Bola Api

1578 Words
"Lah kau itu juga nanya nya selalu saja yang gak bisa aku jawab. Tadi ngapain gak nanya sama jurkun nya sekarang udah di sini malah nanya. Ya mana aku tau jawabannya, " gerutu Candra "Terus kenapa jawab kalau gak tau. " tanyaku kesal. "Lah dari pada gak di jawab." Sahut Ichal. Waktu istirahat telah berakhir, kami melanjutkan perjalanan. Menyeberangi sungai dangakal penuh bebatuan dengan air yang jernih saking jernihnya sampai seperti kaca , pantulan cahaya mata hari yang mengenai air seperi cahaya kristal. Aku melepas sepatuku dan menaikan celanaku supaya tidak basah. Ujung kakiku menyentuh air astaga dinginnya ...brr... cles langsung tembus ke tulang. Aku tidak ingin masuk kedalam air ini. Tapi gak ada pilihan lain. Yah terpaksa aku masuk kedalam sungai. Kami menyeberangi sungai sambil berpijak diatas bebatuan. Kami mencapai ketinggian 900 meter diatas permukaan laut, Perubahan vegetasi di sekitar ketinggian ini terlihat menakjubkan. Kumpulan pohon pohon kerdil dan tanaman perdu yang ditutupi dengan lumut tebal basah dan hijau bagaikan permadani dapat sedikit menjadi obat penghilang lelah. Di sini emang bener-bener menakjubkan. Aku serasa berada di dunia lain. Sejauh mata memandang yang ada hanya warna hijau yang menyejukan mata. Ketua kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan ngecamp di sini. Para laki-laki sibuk membersihkan daun yang yang berserakan di tanah dan mendirikan tenda ada pula yang masak. "Bang ini daun yang di maksut juru kuncinya tadi ? " tanyaku. Daun ini seperti daun jati namun lebuh lebar dari daun jati. Candra nengok kearahku dan mengnggukan kepalanya."iya " jawabnya singkat sambil merangkai frame tenda. Sedangkan kami para perempuan sibuk alay dan berfoto ria sambil mandorin para cowok. ****** Matahari mulai membenamkan dirinya diujung barat dan di gantikan oleh bulan. Kami duduk melingakar mengelilingi api unggun . Malam yang sunyi pecah oleh suara nyanyian kami yang berkolaborasi dengan suara hewan-hewan nokturnal. Malam semakin larut. Kami para perempuan pergi tidur. Aku masuk kedalam sleeping bagku dan tidur meringkuk di dalamnya. Badan yang kelelahan dan udara malam yang dingin membuatku lebih cepat terlelap. Jam menunjukan pukul dua belas malam. Aku terbangun dari tidurku. Tiba-tiba rasa kantukku sirna. Aku membuka tenda dan kulihat Candra dan Bari tidur beralaskan matras dekat api unggun. Sementara di sisi kiri ada Ichal sedang duduk melamun sendirian sambil memegang daun yang di maksut oleh juru kunci. Aku pun beranjak keluar tenda, dan menghampiri si Ichal. "Belum tidur Bang ? " tanyaku sambil duduk di sampingnya. Aku merebut daun yang dia pegang. "Belum ngantuk, kamu ngapain bangun?" "Enggak papa, eh Bang ini daun yang di maksud sama jurkun bukan ? " "Iya " "Kenapa ya daun ini gak boleh di bakar ? Emangnya apa yang akan terjadi kalau daun ini di bakar ? " Ichal menoleh menatapku.,"kamu penasaran ya ?" Aku menganggukan kepala." Dikit ? " "Kalau menurutku pribadi sih kita gak boleh bakar daun ini karena mereka takut kalau hutannya kebakar. Kan di sini banyak sekali daun-daun kering, kalau kita bakar takutnya merembet kemana-mana dan membakar semua isi hutan. Jadi mereka menciptakan cerita-cerita dengan di bumbui hal-hal mistis biar kita takut bakar daun ini." "Ah masa sih kayak gitu ? " "Iya, kamu penasaran kan? Sama aku juga, ayo kita bakar daun ini. Pasti gak terjadi apa-apa." "Jangan Bang nanti kalau terjadi apa-apa