Mulai Berubah
Bagian 1
"Dek, tolong siapin koper Mas, ya! Nanti siang Mas mau ke luar kota. Mas diutus lagi oleh atasan untuk menangani proyek di Kalimantan," ucap Mas Fahri di seberang telepon.
"Baik, Mas. Memangnya Mas mau berangkat jam berapa? tanyaku dengan perasaan yang tidak karuan.
Ya, rasanya aku belum rela untuk melepas kepergian Mas Fahri. Pasalnya baru dua hari yang lalu suamiku pulang dari luar kota, sekarang sudah mau berangkat lagi.
"Biasa, agak siangan. Paling lama tiga hari. Udah dulu, ya, Mas sibuk, nih!" Sambungan telepon diputus secara sepihak, bahkan Mas Fahri belum sempat mengucap salam.
Sesibuk itu, kah? Sampai-sampai mengucap salam saja tidak sempat?
Aku hanya bisa mengelus d**a, berharap Allah memberikan kesabaran yang lebih padaku.
Enggak apa-apalah, Mas Fahri melakukan semua ini demi aku, demi masa depan kami, jadi aku harus ikhlas. Seharusnya aku mendoakan suamiku, bukan malah meratapi keadaan yang akhirnya ditinggal sendiri lagi untuk beberapa hari ke depan. Aku percaya, tidak akan selamanya seperti ini. Akan ada masanya aku dan Mas Fahri bisa bersama-sama lagi. Lagian cuma tiga hari kok', kenapa aku jadi lebay begini ya?
Selang tiga puluh menit, Mas Fahri pun kembali ke rumah. Koper yang berisi baju-baju dan perlengkapan yang dibutuhkannya untuk beberapa hari ke depan sudah aku siapkan.
"Dek, Mas pamit, ya! Baik-baik di rumah, doakan Mas agar dimudahkan dalam segala urusan. Mas jalan sekarang, ya!"
Mas Fahri mendekapku ke dalam pelukannya. Entah kenapa, rasanya aku tidak tega untuk melepasnya. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang akan terjadi.
"Dek Zahra sayang, lepasin Mas, dong! Udahan dong pelukannya. Mas malu tuh dilihat sama Ibu. Nanti kita kangen-kangenan lagi saat Mas sudah pulang, ya!" Mas Fahri melepas tanganku yang melingkar di pinggangnya, tapi aku semakin mengeratkan pelukanku.
"Sayang, kamu kenapa? Nanti Mas telat loh sampai ke bandara."
Tampaknya Mas Fahri mulai kesal.
"Maaf, Mas. Aku hanya ingin memeluk tubuhmu, merasakan bau parfum yang kamu pakai. Jika aku kangen, agar aku menciumi parfum kamu yang ada di kamar dan membayangkan wajahmu, Mas."
Tak terasa, bulir bening mengalir begitu saja dari sudut netra. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku bisa menangis seperti ini. Entah firasat apa yang kurasakan.
"Kok' kamu hari ini aneh bangat, sih, Dek? Gak seperti biasanya! Mas cuma mau berangkat kerja, cari nafkah buat kamu, bukan mau ke liang lahat, Zahra!"
"Astaghfirullah, Mas! Apa ada yang salah dengan perkataanku?"
Jujur saja, aku kecewa pada Mas Fahri. Aku hanya ingin menghirup aroma tubuhnya sebelum ia pergi. Wajar, karena aku masih merindukannya, masih ingin bersamanya.
"Sudah, sudah! Lebih baik Mas berangkat sekarang saja, takut telat. Assalamualaikum."
Mas Fahri mengulurkan tangannya, lalu aku mencium punggung tangannya dengan takzim sambil berdoa di dalam hati, semoga suamiku segera kembali dalam keadaan sehat wal afiat. Amin.
***
"Zahra, makan dulu, yuk! Ibu perhatikan dari tadi siang kamu belum makan, loh," ucap ibu mertuaku.
"Nanti saja, Bu, Zahra belum lapar," jawabku sopan.
"Ini yang Ibu tak suka darimu, Nak. Kamu selalu menunda-nunda waktu makan. Ayo, Ibu sudah nyiapin makan malam buat kita."
"Maaf, Bu, Ibu duluan saja, Zahra belum berselera untuk makan, Bu."
"Kamu mikirin Fahri?"
Sepertinya ibu mertua tahu apa yang sedang aku pikirkan.
"Iya, Bu!"
"Kamu tidak usah terlalu memikirkan Fahri, Zahra. Tugasmu sebagai seorang istri adalah mendoakan suamimu. Sekarang Ibu tidak mau dengar alasan apapun. Ayo ikut Ibu, kita makan malam."
Aku pun mengangguk, tidak mungkin aku menolah perintah dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Lagi pula, aku sangat menghormatinya, jadi aku tidak mau membuat beliau kecewa.
