Bapak

1456 Words
Pagi ini matahari mulai menampakan diri di timur pelupuk,hangatnya memeluk tubuh yang semalaman di balut dingin yang menusuk. Segar pagi ini, walau bukan tinggal di pedesaan yang masih asri, tapi masih terasa sekali sejuk udara semi alami, dan aku menikmati walau hanya di dampingi sepi. Aku duduk duduk saja di depan rumah, melihat orang orang saling sapa ramah tamah. Kadang mereka tersenyum lewat bibir yang merekah, ternyata baru sadar bahwa di sekitar masih banyak hal hal indah. Secangkir teh hangat menemani pagiku. Burung di dalam sangkar berkicau riang. Entah itu nyanyian sesih atau nyanyian bahagia si burung yang jelas itu terdengar sangat merdu di telingaku. Candra yang tiba-tiba datang memukulkan telapak tangannya ke sangkar kawat hingga bergoyang dan berketuk ketak. Aku tersentak kaget, kuambil sebutir kerikil dan kulemparkan ke Candra. "Kaget kau Ndut ? " tanyanya sambil tertawa. Ku jawab pertanyaannya dengan tatapan kesal. "Heh kamu ikut gak ? " ujarnya sambil berjalan mendekatiku. "Kemana ? " Candra duduk di sampingku sambil mencecap tehku."Aku mau ngopi sama temanku." "Sepagi ini ? " "Ya enggak lah nanti jam 9 . Kamu ikut enggak ? " "Ikut," jawabku sambil melempar senyum padanya. "Buruan mandi sono ! " "Ini kan masih jam setengah delapan, bentar lagi napa, capek baru selesai bantuin ibumu masak." "Nanti-nanti apa ? golongan betina dandannya lama , ogah aku nunggu, kamu kalau lama aku tinggal ." "Iya- iya astaga cerewet sekali." "Makanya buruan mandi!" "Iya , tapi itu teh ku jangan di habisin. " Candra melirik gelas teh nya " ups maaf khilaf, " katanya sambil nyengir kuda " nih masih sisa dikit hehehe " Candra menyodorkan gelas tehnya padaku. Dengan perasaan kesal aku memukul lengannya , sedangkan dia hanya tertawa terbahak-bahak. Aku beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkan dia pergi dan dengan sengaja kuinjak kakinya. "Aduh sakit b**o ! " ujarnya. Kami berangkat ke kafe sesuai alamat yang di tunjukan temannya Candra. Sampai di cafe mereka ngobrol panjang kali lebar dengan bahasa dayak yang sama sekali tidak aku mengerti. Sementara aku cuma planga-plongo sambil masang wajah bingung seperti orang bodoh. Mereka ngobrol lama banget, " ya ampun bahas apaan sih," gumamku dalam hati, aku mulai bosan berperan sebagai kambing congek di sini. Untuk menghibur diri kumainkan ponselku, keluar masuk WA, nyekral-nyekrol sss , sambil sesekali melihat kearah jalan. Hadeh kalau kalau kayak gini terus lama- lama aku bisa mati bosan. Setelah satu jam lebih mereka mengobrol dan tidak ada satu obrolanpun yang bisa ku mengerti , akhirnya obrolan mereka berakhir juga . Teman-temannya Candra pamit pergi. Mereka menyalami kami. Sementara kami masih duduk di cafe ini. "Ndut kamu ikut gak ? " "Kemana lagi ? " "Besok minggu aku bersama mereka mau naik ke bukit Sebayan." "Ikut , emang tempatnya bagus ? " Candra menganggukan kepala samabil meminum kopinya. "Bagus tapi masih angker . " ujarnya sambil meletakkan gelas kopi ke meja. "Ha ? Angker ?" "Iya, konon kawasan Perbukitan Sebayan dianggap sebagai suatu kawasan yang suci dan keramat bagi para pribumi yang tinggal disekitar hutan di kaki Perbukitan Sebayan. " Aku memajukan tempat dudukku " terus -terus " ujarku penasaran. Aku mulai tertarik dengan ceritanya Candra. Candra menghela nafas. " Perbukitan Sebayan Mempunyai Tujuh Buah Bukit dengan puncak tertinggi adalah Bukit Sebayan Bungsu dengan ketinggian kurang lebih 1.377 meter di atas Permukaan Laut. Nah tujuan kita nanti ke bukit Sebayan Bungsu. Kau tau bukit Sebayan Bungsu ini oleh penduduk sekitar di dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para arwahoh dari orang orang yang telah meninggal dunia, maka tidaklah mengherankan apabila para penduduk pribumi menganggap kawasan hutan dan perbukitan Sebayan ini sangat angker dan sakral. " "Duh berarti angker banget dong ? " "He, em " jawab Candra sedikit acuh sambil meraih kopinya . "Lah terus kita ngapain kesana ? " "Ya ngecamp diriin tenda di sana, di sana tempatnya bagus banget. " "Tapi kan angker. Emang Abang udah pernah kesana?" tanyaku sambil melihat wajahnya dengan serius. Candra mengusap wajahku dengan sedikit kasar. "Gak usah gitu banget ngeliatnya, biasa aja . Ngeliatin sampai kayak gitu amat, kenapa aku ganteng ya ? " tanya nyasambil tersenyum. Aku menyeringai. "Enggak, aku kan cuma pingin tau aja." "Ya tapi ngeliatinnya biasa aja oneng, aku pernah ke sana sama pamanku dan sahabatku Jecky. " "Terus mereka ? " "Yang gondrong itu si Bari , dia pernah