gimana ? " "Ah gak bakalan, yang penting kan kita jaga apinya biar gak menjalar kemana-mana." Ical beranjak dari tempat duduknya dan dia mengumpulkan daun yang berserakan, lalu membakarnya. Sementara aku hanya berdiri di tempatku dan terdiam. Memperhatikan Ichal membakar daun itu ." Bang, udah Bang matiin ! " seruku, namun Ichal gak menghiraukanku. Tiba-tiba Candra datang menghampiri kami. " Ngapain kalian ? " tanya nya. "Bang Ichal membakar daun yang di larang sama jurkunnya," ujarku. "Astaga Chal apa yang kamu lakuin ha ?" Candra membentak Ichal. "Udah lah santai gak bakal kenapa-kenapa ?" Jawab Ichal. Sesaat kemudian Bang Bari pun menghampiri kami, " ini ada apa kenapa kalian ribut-ribut ?" "Ini si Ichal bakar daun yang di larang sama jurkun," jawab Candra. "Astaga Chal , apa kang kau lakukan ? " tanya Bari setengah membentak. "Udah Bang, bangunin anak-anak yang tidur buruan !" pinta Candra Bari pergi membangunkan teman-teman yang tidur, sedangkan aku masih berdiri mematung melihat Candra memarahi Ichal dan juga memarahiku. Aku hanya bisa terdiam dan menunduk bersalah. Tiba-tiba angin bertiup kencang dari langit ada bola api terbang diatas dan berputar -putar. "Lari...!" teriak Candra. Kami langsung lari kocar-kacir menyelamatkan diri kami masing-masing. Aku sempat berhenti berlari dan berbalik melihat bola api itu, tiba-tiba bola api itu jatuh menghantam salah satu tenda kami dan meledak. Aku langsung lari sekencang-kencangnya. Tanpa senter berlari tanpa arah di tengah kegelapan malam aku sama sekali tidak bisa melihat sekitarku. Aku terus berlari menerobos semak belukar menabrak pohon dan jatuh berkali-kali karena tersandung akar pohon. Nafasku meburu jantungku berdetak kencang . Aku terus berlari tanpa arah dan tujuan. Sendirian di tengah hutan belantara yang gelap gulita. Merangsek ke semak belukar. Aku tidak tau sudah berapa kali aku terjatuh, kakiku terasa sakit. Tenggorokanku mengering dan tenagaku habis, nafasku terengah, aku tak mampu lagi berlari. Sambil menangis ketakutan aku terus berjalan sambil tertatih-tatih. Seluruh tubuhku gemetar ketakutan. Aku takut bola api itu mengejarku atau bertemu dengan hantu lain. Tapi yang lebih aku takutkan lagi, aku bertemu dengan hewan buas. Seperti macan , singa atau apalah itu. Samar-samar aku melihat ada sebuh pohon besar tumbang, ada celah di bawahnya. Aku langsung menuju pohon itu dan merangkak masuk kecelah pohon itu . Aku diam bersembunyi di dalam celah batu itu sambil menangis ketakutan. Badanku gemetaran, keringat dingin mengalir membasahi seluruh tubuh dan wajah, tangan terasa perih dan kaki sakit, keringat terus menetes dari celah-celah rambut mengalir ke keningku. Sambil menahan tangis bibirku terus komat kamit membaca doa. Berada di dalam celah pohon ini aku terus menangis sesenggukan. Aku mulai pasrah bila aku harus mati di hutan ini. Samar-samar terdengar suara langkah kaki, aku semakin ke takutan yang ada di benakku itu pasti hewan buas. Aku berusaha menahan tangisku. Berusaha untuk tidak bersuara. Dadaku sesak karena menangis dalam diam. Krek...krek...krek... suara langkah kaki itu semakin terdengar jelas dan semakin dekat. Di tambah suara hewan nokturnal semakin membuat suasana mencekam. Aku tetap meringkuk di bawah pohon tumbang sambil terus melawan rasa ketakutanku, yang ada di benakku hanya bayangan aku akan mati. Tanganku gemetar. Samar-samar ku dengar suara perempuan bicara lalu seorang laki-laki. Nafas mereka