"Nak Zahra, bulan ini kamu sudah periksa ke dokter, belum?"
Pertanyaan ibu mertua tersebut berhasil membuat selera makanku hilang. Bagaimana tidak, Ibu bertanya disaat yang tidak tepat.
Aku meletakkan sendok di atas piring, kemudian meneguk air mineral hingga tandas.
"Zahra, kamu belum jawab pertanyaan Ibu, Nak! Apa sudah ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau kamu sudah hamil?" Ibu mertua kembali mengulangi pertanyaannya.
Aku menggeleng, rasanya tidak sanggup untuk menjawabnya.
"Padahal Ibu sudah berharap kamu hamil loh, Zahra. Ibu udah pengen gendong cucu."
Andai Ibu tahu, aku juga sangat merindukan kehadiran seorang anak. Namun aku selalu memendamnya sendiri. Empat tahun aku menantikan kehadiran buah hati, nyatanya Allah belum mempercayaiku untuk merawat titipannya.
"Jangan putus asa, ya! Ibu yakin kamu pasti bisa hamil. Besok kamu periksa lagi ke dokter, ya! Minta obat penyubur kandungan agar kamu segera hamil."
"Baik, Bu!"
"Yasudah, Ibu sudah selesai nih, makannya. Ibu ke kamar duluan, ya! Kamu makan nih sayurannya. Makan yang banyak biar kamu segera ngisi."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ibu pun kembali ke kamarnya.
Aku tahu, Ibu ingin sekali menimang cucu. Tetapi apalah dayaku, aku belum bisa memenuhi keinginannya. Semoga doa-doaku segera dikabulkan, aku ingin membahagiakan ibu mertua di sisa umurnya.
Setelah selesai menyantap makan malam, aku segera kembali ke kamar. Aku akan menghubungi Mas Fahri, ingin tahu bagaimana kabarnya.
Satu kali, dua kali, hingga ke tiga kalinya aku menelpon nomornya, tetapi tidak kunjung diangkat. Ada apa ini? Tidak biasanya Mas Fahri mengabaikan teleponku.
Aku masih berusaha berpikir positif. Kucoba menghubunginya lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Bahkan pesanku juga tidak dibalas.
Kenapa kamu tidak ngangkat teleponku? Kamu di mana, Mas?
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku berharap Mas Fahri yang menelepon, nyatanya bukan. Rupanya sahabatku Bella yang menelepon. Meskipun tak bersemangat, akhirnya kuangkat juga telepon dari Bella.
"Halo, assalamualaikum," sapaku terlebih dahulu.
"Waalaikumsalam, Zahra."
"Kenapa, Bel?"
"Ini, anu, gimana, ya? Aku enggak enak ngomongnya." Bella terdengar berbelit-belit, entah apa yang hendak dikatakannya.
"Ya ampun, Bella, katakan saja!" desakku mulai tidak sabar.
"Maaf, sebelumnya aku mau nanya dulu. Suamimu, Mas Fahri ada di rumah, enggak?"
Tumben Bella bertanya soal Mas Fahri? Ada apa ya? Kenapa perasaanku menjadi enggak tentang gini, ya?
"Kenapa kamu nanyain suami aku, Bel? Sekarang Mas Fahri sedang keluar kota, Bel."
"Masa, sih? Kamu yakin?"
"Yakin! Memang kenapa?"
"Ini loh, Bel, tapi maaf ya sebelumnya. Aku gak bermaksud apa-apa. Tadi aku lihat suami kamu lagi dinner di restoran sama wanita lain."
Jantungku berdetak lebih cepat saat mendengar ucapan Bella.
"Mungkin kamu salah lihat, Bel." Aku membantah ucapan Bella.
"Enggak, Zahra. Mataku masih normal. Dan aku yakin yang kulihat tadi itu Mas Fahri suami kamu," tegasnya lagi.
"Mas Fahri itu sedang ada di Kalimantan, Bella!" Aku mencoba meyakinkan Bella.
"Aku gak salah lihat, kok."
"Apa kamu punya buktinya?"
"Nah, itu dia. Tadi hp aku ketinggalan, ini baru nyampe rumah."
"Maaf, Bella. Aku enggak bisa percaya kalau enggak ada buktinya. Bisa saja kamu cuma salah lihat."
"Yasudah, enggak apa-apa kalau kamu enggak percaya. Hanya satu pesan aku, hati-hati aja. Sepertinya suamimu punya wanita lain. Udah dulu, ya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Meskipun aku menyangkal, tapi hatiku seolah membenarkan ucapan Bella. Apa mungkin Mas Fahri memiliki wanita lain di luar sana?
Tidak! Mas Fahri sangat menyayangiku, ia tidak mungkin mengkhianatiku.
Bersambung