kesana. Kau tau dia itu guide dan juga ketua mapala di sini. " "Enggak tau," jawabku sambil menggelengkan kepala, "kan belum abang kasih tau tadi hehe, " ucapku smbil meringis. "Astaga, heh berantem yuk ! Aku lagi pingin nyakar - nyakar muka mu ini ." "Iya -iya maaf becanda , gitu aja marah ... kita berangkat berapa ekor Bang ? " "Ekormu," kata Candra sambil menoyor kepalaku kemudian menjewer telingaku dan mendekatkan mulutnya ketelingaku. "Orang woy bukan ekor ." Candra melepaskan tangannya. "Kau kira kami ini sebangsa musang ha ? " Aku menggosok-gosok telingaku sambil menyeringai suara Candra membuat telingaku sedikit sakit. "Bukan bukan musang Bang ." "Terus apa ? " "Buaya darat," ujarku sambil tertawa. Candra bermasud untuk menjewerku lagi dengan cepat aku menghindarinya "ampun-ampun, bercanda," kataku sambil memegangi kedua telingaku. "Pulang yuk ndut ! " ajak Candra. "Ayok " jawabku sambil menganggukan kepala. Hari yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba. Sebelum pergi ke bukit Sebayan kami terlebih dulu pergi ke tempat kerja bapakku untuk meminta ijin. Dari rumah Candra ke tempat bapak membutuhkan waktu satu setengah jam, melewati jalan aspal lalu belanjut jalan tanah yang becek masuk kedalam hutan. Setelah perjalanan panjang akhirnya sampai juga kami di lokasi tempat kerjanya bapak. Kebetulan bapak sedang ada di depan mes . Beliau datang nyamperin kami. "Asalamualaikum pak, " kataku. Sambil meraih tangannya kemudian menciumnya. "Waalaikum salam," ujarnya. Candrapun melakukan hal yang sama seperti apa yang aku lakukan. "Sehat pak? " tanya Candra. "Alhamdulilah. Ayo masuk ! " Kamipun masuk ke dalam mesnya bapak. "Gimana Ndra , Wahyu bikin ulah gak di rumahmu, dia bikin repot kamu dan ibumu gak ? " "Enggak Pak , malah sering bantuin ibu masak, terus pergi ke kebun. Diajari ibu saya jadi wanita desa dia pak, " ujar Candra sambil tertawa kecil. "Sukurlah kalau dia di rumahmu gak ngerepotin kamu dan keluargamu, oh iya gimana kabar ibu mu , sehat ? " "Alhamdulilah pak sehat." Sementara mereka sedang asyik ngobrol aku sibuk menjarah makanan yang ada di lemari es . Aku membawa tiga botol air mineral dan sepiring semangka yang sudah tidak segar lagi. "Pak, saya mau ijin pergi ke bukit Sebayan ." "Ngapain ke sana Wah ? " "Ngecamp , boleh kan pak ? " "Berdua ? " "Enggak pak , kami rombongan lima belas orang bersama dengan teman-teman pecinta alam di daerah saya. " "Emang teman-temanmu sudah ada yang pernah ke sana Ndra ? " "Udah pak , saya sendiri juga sudah 2x kesana ." "Ya gak papa kalau rombongan, tapi kalau cuma berdua ya jangan lah. Kamu tau sendiri kan Ndra wahyu orangnya seperti apa kalau di hutan. Gak usah bapak bilangin tentu kamu sudah tau sendiri Wahyu seperti apa kan kamu yang lebih sering naik gunung dengan Wahyu dari pada bapak. Tentu kamu lebih mengenal karakter Wahyu dari pada bapak. " "Iya pak saya tau, saya pasti jagain Wahyu baik-baik ." "Kalau dia terlalu kepo jitak aja kepalanya atau tabokin aja Ndra, Bapak iklas," ujarnya sambil ketawa. "Ah kejam sekali," sahutku. "Wah ayo bapak ajak berkeliling . Bulan lalu bapak nemu anak burung sekarang udah besar mau bapak lepas , kamu mau liahat ? " "Iya Pak ." "Burung apa Pak ? " tanya Candra. "Burung Kacer." "Wih bagus itu pak, kenapa gak di pelihara aja Pak ?" "Kasihan Ndra . Udah biar dia hidup bebas ." Kamipun berkeliling diarea hutan dekat mesnya bapak. "Yu sini, kamu lihat itu, " kata bapak sambil menunjuk kesebuah pohon. "Tumbuhan itu batangnya mengandung air dan bisa di minum." "Oh iya itu kayu Pajaka kan Pak ." "Iya Ndra . Kamu kalah sama Candra , Wah si Candra aja tau ." "Yaelah Pak, ya jelas aja bang Candra tau ini kan habitatnya bang Candra dari kecil udah di sini." "Kurang ajar, habitat kau bilang," protes Candra sambil noyor kepalaku. "Iya-iya maaf , duh jangan noyor-noyor dong tergoncang ini nanti otakku yang jenius, " jawabku. "Ayo ke sana ! Bapak ajarin cara ngambil airnya biar kamu tau. Rugi kamu Wah punya teman yang jago survival seperti Candra malah gak mau minta di ajarin. Harusnya kamu belajar survival buat jaga-jaga kali aja tersesat di hutan kamu tau cara bertahan hidup." Kata bapakku sambil sibuk motong batang kayu Pajaka. "Yaelah Pak , saya kan kalau naik gunung selalu sama bang Candra, ngapain belajar kalau saya tersesat ya biar bang Candra yang usaha, saya tinggal ngikutin dia aja kalau kelaparan ya biar bang Candra yang nyari . Saya tinggal bantuin hehe," jawabku sambil meringis
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD