Amarah Juru Kunci

850 Words
"Ayo kita ke sungai, ada suara air pasti ada sungai tak jauh dari sini. Kita bersihkan dan obati lukamu." Bari memegang kakiku yang terluka. Aku dan Riska menganggukan kepala bersamaan tanda setuju. Kita pun pergi meninggalkan tempat kita. Kita jalan menuju kearah suara air yang mengalir. Bari memapahku. Riska jalan di depan memimpin. Dan benar saja sekitar 500 meter kita jalan, kita menemukan sungai. Kita langsung menuju ke pinggir sungai. "Aku nyari tanaman obat dulu ya siapa tau di sekitar sini ada tanaman obat." Bari membantuku duduk di pinggir sungai. "Iya hati-hati ya, " jawabku "Jangan jauh-jauh Bang," sahut Riska. "Siap," jawab Bari sambil berlalu pergi. Aku menyingsingkan celana dan langsung membersihkan luka yang penuh dengan darah mengering bercampur dengan tanah. Ces... gila pas kena air perihnya sampai ke hati. Aku menyeringai menahan rasa sakit. "Sakit ya Wah ?" Riska membantuku membersihkan luka. "Sedikit Mbak. Duh semoga saja lukaku gak kenapa-kenapa. Takut titanus atau kenapa gitu soalnya bersihinnya kan telat, " iya mudah-mudahan gak papa. Beberapa saat kemudian Bari kembali sambil menggenggam daun di tangannya. Ia duduk di sampingku sambil menumbuk daun itu menggunankan batu. Setelah halus, tumbukan daun itu di tempelin ke lukaku. Wreek... Bari merobek buf yang ia pakai jadi beberapa bagian. Dia mengikatkan sobekan buf itu ke lutut dan lenganku yang terluka. "Ini gimana ? Kita jalan nyari teman -teman yang lain atau gimana ?" Tanya Riska. "Enggak. Kita balik ke desa aja. Kita cari jalan keluar dari sini. Masalah nyari teman-teman kita minta bantuan sama warga aja. Terlalu beresiko kalau kita nyari sendiri. Di tambah lagi kita gak tau seluk beluk hutan ini." "Yaudah kalau gitu, ayo gak usah buang-buang waktu lagi," jawab Risa. Aku dan Bari menganggukan kepala. Kami beranjak dari tempat itu dan pergi. Empat jam kami berputar- putar mencari jalan untuk keluar hutan dan kembali ke desa ,akhirnya kami berhasil sampai ke sebuah desa. Kami break di rumah seorang ketua desa. Kami pun menceritakan apa yang terjadi dan ternyata kami bertiga berada di desa yang berbeda dari desa yang pertama kali di imtain ijin naik ke bukit sebayan. Kita pun diantar kerumah tetua adat dan ternyata di sana sudah ada Ichal dan dua teman yang lainnya. "Loh Chal udah sampai di sini kamu ?" tanya Bari. "Iya, tadi subuh aku sampai di sini. Wah kamu kenapa ?" "Gak papa hanya luka kecil semalem jatuh," jawabku. "Yang lainnya mana ?" tanya Riska. "Gak tau. Kita cuma bertiga," jawab Ichal. Ketua adat pun datang menghampiri kami bersama dengan juru kunci. Sontak Bari langsung mendekati ketua adat dan juru kunci. "Pak tolong saya, bantu saya menemukan teman-teman saya yang hilang pak, " pinta Bari. "Maaf saya tidak bisa membantu, teman-teman kalian menghilang itu karena ulah kalian sendiri. Jadi semu konsekuensinya ya kalian sendiri yang tanggung, " ujar juru kunci. Ichal pun beranjak berdiri sambil memegang sangkur. "Pak teman-teman saya tidak bersalah. Yang salah itu saya, saya yang sudah melanggar pantangan, saya yang sudah membakar daun-daun itu. Tadi kan saya sudah minta maaf. Saya tau permintaan maaf saya saja tidak cukup, " tegasnya. "Saya akan bertanggung jawab atas apa yang telah saya lakukan. Saya siap di hukum apa saja, termasuk jika harus mati demi menebus kesalahan saya. Tapi tolong bantu kami menemukan teman-teman kami," Ichal duduk berlutut di hadapan juru kunci. "Bukan hanya Bang Ichal Pak yang salah, tapi saya juga bersalah. Saya membiarkan Bang Ichal membakar daun-daun itu. Seharusnya saya melarangnya, saya mengingatkannya tapi salah malah diam dan tidak mencegahnya untuk membakar daun itu. Saya juga siap di hukum apapun Pak, " tambahku. "Pak saya mohon pak tolong kami menemukan teman-teman kami," sahut Bari. Suasana semakin penuh emosional. Juru kunci dan ketua adat terdiam mereka saling melempar pandangan. Ketua adat mengangguk. Juru kunci menghela nafas. "Baik lah saya akan membantu kalian menemukan teman-teman kalian. Nanti kami bersama warga habis melakukan ritual doa akan mencari teman-teman kalian, " ungkap nya. Tak ada yang bisa ku lakukan selain berdiam diri sambil berdoa memasrahkan semuanya pada sang pencipta. Empat jam mereka pergi. Akhirnya kembali juga. Aku melihat Candra bersama Bari. Ia memapah Candra yang berjalan sambil tertatih. Aku langsung lari menghampiri mereka. Di susul oleh Ichal di belakangku. "Bang gak papa?" tanyaku. Candra hanya menggelengkan kepala. Dia tampak lemas, wajahnya pucat. "Bang kau kenapa ? Kau sakit ?" Aku kembali bertanya. "Jangan di tanya-tanya dulu Wah. Candra masih lemah, " ucap Bari. "Ya baik lah," jawabku lirih. Aku tertunduk kecewa. "Ndut kamu gak papa ?" Candra menatapku sayu. Aku menggelengkan kepala. Candra tersenyum." Syukurlah, aku mengkhawatirkanmu." Dia menoyor kepalaku sambil senyum. "Chal ambilin minum Chal !" perintah bari. "Ini." Rika menyodorkan sebotol air mineral yang ia pegang. "Terima kasih ya Rik." Ujar Bari. "Ini minumlah !" Bari memberikan botol itu ke Candra. "Ndra makanlah, kau pasti lapar kan ?" tanya Riska. "Terima kasih," jawab Candra. "Lah Ilyas mana ?" Tanya Ichal. "Belum ketemu, tadi kita pecah jadi 2 tim. Aku titip Candra ya. Aku mau berangkat lagi nyari Ilyas." "Bang, aku boleh ikut bang ?" tanya Ichal. "Gak usah biar aku aja yang pergi nyari. Kamu urusin si Candra dan anak-anak yang lain." Bari pun berlalu pergi meninggalkan kami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD