Bagian 8
"Bu, Zahra pamit, ya, mau pergi sama Bella dulu."
"Kalian mau ke mana sih, Nak, pagi-pagi begini. Kamu jangan terlalu capek, Zahra. Jangan keluar rumah terus, kasihan kandunganmu, Nak."
"Maksud Tante apa? Kandungan Zahra? Zahra hamil?" sahut Bella. Gadis berkulit putih dan berambut panjang tersebut terlihat bingung.
"Alhamdulillah Nak Bella, Zahra sekarang sedang hamil muda."
"Ya ampun Zahra, kok' kamu enggak ngasih tahu kabar bahagia ini ke aku, sih? Tega ya nikmatin kebahagiaan tanpa ngajak aku. Tapi btw, aku turut bahagia. Selamat ya, akhirnya doa-doamu dikabulkan." Bella kemudian memelukku, lalu mengelus perutku yang masih rata.
Ah, Bella, aku 'kan jadi terharu.
"Sekali lagi selamat, Zahra, aku turut senang."
"Makasih, Bel. Maaf ya, tadinya aku mau ngasih kejutan. Tapi karena kamu udah tahu, ya batal."
"Pokoknya traktir colok," rengeknya.
"Beres," ucapku sambil mengacungkan jempol.
Aku sudah paham betul bagaimana kelakuan Bella. Saat ada kabar bahagia, ia pasti akan minta ditraktir cilok. Itu pun tidak mau cilok yang mahal. Ia maunya cilok yang dijual pake gerobak. Bella tidak akan gengsi makan cilok lima ribuan meskipun ia anak orang kaya dan punya banyak uang.
Salah satu hal yang kusukai dari Bella adalah, ia selalu tampil apa adanya. Tidak neko-neko. Namun aku juga kasihan padanya karena di usianya yang ke 25, Bella belum juga menikah. Sikapnya yang sedikit tomboy membuat para lelaki enggan mendekat. Sudah berulang kali aku memperingatkan Bella agar mengubah sikapnya menjadi lebih feminim, tapi Bella tidak mendengar. Gadis yang sudah bersahabat denganku sejak dari SMP ini selalu mengatakan kalau ia tidak mau menjadi diri orang lain. Bella mau calon suaminya menerima apa adanya termasuk segala kekurangannya.
"Kok' malah bengong? Kapan berangkatnya?"
Ucapan Bella berhasil membuyarkan lamunanku.
"Yasudah, Bu, kami jalan dulu, ya. Assalamualaikum." Aku meraih punggung tangan ibu dan menciumnya.
"Waalaikumsalam, hati-hati ya, Nak. Cepat pulang. Bella, bawa mobilnya hati-hati. Jangan ngerem mendadak. Tante percayakan keselamatan Zahra padamu."
"Iya, Tante. Siap!" Bella kemudian mencium punggung tangan Ibu.
"Hati-hati, ingat pesan Ibu, Zahra."
"Iya, Bu."
Ibu mertua memang sangat baik. Beliau selalu memperhatikan menantunya ini. Beruntung sekali aku memiliki mertua sebaik beliau. Mertua rasa ibu kandung. Begitulah yang kurasakan. Tidak pernah sekalipun aku cekcok dengan ibu mertua. Aku sangat menghormati beliau, begitu juga sebaliknya.
Bella membelokkan mobilnya ke sebuah cafe. Katanya Bella ingin bersantai sambil menikmati secangkir kopi.
Aku hanya menurut ke mana gadis tomboy ini membawaku.
"Zahra, ngomong-ngomong kamu baik-baik saja, kan?" Bella memulai pembicaraan sambil menunggu pesanan datang.
"Alhamdulillah, Bel. Aku baik-baik saja."
"Btw, kamu butuh bantuan apa? Aku siap bantu kamu. Katakan saja."
"Ini soal Mas Fahri, Bel. Aku ingin kamu membantuku untuk mengungkap rahasia besar yang disembunyikannya dariku."
"Maksud kamu apa? Aku enggak ngerti, Zahra."
