Bagian 10
"Zahra, aku tidak habis pikir sama kamu. Kenapa kamu masih mau maafin Mas Fahri, sih? Jika aku jadi kamu, udah kubuat babak belur tuh orang. Habis itu aku lempar ke laut biar dimakan buaya sekalian," gerutu Bella sambil memukul stir mobil.
"Kesel aku, sumpah!" ucapnya lagi.
"Kamu kok' lemah bangat sih, Zahra? Aku tuh paling enggak tahan digituin, Zahra. Rasanya pingin tak hajar tuh si wanita pelakor. Harusnya kamu lawan dong, Zahra. Bila perlu usir aja suamimu si pengkhianat itu. Enak banget dia. Udah tinggal gratis di rumahmu, eh malah berani-beraninya selingkuh. Apa perlu aku yang harus turun tangan?" Bella terlihat menahan emosi saat mengucapkan kata-kata itu.
"Aku enggak bisa ngelakuin itu, Bella. Aku enggak mungkin bisa pisah dengan Mas Fahri."
Sebenarnya aku juga kesal, marah dan sakit hati. Namun aku tidak punya pilihan. Mungkin jika wanita lain yang berada di posisiku, pasti wanita tersebut sudah menggugat Mas Fahri. Namun tidak dengan. Aku yakin, suamiku hanya khilaf. Ia hanya tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Aku yakin Mas Fahri akan menemukan jalan pulang dan kembali ke pelukanku.
"Come on, Zahra. Apalagi yang kamu harap dari lelaki seperti itu? Kamu lemah! Mau-mau aja disakitin. Aku kecewa sama kamu!"
Bella kembali memukul stir mobil lalu tiba-tiba menginjak rem sehingga membuatku terkejut.
"Alhamdulillah. Selamat … selamat. Untung saja aku tidak menabrak anak kecil itu." Bella terdengar mengembuskan napas kasar, mungkin ia merasa lega karena berhasil menginjak rem sebelum mobilnya menabrak tubuh anak kecil yang sedang menyebrang itu.
Alhamdulillah, Allah masih melindungi kami. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika anak kecil itu sampai tertabrak. Masalah yang satu saja belum selesai. Rasanya aku tidak sanggup jika ada masalah baru lagi.
"Kamu sih, nyetirnya pake emosi. Ya begitulah jadinya," protesku, kesal padanya.
"Maaf banget ya, Zahra. Oh ya, kamu enggak kenapa-kenapa, kan? Aku khawatir terjadi sesuatu dengan kandungan kamu, Zahra. Apa perlu kita cek ke dokter?"
"Enggak perlu. Antar aku pulang saja. Aku butuh istirahat, Bella."
"Oke, sekali lagi maafin aku ya!"
Bella kembali melajukan mobilnya. Kali ini ia terlihat lebih hati-hati dalam berkendara.
***
Setelah memarkirkan mobil, Bella segera membukakan pintu mobil dan membantu aku untuk turun.
Entah kenapa, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Makanya Bella membantuku karena ia takut aku terjatuh jika dibiarkan jalan sendiri.
Ibu mertua ternyata sudah menunggu di depan pintu. Beliau tampak khawatir. Apalagi setelah melihat kondisiku.
"Kalian dari mana saja, sih? Kenapa baru pulang sekarang? Telepon Ibu juga enggak diangkat. Ibu itu khawatir sekali sama kalian." Ibu langsung mencecar kami dengan berbagai pertanyaan.
Aku tahu bahwa tadi Ibu menelpon berulang kali. Sengaja tidak kuangkat karena tidak mau menambah beban pikirannya.
"Nih, minum dulu." Ibu kemudian memberikan segelas air putih untukku.
"Sekarang jelaskan pada Ibu, dari mana saja kalian? Itu juga, kenapa mata kamu sembab begitu? Habis nangis? Kenapa? Ada masalah?"
