mara menghembuskan napas. “Nad … kamu pasti akan sembuh. Sehat seperti sedia kala. Kamu bisa menikmati hidup bersama Raga. Punya anak-anak yang lucu, yang akan memanggilku ‘Tante.’” Mara tersenyum lebar. Wanita itu meraih sebelah tangan Nadia yang tidak tertusuk selang infus.
“Kamu harus yakin kalau kamu akan sembuh, Nad.”
“Stadium 4 dan sel kankernya sudah menyebar. Aku sudah ikhlas, Mara.”
“Apapun bisa terjadi. Tidak ada yang mustahil untuk Tuhan. Kita hanya perlu minta sama DIA, dan DIA akan memenuhi permintaan kita. Kamu harus percaya itu.”
Nadia menganggukkan kepala. “Tentu. Aku juga berdoa. Dari dulu. Dari awal aku tahu aku sakit, aku selalu meminta kesembuhan. Tapi mungkin Tuhan punya rencana lain untukku.” Nadia menghentikan kalimatnya. Wanita itu merasa dadanya menyempit hingga harus segera meraup oksigen sebanyak mungkin.
Mara menatap lekat sang sahabat. Dia tahu Nadia sudah berjuang selama ini. Wanita itu menghembus panjang napasnya. Seandainya dia bisa membantu.
“Setidaknya, sekarang aku sudah tenang. Kapanpun Tuhan memanggilku, aku sudah siap.”
“Aku tidak suka mendengar kalimat itu. Kamu terdengar pesimis.”
“Bukan pesimis. Aku sudah sampai pada tahap ikhlas. Karena kamu.”
Sepasang alis Mara terangkat. “Apa maksudmu?” Wanita itu menatap sang teman dengan sorot mata bertanya.
Nadia menangkup tangan Mara. “Karena kamu bersedia memenuhi permintaanku.”
Mara menghembus karbondioksida dari mulut yang sedikit terbuka. “Permintaanmu itu aneh. Aku melakukannya karena terpaksa. Raga selamanya akan menjadi suamimu.”
Nadia memaksa senyumnya. “Aku sudah senang bisa memiliki pria itu selama dua tahun. Sekarang—”
“Berhenti membicarakan itu.” Mara mengalihkan tatapan matanya. “Sudah kukatakan dari dulu—” Mara mengembalikan fokus pada sang teman setelah berhasil mendapatkan ketenangannya. “Dia untukmu. Pria itu mencintaimu. Dan dia sudah membuktikannya.” Tatapan mata Mara menajam. “Jadi, jangan pernah membicarakan apapun tentang masa lalu lagi,” tambah wanita itu. “Aku tidak suka.”
“Aku minta maaf.” Nadia mengusap pelan punggung tangan sang teman. “Kamu sudah berkorban banyak untukku.”
“Siapa yang berkorban? Apa kamu tidak mengenalku? Sejak kapan aku mau mengalah, hmm? Aku bahkan sampai les di dua tempat supaya bisa mengalahkan nilai-nilaimu. Itu karena aku bukan orang yang suka mengalah. Jadi, aku tidak melakukan pengorbanan apapun untukmu. Ingat itu baik-baik.”
“Kamu masih sama seperti Mara yang aku kenal dulu.”
“Tentu saja. Aku masih Mara yang sama, yang sayang sama kamu dan ingin menghabiskan banyak waktu denganmu.” Lalu ekspresi wajah wanita itu berubah ceria. “Aku mau kita seperdi dulu. Nonton, belanja, cari tempat makan—” Mara membayangkan apa yang dulu sering mereka lakukan sebelum dia berangkat ke Jepang untuk bekerja.
“Ah … aku akan mencari pekerjaan di sini. Dengan begitu, kita bisa melakukan semuanya lagi.” Sepasang bibir Mara berkerut. Wanita itu mulai memikirkan masa depan di tanah kelahirannya. Melihat kondisi Nadia, rasanya dia tidak tega berada di tempat yang jauh dari wanita itu. Setidaknya, dia bisa menemani proses penyembuhan Nadia jika dia tetap tinggal di kota kelahirannya.
Mara mengalihkan tatapan mata ka arah bunga-bunga yang tertata rapi tak jauh di depannya. Beberapa orang terlihat sedang menikmati suasana di tempat tersebut—sama seperti dirinya dan Nadia.
“Kamu itu beruntung sekali, Mara.”
Mara mendengar apa yang Nadia katakan, namun kepala wanita itu sama sekali tidak menoleh. Mara sedang memperhatikan aktivitas beberapa pasien tak jauh dari tempatnya duduk.
“Kamu cantik, pintar. Kamu bahkan bisa mendapatkan pekerjaan di tempat yang kamu suka,” ujar Nadia. Ada sedikit rasa iri karena dia tidak bisa menjalani hidup seperti yang dia inginkan. Dulu, dia juga ingin menjadi wanita karir. Sayangnya, penyakit membuatnya tidak bisa melakukan impiannya. Dia harus berkutat dengan obat-obatan, lalu berbagai macam terapi hingga kemo. Dan hasilnya, kanker itu tetap menyebar bahkan setelah dia kehilangan dua payudaranya.
“Aku iri padamu.” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Nadia. Kalimat yang juga berhasil mengalihkan fokus Mara dari aktivitas yang menarik perhatiannya.
“Semua orang memiliki keberuntungan masing-masing. Ada yang beruntung dalam hal fisik, otak, karir, percintaan. Tidak ada manusia yang sempurna dengan memiliki semua keberuntungan itu. Tidak perlu iri pada orang lain.” Mara menatap sang sahabat dalam-dalam. “Mungkin aku beruntung dengan pekerjaanku, tapi, kamu juga beruntung dengan percintaanmu. Jadi, tidak ada yang lebih beruntung, Nad.”
“Terima kasih sudah membesarkan hatiku.”
Mara mendesah. “Aku mengatakannya bukan karena ingin membesarkan hatimu. Aku mengatakannya karena memang seperti itu kenyataannya.”
Nadia sudah akan kembali berbicara ketika merasakan d*danya sesak dan panas. Wanita itu terbatuk beberapa kali. Mara langsung beranjak.
“Ada apa?” tanya Mara bingung. Sepasang mata wanita itu membesar seketika saat melihat darah di telapak tangan Nadia. “Nad.”
Mara dengan cepat melangkah ke belakang kursi roda, lalu mendorongnya. Jantungnya berdetak kencang. Mara panik ketika Nadia kembali terbatuk. Wanita itu mendorong lebih cepat kursi roda yang diduduki Nadia.
Sementara Nadia terus terbatuk. Wanita itu mulai kesulitan meraup oksigen. Mulut Nadia terbuka—berusaha memasukkan gas penghidupan tersebut melalui mulutnya.
“Sus … tolong, Sus. Tolong!” Mara berteriak begitu masuk ke gedung rumah sakit. Mara semakin ketakutan saat melihat kepala Nadia terjatuh ke samping.
“Pasien kesulitan bernapas. Ambil alat bantu bernapas. Panggil dokter.”
Mara meremas kedua telapak tangan yang bergetar. Kedua kakinya terasa lemas seketika. Wanita itu menyeret sepasang kakinya mengikuti seorang perawat yang sudah mengambil alih kursi roda darinya. Perawat itu mendorong cepat kursi roda, sementara seorang perawat lain sudah berlari untuk mengambil alat bantu pernapasan.