Aku pun menjelaskan tentang maksud dan tujuanku kepada Bella. Awalnya Bella sempat terlihat shock dan tidak terima jika sahabatnya dikhianati oleh suami sendiri. Namun aku berhasil menyakinkan Bella bahwa aku baik-baik saja. Aku hanya perlu menangkap basah Mas Fahri untuk mengakhiri semua ini. Jujur, aku tidak kuat seperti ini terus-menerus. Makan hati. Lelah hati dan pikiran.
"Zahra, kenapa enggak minta cerai saja, sih? Aku tuh kasihan lihat kamu disakitin."
Cerai? Membayangkannya saja aku tidak sanggup. Aku tidak yakin bisa melanjutkan hidup tanpa Mas Fahri. Apalagi setelah ada kehidupan di rahimku ini. Apa yang harus kukatakan kepada anakku nanti jika dia bertanya tentang ayahnya? Aku tidak bisa membayangkan jika anakku nanti akan hidup tanpa kasih sayang dari ayahnya. Aku mau anakku mendapat kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Untuk itu, aku akan mengalah.
Mungkin jika orang lain yang berada di posisiku sekarang, alamat perceraian lah yang akan terjadi. Namun tidak denganku. Rasa cintaku terhadap Mas Fahri begitu besar. Melebihi rasa cintaku terhadap diri sendiri. Aku begitu tulus mencintainya.
"Aku bilang juga apa, Zahra? Kamu sih, ngeyel. Bukankah aku udah pernah ngelarang kamu agar jangan nikah sama Mas Fahri?"
Ya, dulu Bella adalah orang pertama yang menentang hubunganku dengan Mas Fahri. Dia terang-terangan mengatakan tidak suka dengan Mas Fahri. Menurutnya Mas Fahri bukanlah lelaki yang baik.
Aku yang saat itu sedang dibutakan oleh cinta, tidak mau mendengarnya. Bahkan aku rela kehilangan sahabat sebaik Bella asalkan bisa bersama dengan Mas Fahri.
Aku pernah memaki-maki Bella karena ia tidak mau datang ke resepsi pernikahanku dengan Mas Fahri. Aku juga pernah menuduhnya ingin merebut Mas Fahri dariku karena Bella terlalu ikut campur dalam urusanku.
Syukurlah Bella orangnya sabar. Ia masih mau berteman baik denganku meskipun aku sudah memaki-makinya. Mungkin inilah yang dinamakan sahabat sejati.
Sekarang apa yang dikhawatirkan Bella dulu, terbukti sudah. Orang yang sangat aku sayang telah berkhianat di belakangku.
"Sebenarnya aku sudah lama mengetahui hal ini. Tapi aku tidak mau mengatakannya. Pasti endingnya kamu enggak akan percaya padaku. Menuduhku mengada-ada. Ya udah, aku biarin aja hingga kamu sendiri kebenarannya."
Itu benar, aku memang tidak percaya ucapan Bella. Aku selalu menuduhnya mengada-ada. Sekarang semua sudah terbukti. Coba saja aku percaya pada Bella, mungkin aku masih bisa mencegah Mas Fahri.
"Maafin aku, Bella. Aku terlalu sayang sama Mas Fahri hingga aku tidak ingin mendengar satu keburukan pun tentangnya. Sekarang barulah aku sadar jika ternyata dia punya wanita lain di luar sana."
"Iya, enggak apa-apa. Santai aja, aku ini 'kan teman kamu. Kamu tenang saja, Zahra. Aku siap bantu kamu." Bella meyakinkanku. Membuat hatiku sedikit lega.
***
Mas Fahri telah kembali ke rumah. Lelakiku itu hanya mampir sebentar untuk mengambil pakaiannya saja, lalu pergi lagi setelah taksi online yang dipesannya datang menjemput.
"Kenapa Mas naik taksi online? Tumben enggak bawa mobil?" tanyaku ingin tahu.
"Lebih baik naik taksi online saja, Zahra. Mobilnya biar di rumah saja. Di rumah temannya Mas enggak ada garasi. Kasihan mobilnya di sana kehujanan dan kepanasan."