"Maaf nih, Tante. Kalau boleh aku kasih saran, sebaiknya Zahra dibawa ke kamar dulu. Nanya-nanyanya nanti aja. Zahra butuh istirahat, Tante. Suasana hatinya sangat kacau saat ini. Zahra butuh support dari kita biar dia bisa kuat."
Dahi Ibu terlihat mengernyit mendengar ucapan Bella. Sepertinya beliau tidak paham dengan apa yang diucapkan Bella.
"Tante, aku akan jelasin nanti. Sebaiknya kita bawa Zahra ke kamar dulu. Ayo, Zahra, sini aku bantu."
Ibu dan Bella mengantarku ke kamar. Membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, kemudian menyelimuti tubuhku.
Ibu mertua terlihat begitu khawatir akan kondisi menantunya ini. Beliau mengelus kepalaku, lalu menggenggam tanganku.
"Ibu tahu kalau kamu sedang tidak baik-baik saja, Nak. Batin seorang Ibu tidak bisa dibohongi biarpun kamu selalu berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Ibu bisa merasakan apa yang kamu rasakan meskipun kamu tidak mau cerita ke Ibu, Nak."
Air mata dari wanita yang sangat kuhormati itu pun luruh. Membuat hati ini semakin pilu. Ibu mertua serta bayi yang ada di kandunganku ini adalah alasan mengapa aku masih bisa bertahan dan memaafkan penghianatan Mas Fahri. Tidak bisa kubayangkan jika aku sampai berpisah dari Mas Fahri. Pasti Ibu akan sangat sedih. Bisa-bisa sakitnya akan kambuh dan aku tidak mau hal itu terjadi.
Aku juga mengkhawatirkan kondisi Ibu jika seandainya nanti aku berpisah dari Mas Fahri. Aku tidak yakin jika gundiknya Mas Fahri itu akan mau merawat Ibu. Menyayangi ibu seperti aku menyayanginya. Aku tidak yakin jika wanita itu tulus. Pasti ia hanya mengincar uangnya Mas Fahri saja.
"Bu, Zahra baik-baik saja. Ibu enggak usah khawatir, ya."
Aku sengaja berbohong karena tidak mau Ibu ikut sedih.
"Kamu enggak perlu membohongi Ibu. Ibu tahu kamu melakukan itu karena takut sakit Ibu kambuh, kan? Kamu tidak perlu melakukan itu. Bicaralah, keluarkan semua yang kamu pendam di dalam hatimu, Nak. Kamu tidak sendiri, ada Ibu di sini."
Aku langsung memeluk Ibu. Kami berdua berpelukan sambil menangis. Bella juga ikut memeluk kami. Sahabat sejatiku itu juga ikut menangis.
"Udah ah, kok aku jadi ikutan mewek gini? Sekarang lebih baik kamu ceritakan semuanya kepada Tante, Zahra! Tante juga berhak tahu." Bella memberi saran.
Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada Ibu. Sebenarnya aku tidak tega, namun aku juga tidak bisa menyembunyikan hal ini terus-menerus.
Ibu hanya diam saat mendengar penjelasanku. Hanya air mata yang terus menetes dari sudut netranya yang sudah keriput.
Aku tahu, Ibu pasti shock dan tidak percaya dengan kelakuan anaknya. Namun inilah kenyataannya. Kenyataan pahit yang harus kami terima.
"Teganya kamu membohongi istri dan ibumu sendiri, Fahri. Kamu bilang ingin keluar kota. Ternyata kamu sengaja berbohong agar bisa bertemu dengan wanita itu. Kamu jahat, Fahri. Ibu enggak nyangka kamu begitu tega." Tangisan Ibu semakin kencang. Ini yang aku khawatirkan jika Ibu sudah mengetahui semuanya.
"Tante, sudahlah, jangan nangis lagi. Nanti sakit Tante kambuh, loh." Bella berusaha menenangkan Ibu.
"Maafin Ibu ya, Zahra. Ibu telah gagal menjadi seorang ibu. Ibu tidak bisa mendidik Fahri."
"Ibu tidak perlu minta maaf. Ini semua bukan salah Ibu."
