Raya 4
Masih membahas tentang lamaran yang diajukan Geo kepada Raya tadi siang, kini pria itu menunggu sang pujaan hatinya selesai bekerja di parkiran. Dia sudah menunggu Raya di sana sekitar setengah jam yang lalu. Anehnya ketika semua karyawan sudah pulang kantor, tapi Geo tidak melihat keberadaan Raya. Dia juga sudah mencari gadis itu ke pantry, tapi tetap tidak menemukan keberadaannya.
Entah di mana kini gadis itu berada dia tidak mengetahui, tapi dia tetap sabar menunggu di parkiran seperti yang mereka janjikan tadi siang. Belum memiliki nomor ponsel Raya biasanya Geo hanya menemui Raya di pantry atau menghubunginya ketika menggunakan telepon kantor untuk mengantarkan makanan atau minuman ke ruangannya. Kini Geo menyesali tidak pernah mencari tahu lebih jauh tentang Raya sehingga dia hanya bisa pasrah menunggu gadis itu selesai bekerja.
Namun satu hal yang bisa Geo pastikan Raya pasti akan menuju parkiran karena pria itu memarkirkan mobilnya di dekat sepeda motor matic yang biasa digunakan Raya untuk pergi ke kantor.
***
"Pak ini sudah malam dan saya ingin pulang ke rumah. Bisakah pekerjaannya dilimpahkan kepada office girl yang lain saja?" keluh Raya, dari sepulang jam kantor tadi dia tetap bertahan di ruangan Reno.
Entah apa yang pria itu inginkan darinya sehingga dia tidak bisa kemana-mana dengan alasan Reno takut membutuhkannya ketika menginginkan sesuatu. Padahal di kantor tersebut bukan hanya dirinya saja office girl yang bekerja. Ada puluhan orang yang bisa diandalkan Reno untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Namun pria itu malah mengharapkan dan menahannya tanpa ada kepastian kapan dia bisa pulang ke rumah. Dari tadi sang ayah sudah menghubunginya meminta Raya untuk membelikan obat asma untuk sang adik seraya pulang dari kantor nanti.
"Saya tidak bisa menemukan office girl lain yang bisa membantu tugas ini, jadi duduk manis di sana tunggu aba-aba dari saya. Apa yang saya butuhkan nanti akan saya sebutkan kepadamu. Nanti kamu bisa turun ke bawah dan mengambilkannya untuk saya."
Menghela napas panjang, Raya menganggukkan kepalanya. Mau membantah seperti apapun tiada berguna karena beginilah sosok seorang Reno, tidak bisa dibantah sama sekali dan suka seenaknya sendiri. Dari tempatnya duduk Raya memperhatikan, sesekali mencuri pandang ke arah Reno.
Pria itu tampak serius mengerjakan sesuatu di komputernya, sesekali pria itu juga memijat pelipisnya mungkin terasa pusing terlalu lama berhadapan dengan layar komputer tersebut. Namun Raya tidak mau menggubris sama sekali karena dia hanya akan melakukan perintah yang diberikan Reno untuknya, dan berharap ada seseorang yang bisa membantunya lepas dari cengkram Reno agar bisa kembali ke rumah.
Mungkin doa dan harapan tersebut langsung diijabah Tuhan sehingga Raya mendengar suara pintu ruangan Reno yang diketuk seseorang dari luar. Bergegas gadis itu berdiri untuk membuka pintu tersebut. Dia mengulas senyum dan memberikan hormat kepada seorang gadis yang kini berada di depan pintu ruangan Reno. Gadis yang sangat cantik dengan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai, hanya saja sangat disayangkan di mata Raya pakaian gadis tersebut terlalu terbuka. Mini dress yang dikenakannya juga mencetak lekukan tubuh gadis tersebut sehingga kedua gundukan kenyalnya terlihat tertekan sehingga ingin melompat keluar.
"Sebenarnya aku tidak mau datang ke sini untuk menjemputmu. Tapi sayangnya ibumu malah memaksa dan memintaku datang ke sini untuk memastikan kalau kamu sudah selesai bekerja dan membawamu turut serta ke acara makan malam kita."
"Untuk apa kamu datang ke sini?"