"Kenapa enggak minta aku anter, Mas?" Aku kembali bertanya.
"Enggak usah. Kan ada taksi online. Mas enggak mau repotin kamu. Yasudah, Mas berangkat ya, baik-baik di rumah.
"Iya, Mas, hati-hati di jalan."
Beberapa hari yang lalu, Mas Fahri membawa mobilnya saat mau ke luar kota. Padahal jauh, ke Kalimantan. Katanya mobil dititipkan sama rekan kerjanya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari bandara. Sekarang tumben enggak bawa mobil? Padahal tujuannya sama. Ini semakin mencurigakan!
Bella sudah siap di posisinya. Tinggal menunggu arahanku saja.
Begitu mobil yang ditumpangi Mas Fahri meninggalkan pelataran rumah, aku segera menghampiri Bella yang sudah menunggu di dalam mobilnya di luar pagar.
"Ayo, Bella, jalan sekarang."
"Oke, Zahra."
Bella mengambil jarak yang tidak terlalu dekat agar tidak ketahuan oleh Mas Fahri.
"Jangan sampai kehilangan jejak ya, Bel."
"Kamu tenang saja, Zahra. Kamu tinggal duduk manis saja. Santai."
Bisa-bisanya Bella berkata seperti itu. Santai katanya? Mana bisa santai dalam situasi seperti ini.
Sudah hampir dua puluh menit kami mengikuti taksi yang ditumpangi Mas Fahri, namun tidak ada kejanggalan sama sekali.
Bella terus saja mengikuti taksi tersebut sambil mendengarkan musik favoritnya. Hingga akhirnya taksi tersebut berbelok dan berhenti di depan rumah petak dengan banyak pintu.
"Zahra, kenapa suamimu berbelok ke situ? Bukankah suamimu mau ke bandara?" tanya Bella.
Iya juga. Ngapain Mas Fahri ke sana?
"Gimana? Tetap diikuti atau kita putar balik saja, Zahra?"
"Kenapa harus putar balik?
Kepalang basah mandi sekalian saja!"
"Aku takut kamu enggak akan kuat menerima kenyataan, Beb. Instingku mengatakan kalau suamimu akan menemui wanita selingkuhannya di rumah itu. Bukan ingin tugas ke luar kota, Zahra. Sepertinya wanita selingkuhannya itu merupakan salah satu dari penghuni rumah petak ini."
Ya, aku sependapat dengan Bella.
Taksi berhenti di depan rumah petak paling ujung. Kemudian Mas Fahri turun dari dalamnya sambil membawa tas yang sudah aku isi dengan pakaiannya.
Tiba di depan pintu, Mas Fahri langsung mengetuk pintu rumah tersebut.
"Zahra, kuatkan mental ya. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi."
Aku hanya mengangguk. Rasanya mulut ini tidak bisa lagi berkata-kata.
Pintu rumah terbuka. Keluarlah seorang wanita dari rumah tersebut. Wanita itu adalah orang yang bersama Mas Fahri di restoran tempo hari.
Wanita tersebut langsung memeluk Mas Fahri, lalu Mas Fahri mendaratkan ciuman di kening wanita itu. Setelah itu mereka pun masuk dan pintu ditutup.
Aku langsung menutup mulut. Tidak percaya dengan apa yang aku saksikan.
Sakit, perih, hancur, kecewa dan terluka. Semuanya berpadu menjadi satu.
"Zahra, aku bilang juga apa? Lebih baik kita pulang. Aku enggak tega ngeliat kamu nangis, Zahra." Bella mengusap punggungku, berusaha menenangkanku.
"Kamu enggak usah khawatir, Bel, aku kuat kok."
Air mata yang sudah telanjur keluar, langsung kuseka dengan punggung tangan. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi pengkhianatan yang telah dilakukan Mas Fahri.
"Yakin?"
"Iya. Sekarang aku mau masuk ke dalam. Akan ku akhiri semua ini."
"Zahra, tunggu!"
Aku tidak menghiraukan Bella. Aku terus berjalan hingga akhirnya tiba di depan pintu.
Bersambung