"Nanti Ibu akan bicara dengan Fahri. Semoga saja Fahri mau mendengar Ibu. Ibu minta sama kamu, tolong bertahan ya, Nak. Ibu akan memintanya untuk meninggalkan wanita itu. Kamu tidak usah khawatir. Sekarang kamu istirahat, ya. Bella, tolong kamu temani Zahra. Tante mau istirahat dulu. Kepala Tante mendadak pusing."
"Tante enggak kenapa-kenapa, kan? Apa perlu aku antar ke dokter?" tawar Bella.
"Enggak usah, Bella. Tante hanya butuh istirahat. Zahra, ibu tinggal dulu, ya."
***
Tengah malam, aku terjaga saat mendengar bunyi ketukan di pintu. Kulihat Bella sudah terlelap di sampingku.
Aku berusaha beranjak dari atas tempat tidur meskipun kepala masih terasa pusing. Gegas aku menuju pintu utama untuk membukakan pintu. Aku sangat yakin jika Mas Fahri lah yang datang. Ia pasti telah memutuskan kembali padaku dan meninggalkan gundiknya itu.
Bunyi ketukan di pintu semakin kuat. Sepertinya Mas Fahri sudah tidak sabar untuk masuk.
"Siapa?"
Aku bertanya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membuka pintu. Apalagi sekarang lagi maraknya pencurian di komplek ini. Aku tidak mau menjadi korban. Untuk itu aku harus benar-benar memastikan.
"Ini aku, Mas Fahri."
Tidak salah lagi. Ternyata dugaanku benar. Suamiku telah kembali. Aku siap memaafkannya dan siap untuk melupakan apa yang pernah ia lakukan.
Dengan mengucapkan bismillah, aku memutar anak kunci dan pintu pun terbuka.
Alangkah terkejutnya diri ini saat menyaksikan pemandangan di depan mata. Ternyata Mas Fahri tidak sendirian. Ia pulang dengan membawa serta wanita itu. Bahkan mereka berdua tak segan bergandeng tangan di depanku.
"Sayang, ayo masuk," ajak Mas Fahri.
Mereka berdua berjalan masuk melewati aku yang masih berdiri di depan pintu.
"Mas, tangan dan kaki aku gatal semua, nih! Istri kamu sih, lama banget buka pintunya. Lihat nih, kulit aku yang putih mulus jadi santapan nyamuk jadinya."
Wanita itu kemudian menghempaskan bobotnya di atas sofa, mengangkat kakinya ke atas meja dan menyuruh Mas Fahri untuk menggaruk kakinya. Benar-benar enggak ada akhlak!
"Maria, nanti saja, ya. Mas mau bicara dulu dengan Zahra."
"Ih, kok kamu gitu, sih? Kan gatel, Mas. Aku enggak tahan, Mas." Wanita itu berucap dengan gayanya yang sok manja itu.
Aku tahu, Maria pasti sengaja karena ia ingin memanas-manasiku. Caranya bener-bener kampungan!
"Kenapa kamu ngajak dia ke mari sih, Mas? Apa maksudnya?" Aku langsung bertanya karena sudah tidak sabar. Aku benar-benar tidak nyaman dan tidak rela jika wanita itu berada di rumahku.
"Zahra, sini duduk dulu, biar Mas jelasin." Mas Fahri meraih tanganku, namun untuk kesekian kalinya aku menepis tangannya.
"Zahra, mulai sekarang Maria akan tinggal di sini, di rumah ini, bersama kita. Mas minta kamu terima dia sebagai adik madumu. Jadikan dia sahabatmu. Maria sedang hamil dan tidak lama lagi akan melahirkan. Dia akan melahirkan keturunan untuk Mas dan kita akan merawat anak itu bersama-sama. Nantinya anak yang dilahirkan Maria akan memiliki dua orang ibu yang sangat menyayanginya. Kamu dan Maria. Mas harap kalian bisa rukun." Mas Fahri berucap dengan santai tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Benar-benar tega!
