Bagian 9
Jantungku berdegup tidak karuan ketika berdiri tepat di depan pintu.
Tangan mengepal. Mata memanas dan d**a bergejolak menahan api amarah yang sudah menggebu-gebu.
"Zahra, jangan gegabah. Kita atur strategi dulu."
Aku tidak menghiraukan ucapan Bella. Bagiku sekaranglah saat yang tepat. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama.
Dengan mengucap bismillah, aku langsung mengetuk pintu rumah tersebut.
Pintu belum juga dibuka. Aku semakin emosi.
"Sini biar aku coba," ucap Bella. Menggantikan posisiku di depan pintu.
"Kamu yakin akan melakukan ini, Zahra?" Bella kembali bertanya.
Aku menganggukkan kepala pertanda mengiyakan. Tekadku sudah bulat.
Kali ini giliran Bella yang mengetuk pintu.
"Permisi!" ucap Bella sambil terus mengetuk pintu.
"Siapa?" Terdengar suara seorang wanita dari dalam.
Bella tidak menjawab. Ia terus mengetuk pintu.
Pintu dibuka. Seorang wanita yang mengenakan pakaian kurang bahan berdiri tepat di depan pintu.
"Cari siapa?" tanyanya ketus.
Aku tidak menghiraukan pertanyaannya. Langsung saja aku menerobos masuk melewati wanita itu tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang pemilik rumah.
"Hey, anda siapa, sih? Kok' main masuk rumah orang sembarangan?"
Aku tidak menjawab pertanyaannya.
"Hey, anda ini siapa? Sepertinya anda sudah tidak waras. Masuk rumah orang sembarangan! Anda orang gila, ya?" Wanita itu malah menyebutku orang gila tapi aku tidak peduli.
Aku terus berjalan mencari keberadaan Mas Fahri.
"Mas Fahri … tolong, Mas!" Ia malah berteriak memanggil nama Mas Fahri.
"Ada apa, Sayang?"
Aku mendengar suara Mas Fahri berasal dari dalam kamar. Ya, tidak salah lagi. Pasti Mas Fahri berada di dalam sana.
Kenop pintu aku putar dengan cepat. Ternyata benar bahwa Mas Fahri ada di sana.
"Zahra?" Mas Fahri yang sebelumnya berbaring di atas peraduan langsung bangkit ketika melihatku.
"Zahra, ngapain kamu ke mari?"
"Diam! Justru aku yang pantas bertanya seperti itu. Ngapain kamu di sini, Mas? Apa yang kamu lakukan di sini?" Kupandangi wajah lelaki yang telah mengkhianatiku itu dengan tatapan tajam.
"Katanya keluar kota? Jadi luar kotanya di sini?"
"Zahra, Mas bisa jelasin semuanya."
"Jelasin apa lagi? Dasar pengkhianat!"
"Sayang, Mas bisa jelasin." Mas Fahri berusaha merayuku.
"Beraninya kamu masuk ke rumahku tanpa izin! Bahkan sekarang kamu berani menginjakkan kaki di kamarku." Wanita selingkuhan Mas Fahri itu mendekat. Mengangkat tangannya hendak menamparku. Tapi Bella langsung menahan tangannya.
"Slow, baby, jangan pakai kekerasan. Jika tangan kotormu itu berani menyentuh sahabatku, maka kupastikan nasibmu akan berakhir tragis di tanganku," ancam Bella, lalu menghempaskan tangan wanita itu dengan kasar.
Wanita yang pernah memperkenalkan diri sebagai Maria itu langsung berlari memeluk Mas Fahri.
"Mas, aku diancam Mas," rengeknya dengan suara yang sok manja. Sungguh memuakkan!
"Iya, kamu tenang dulu ya, Maria. Biar Mas yang bicara dengan Zahra." Mas Fahri berusaha menenangkan gundiknya itu sambil mengelus rambut pirangnya. Membuat hati ini semakin terbakar amarah dan rasa cemburu.
Pandanganku mulai kabur. Dipenuhi oleh kristal bening yang berlomba untuk keluar. Namun sebisa mungkin berusaha kutahan karena aku tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus kuat.
"Ternyata begini kelakuanmu di belakangku, Mas. Kamu jahat. Tega! Kamu bilang wanita ini rekan kerjamu. Nyatanya, dia adalah selingkuhanmu. Kamu benar-benar jahat, tau enggak!"
"Maafin Mas, Zahra."
"Simpan saja kata maafmu itu, Mas. Sudah berapa lama?"
Mas Fahri terdiam. Ia tidak berani menatap mataku.
"Kami sudah berhubungan sejak satu tahun terakhir. Kamu mau apa?" sahut Maria.
"Aku tidak bertanya padamu, w************n! Aku bertanya pada Mas Fahri, suamiku," ucapku dengan tegas agar wanita itu tahu diri.
"Kamu bilang apa? Aku murahan? Jaga mulutmu, ya, jangan ngomong sembarangan!" Maria protes dan tidak suka dengan tuduhanku.
"Apa ucapanku barusan kurang jelas? Terus apa dong, sebutan yang pantas bagi wanita yang telah merebut suami orang kalau bukan w************n alias pelakor? Jika kamu wanita baik-baik, kamu tidak mungkin mau menjalin hubungan dengan lelaki yang telah beristri. Terus sekarang kamu mau protes dengan tuduhanku, hah?"
"Dengar baik-baik, Zahra. Pasang telingamu karena aku hanya akan mengucapkannya satu kali saja. Aku bukan w************n seperti yang kamu tuduhkan. Aku dan Mas Fahri sudah menikah dan sekarang aku sedang mengandung anak dari Mas Fahri."