"Kamu ini tuli atau bagaimana? Bukankah aku sudah menyampaikan maksud dan tujuanku datang ke sini?" keluh gadis tersebut mendudukkan bokongnya di hadapan Reno, tapi pria itu tidak peduli sama sekali atas keberadaannya di sana.
Seakan gadis yang tak lain adalah Vika tersebut hanyalah sebuah boneka yang terpajang di sana. Dia tetap fokus pada pekerjaannya tidak mau mengalihkan tatapannya meskipun hanya sebentar.
"Ren, aku serius. Jangan membuat hidupku susah karena keegoisanmu, lebih baik sekarang kamu matikan komputer itu dan ikut denganku pulang ke rumah. Aku lelah mendengar omelan dari ibuku karena kompor dari ibumu. Bisakah kalian semua membiarkan hidupku tenang?"
Brak!!
Reno menggebrak meja sehingga mengeluarkan suara yang cukup kuat, menyentak Raya yang kini masih berdiri di ambang pintu ruangan Reno. Ingin rasanya dia kabur saja, tapi takut pula dipecat jika pergi tanpa izin dari atasannya tersebut.
"Kamu pikir aku mau menikah denganmu? Kamu pikir aku di sini karena sibuk? Tidak! Aku disini karena tidak ingin menghadiri acara makan malam yang lebih tepatnya menentukan tanggal pernikahan kita. Kamu pikir aku ini sudi menikah dengan w************n sepertimu?"
"Ren, cukup! Seandainya kalau kamu tidak mau menikah denganku jangan menghina seperti itu Memangnya kamu pikir aku mengharapkan kamu menikahiku? Tidak Ren, justru aku tidak ingin kebebasanku dikekang karena menikah dengan laki-laki kaku seperti dirimu. Aku masih ingin terbang bebas ke sana kemari menikmati masa mudaku, bukannya diam di rumah menjadi ibu rumah tangga!!" sergah Vika, tidak mau kalah karena tuduhan yang diberikan Reno kepadanya.
Sumpah demi apapun, wanita itu pun tidak pernah mengharapkan sedikitpun pernikahan terjalin diantara mereka. Hidup Vika yang selama ini bebas layaknya seekor burung yang bisa menikmati keindahan dunia, tentunya dia enggan dikurung jika sudah menjadi istri sahnya Reno.
"Tapi aku tidak bisa membantah ini semua karena kedua orang tuamu dan orang tuaku memiliki ambisi yang sama. Kamu pikir aku ini …" Vika memejamkan matanya, menggantung ucapannya tidak ingin melanjutkan karena dia sudah lelah menjelaskan kepada Reno bahwasanya pernikahan mereka ini tak apa dilangsungkan.
Lagi pula itu hanyalah sebuah drama saja, tidak ada keseriusan di sana. Dan Vika sudah berjanji kepada Reno tidak akan pernah main perasaan, tapi sayangnya pria itu tidak menyetujui sama sekali ide tersebut karena Reno merasa pernikahan itu merupakan sebuah ikatan nan suci. Jadi tidak bisa dipermainkan apalagi dijadikan sebagai drama semata.
"Pergilah! Aku akan menyusul nanti," usir Reno mengibaskan tangannya, mempersilahkan Vika pergi dari ruangannya. Suntuk juga Rasanya harus satu ruangan bersama Vika, sedangkan dia sengaja mengurung Raya untuk menenangkan pikirannya yang kian hari semakin tidak menentu saja.
Reno tidak tahu harus melakukan apa karena memang benar yang dikatakan Vika, mereka tidak memiliki pilihan apapun selain menikah. Dari tempatnya duduk Reno melihat Vika keluar dari ruangannya dan menatap Raya yang tampak ketakutan. Gadis itu menunduk dengan jari-jemari yang saling meremas satu sama lain.
Tidak perlu mempertanyakan keadaan Raya, Reno yakin gadis itu saat ini sangat ketakutan setelah melihat pertengkaran antara dirinya dan Vika sehingga dia mengalah saja dan mempersilahkan Raya untuk pulang ke rumah.
Lagi pula sebentar lagi dia juga akan pulang untuk menyusul Vika. Menghadiri pertemuan keluarga yang akan membahas tanggal pernikahannya.