"Tidak!" Aku berteriak dengan keras. Menolak mentah-mentah. Aku tidak sudi dimadu.
"Zahra, kamu tidak perlu berteriak. Berisik tau! Harusnya kamu bersyukur karena aku mau berbagi suami denganmu. Tadinya Mas Fahri ingin menceraikanmu dan memilihku. Tapi karena aku masih punya hati nurani, aku tidak tega."
"Diam kamu, pelakor! Sampai kapanpun, aku tidak sudi dimadu. Kamu dengar, Mas. Aku tidak sudi dimadu," ucapku dengan tegas sambil menahan gemuruh di d**a yang kian bergejolak.
"Zahra, kamu jangan egois, dong! Mas sudah lama menunggu hadirnya seorang bayi dari rahim kamu. Sampai sekarang kamu belum bisa mengabulkan keinginan Mas. Mas semakin tua, Zahra, Mas butuh anak sebagai pewaris keturunan. Sekarang Maria sudah mengabulkan keinginan Mas. Jadi kamu tidak boleh egois. Terima Maria dan kita akan membesarkan anak itu bersama-sama. Mas janji akan berlaku adil." Mas Fahri terus memaksa.
Kamu ingin anak dariku? Keinginanmu sudah terkabul, Mas. Aku sedang mengandung anak kita.
Sayangnya kata-kata itu tidak mampu untuk kuucapkan. Tercekat di tenggorokan.
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak sudi menerima wanita ini. Tidak!" Aku kembali berteriak sambil menangis histeris.
"Ada apa ini?" Tiba-tiba ibu mertua dan juga Bella muncul secara bersamaan. Mungkin mereka terkejut mendengar teriakanku.
"Zahra, kamu baik-baik saja? Mereka enggak ngapa-ngapain kamu, kan?" Bella mendekat, lalu memelukku.
"Fahri, kamu benar-benar keterlaluan! Berani-beraninya kamu mengajak w************n itu ke sini," bentak Ibu dan langsung manampar wajah Mas Fahri.
Mas Fahri meraih tangan ibunya, lalu meminta maaf. Namun Ibu tidak mau menerima maafnya.
"Bu, harusnya Ibu dukung Fahri. Bagaimanapun juga, aku sudah menikah dengan Maria, Bu, dan sekarang Maria sedang mengandung anak aku, calon cucu Ibu." Mas Fahri berusaha merayu Ibu.
"Kamu pikir Ibu akan bangga, hah? Kamu pikir Ibu akan mau menerima wanita itu dengan senang hati? Tidak, Fahri. Bagi Ibu, menantu di rumah ini hanya satu. Yaitu Zahra. Untuk sekarang dan untuk selamanya."
"Bu, jangan egois, dong! Apa yang Ibu harapkan dari wanita mandul ini?" sahut Maria sambil mengarahkan jari telunjuk ke wajahku.
"Harusnya Ibu tidak perlu berucap seperti itu. Karena bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, aku sudah menikah dengan anakmu dan sudah menjadi menantumu."
"Diam, kamu," bentak Ibu. "Dasar wanita tidak tahu diri. Kamu sungguh tidak pantas menjadi menantuku. Benar-benar tidak punya akhlak dan sopan santun."
"Sudahlah, Bu. Kami sudah menikah, jadi tolong terima Maria, ya. Aku yakin Maria akan menjadi menantu yang baik, Bu."
"Kamu akan menyesal akan keputusanmu ini, Fahri. Kamu ingin anak, kan? Jika istrimu bisa memberinya kenapa harus mencari wanita lain? Kamu tahu, Zahra sekarang sedang--"
Ibu menjeda kalimatnya saat melihatku menggelengkan kepala. Ya, aku tidak mau Mas Fahri mengetahui kehamilanku karena aku sudah memutuskan akan merawat anak ini sendiri.
Detik ini juga aku akan meminta cerai dan mengusir kedua pengkhianat itu dari rumah ini. Rumah ini adalah rumahku, mereka tidak berhak tinggal di sini.
Bersambung