Aku memang sudah mengetahui kalau wanita itu sedang hamil saat membaca chat di ponsel Mas Fahri. Namun aku tidak menyangka jika rasanya akan sesakit ini saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut wanita yang telah merebut suamiku.
Bagaikan luka yang disiram dengan perasan air jeruk nipis. Perih dan sakit tiada terkira.
"Mas Fahri, kamu benar-benar lelaki b******n! Jahat! Kamu sudah menyakiti hati sahabatku, Fahri!" Bella tidak terima. Ia langsung menjambak rambut Maria, namun Mas Fahri segera menahan tangan Bella.
"Sini kamu wanita pelakor! Biar kubuat wajahmu itu hancur. Sini hadapi aku kalau berani. Ayo! Jangan bisanya cuma mengumbar aurat untuk menarik perhatian lawan jenis. Lawan aku kalau berani!" tantang Bella.
"Bella! Kamu tidak usah ikut campur. Kamu itu bukan siapa-siapa. Jadi kuminta kamu pergi saja dari sini. Biar aku yang menyelesaikan masalahku ini dengan istri-istriku."
Mas Fahri sepertinya bangga sekali memiliki dua istri. Membuatku semakin muak.
"Kamu dengar sendiri, kan? Kamu udah diusir oleh Mas Fahri. Pergi sana!" Wanita itu mengibaskan tangannya. "
Jangan lupa, ajak juga sahabatmu yang mandul ini," ucap Maria sambil mengarahkannya jari telunjuk ke arahku.
"Maria, apa maksudmu bicara seperti itu?" tanya Mas Fahri.
"Siapa lagi kalau bukan istrimu ini. Kenapa, Mas? Mau protes? Memang kenyataannya begitu, kok. Istrimu ini mandul dan sampai sekarang tidak bisa memberimu anak, makanya kaku mencari wanita lain yang bisa memberimu keturunan. Iya, kan?"
Maria bukan hanya merebut suamiku, ia juga menyebutku mandul. Benar-benar keterlaluan!
karena sudah tidak tahan lagi, sebuah tamparan aku layangkan ke pipi kirinya Maria.
Menurutku, hadiah tamparan tersebut rasanya tidak seberapa dibanding rasa sakit yang Maria berikan padaku. Ia telah merebut suami yang sangat aku cintai. Menghancurkan pernikahanku dengan Mas Fahri.
Maria langsung mengerang kesakitan sambil memegangi pipinya.
"Aw, sakit. Mas, dia menamparku." Maria mengadu kepada Mas Fahri.
Mas Fahri hanya diam. Lelaki yang telah mengkhianatiku itu terus saja memandangiku. Apa mungkin ia kasihan dan merasa bersalah? Entahlah.
"Mas, kenapa kamu diam saja? Tampar dia sekarang juga di hadapanku kalau kamu sayang sama aku," pinta Maria.
Mas Fahri hanya menggeleng.
"Tampar dia, Mas. Dia udah nyakitin aku! Buktikan kalau kamu sayang sama aku dan lebih memilihku dibanding wanita mandul ini."
"Cukup, Maria. Mas tidak akan melakukan itu. Sekarang lebih baik kita ke ruang tamu saja. Kita bicarakan semua ini dengan cara baik-baik."
"Zahra." Mas Fahri mendekat dan hendak meraih tanganku. Tapi aku segera mundur dan menjauh.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas. Semuanya sudah jelas. Kamu sudah mengkhianati janji pernikahan kita. Janji yang kamu ucapkan di depan penghulu. Sekarang aku kasih kamu satu pilihan. Pilih aku atau wanita ini? Jika kamu memilih aku, ikut aku pulang sekarang. Aku akan memaafkanmu dan memberimu kesempatan."
Aku tidak punya pilihan lain selain memaafkannya. Itu semua kulakukan demi janin yang ada di dalam kandunganku ini. Mungkin jika saat ini aku tidak sedang mengandung, maka aku tidak akan mau bersama lagi dengan Mas Fahri. Namun karena situasinya berbeda, memaafkan adalah satu-satunya jalan terbaik.
"Zahra, ini pilihan yang sangat sulit. Tolong jangan suruh Mas untuk memilih. Mas menyayangi Kalian berdua dan tidak ingin kehilangan salah satu dari kalian."
"Dasar lelaki egois! Apa satu istri masih kurang bagimu? Apa kurangnya aku, Mas?"
"Kamu itu punya banyak kekurangan, Zahra. Tidak bisa memenuhi kepuasan batin Mas Fahri dan juga tidak bisa memberinya keturunan. Makanya jangan salahkan jika suamimu melirik wanita lain yang bisa memberikan servis melebihi pelayananmu." Maria berucap dengan sombongnya tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Wanita yang telah ia rebut suaminya.
"Zahra, kamu tidak usah mendengarkan ucapan Maria. Itu semua tidak benar, Sayang."
"Sayang, sayang pala lu peyang! Manggilnya sayang, tapi malah menikah lagi dengan wanita lain. Dasar buaya! Udah Zahra, mendingan kamu gugat cerai aja suamimu. Lebih baik berpisah daripada kamu menderita. Kita pulang saja, yuk. Rumah ini rasanya panas bak neraka. Ayo!" Bella menarik tanganku namun Mas Fahri menghalanginya.
"Zahra, tunggu! Jangan dengerin Bella, please!" Mas Fahri berucap sambil menangkupkan kedua tangan di depan depan d**a.
"Silakan ambil keputusan, Mas. Pulanglah ke rumah dan tinggalkan wanita ini jika kamu masih sayang padaku dan Ibu. Keputusan ada di tanganmu. Permisi!"
Bersambung