terdengar berat, kedua orang itu berbincang sambil ngos-ngosan. Aku menyadari bahwa itu suara teman-temanku. Akupun segera bergegas keluar dari tempat persembunyianku. "Mbak !" seruku sambil terisak entah siapa yang ku panggil. "Siapa disana ?" "Wahyu, kalian siapa ?" "Riska sama Bari, kau dengan siapa ?" Aku menghampiri mereka berjalan sambil tertatih. "Sendirian. " "Candra mana Wah ?" Tanya Bari "Gak tau bang, dari tadi aku sendirian." "Kamu kenapa Wah ?" Sahut Riska. "Kakiku terluka mbak pas lari tadi." "Ya ampun Wah, parah gak ?" "Kayaknya enggak, cuma linu mungkin terkilir." "Ya udah ayo kita pergi dari sini ! kita cari teman -teman yang lain." Ajak Bari. "Iya." Jawabku dan Riska bersamaan. Kamipun jalan meninggalkan tempat itu, Bari memapahku, kita bingung mau kemana. Di hutan ini semua terlihat sama. "Kita break di sini aja ya, percuma kita jalan terus, hutan ini terlalu gelap, " ujar Bari " Wah kamu duduk di sini dulu ya, aku mau bikin bifak." "Iya," jawabku lembut "Ayo Bang aku bantuin," tawar Riska. Mereka berdua pun mencari ranting kayu dan daun-daun untuk membuat bivak. Sementara aku hanya duduk memperhatikan mereka, sebenarnya tidak enak juga hanya berdiam diri seperti ini, temanku sibuk membuat bivak untuk kami istirahat sedangkan aku, aku hanya duduk diam saja. Bivak adalah tempat tidur sementara ya kayak gubuk gitu bentuknya. Fungsinya untuk perlindungan diri kita dari faktor alam seperti udara dingin, guyuran hujan, tiupan angin dan juga gangguan dari binatang saat kita berada di alam bebas. "Udah selesai, ayo Wah kita ke bivak," Ujar Bari. Menghampiriku ia membantuku berdiri. "Iya Bang, maaf ya bang aku gak bantuin." "Ah gak papa. Oh iya kakimu biar aku pijit ya. "Iya Bang. Maaf loh ya aku ngerepotin." "Santai aja kita kan tim." Kita bertiga duduk di dalam bifak. Bari memijit kakiku yang terkilir. "Arg... au sakit Bang," keluhku saat bari memijit kakiku. "Tahan sebentar ya Wah. Ris tolong pegangin Wahyu dong !" Riska mengangguk dan beralih ke belakangku memegangi tanganku. "Tahan ya Wah." Belum sempat aku menjawab Bari langsung menarik kakiku dengan sedikit kasar. "Kya..." teriakku menahan sakit. Selesai di pijit kakiku pun sedikit membaik tidak lagi merasa linu. "Kalian berdua tidurlah biar aku yang berjaga," ujar Bari sambil bikin api. "Aku gak ngantuk, Wah istirahat lah." Riska bergeser memberiku tempat untuk tidur. "Udah kalian berdua tidur aja. Besok kita jalan lagi. Mungkin besok akan jadi hari yang berat untuk kita," perinta Bari. Sepanjang malam Bari duduk di depan api unggun. Sementara aku dan Riska rebahan di dalam bifak aku sempat tertidur beberapa saat. Semakin malam udara semakin dingin, embun berlahan mulai turun suara hewan nokturnal memecah keheningan malam , malam ini rasanya begitu panjang. *** Matahari pagi menyapa dengan cahaya redup terhalang kabut. Kicauan burung menyambut pagi yang muram. Bari masih terjaga di depan sisa-sisa api unggun. "Kalian udah bangun?" tanya Bari. "Iya Bang." Kulihat lenganku yang penuh luka sayatan. Mungkin akibar kecakar ranting pohon dan duri semak belukar. "Astaga tanganmu penuh luka, " ucap Riska. "Iya ini, akibat lari-lari semalam," tuturku. Ku singsingkan celanaku yang sobek tepat di lutut. Darah kering memenuhi lututku. Perih, lukaku terasa ngilu. Ternyata luka di lutut sedikit parah, luka goresan menganga. Di penuhi darah kering menghitam yang mulai menggumpal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD