4- Kebahagiaan Singkat

803 Words
"Astagfirullah!" Darwin melonjak terkejut saat berbalik dan mendapati istrinya. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" "Baru," jawab Lisna sambil menyodorkan cangkir berisi minuman hangat pada suaminya. "Makasih, Sayang," ucap Darwin seraya menerima minum lalu duduk di kursi yang ada di halaman belakang rumah mereka. "Anak-anak udah tidur?" "Udah," jawab Lisna sambil mendaratkan diri di samping sang suami. "Gak usah Mas pikirin soal papa dan permintaannya yang suka di luar nalar. Dulu juga waktu kita mau pindah, papa gak bolehin kita bawa Damar tapi akhirnya dibolehin juga kan?" ujarnya, menenangkan sang suami. Darwin menerawang jauh, mengingat masa lalu lalu menyeruput teh hangat buatan sang istri. "Tapi dulu ada mama, Sayang. Mama yang selalu bisa ngendaliin papa. Dan sekarang ...." Ia tidak sanggup melanjutkan bicara saat mengingat tentang ibunya. Lisna mengusap bahu suaminya. "Semua akan baik-baik saja. Apa pun yang terjadi, itu adalah takdir terbaik yang harus kita terima." "Aku ngerasa sekarang papa itu jadi kayak hilang arah. Sebesar itu pengaruh mama buat papa," komentar Darwin. "Mungkin dulu papa punya teman bertukar pikiran tapi sekarang enggak.'' "Iya. Kamu benar, Sayang. Itu mungkin aja," Darwin mengangguk setuju. "Apa kita carikan papa istri baru? Siapa tau kalau punya istri lagi papa gak tantrum terus," usulnya, asal. "Udah, ah. Jangan ngaco. Yang ada nanti papa malah tambah tantrum. Mana mau papa nikah lagi. Tapi boleh dicoba sih kalau papa mau," sahut Lisna berubah pikiran. Darwin terkekeh sambil mencubit gemas hidung sang istri. "Kamu ini Cepat banget berubah pikirannya. Cuma hitungan detik, pikiran kamu jadi sebaliknya." Wanita berusia dua puluh enam tahun itu tertawa. Darwin tersenyum getir sambil menatap wajah cantik sang istri yang mampu membuatnya sejenak melupakan hal yang membebani pikiran. Dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, membuatnya benar-benar frustrasi. Ia tidak sanggup jika harus melepaskan Lisna dan merubah status wanita itu menjadi jandanya. Tetapi di sini lain ia pun tahu keputusan sang istri yang menolak menjadi istri pertama tidak akan bisa ia ganggu gugat. Dan ia pun tidak mungkin mengkhianati Lisna dengan menikah diam-diam dan menjadikannya istri pertama tanpa sepengetahuan Lisna sendiri. Sungguh dilema. Dibalik tawa, Lisna pun menyimpan kegelisahan. Padahal baru dua tahun terakhir ia bisa merasakan kebahagiaan seutuhnya tanpa ada drama berbagi suami ataupun drama ayah mertua. Ya. Baru dua tahun terhitung sejak keluarga kecilnya pindah rumah setelah kepergian Dita. Saat ini Lisna hanya berharap rumah tangganya tidak karam saat badai datang menerpa. "Aku bersyukur benget punya istri seperti kamu. Yang sabarnya gak ada lawan. Papa yang nyebelin aja, masih kamu senyumin,'' komentar Darwin. "Aku kan udah gak punya orang tua, Mas. Mama dan Papa udah seperti orang tua sendiri buat aku. Ya biarpun papa kayak gitu. Tapi gak apa-apa lah. Anak harus ngalah sama orang tua," sahut Lisna sembari terkekeh. Darwin memeluk tubuh sang istri. "Makasih, Sayang. Kamu udah jadi istri yang sabar dan pengertian. Aku akan berusaha sebisaku agar kita tetap bersama. Aku maunya kamu yang terakhir buat aku," ujarnya sambil mengecup kepala istri. Lisna hanya tersenyum dalam pelukan suami. Ia pun berharap suaminya saat ini adalah pria pertama dan terakhir dalam hidupnya. Menghabiskan waktu bersama hingga maut memisahkan. "Ayo masuk. Angin malam gak bagus buat badan kita," ajak Darwin sembari mengurai pelukan dan menuntun tangan sang istri meningkatkan halaman belakang rumah. *** "Ibu!" Damar keluar dari kamar sambil mengucek mata. "Anak ibu udah bangun. Cuci muka dulu," ujar Lisna yang sedang berada di dapur. Damar menurut, mencuci muka di wastafel kamar mandi dengan menaiki kursi kecil. Setelah itu ia mengeringkan wajah lalu menghampiri sang ibu. "Udah selesai, Ibu. Damar udah cuci muka." "Pintarnya anak ibu," puji Lisna kemudian mengecup kepala putranya. "Ade-nya gak dibangunin?" "Udah, Ibu. Tapi Ade gak mau bangun. Kakak males bangunin Ade lagi." Bibir Damar mengerucut. Lisna terkekeh mendengar celotehan sang anak. "Eh, anak papa udah bangun. Coba lihat ada siapa di depan," ujar Darwin yang baru kembali setelah membuka pintu sesaat setelah bel rumah berbunyi. "Gak tau, Papa. Kakak kan baru bangun," sahut Damar. "Ya udah. Kakak lihat sendiri gih!" Damar pun berlari ke ruang tamu. "Kakek!" Iswara tersenyum. "Lihat, kakek bawa apa buat Damar." Pria paruh baya itu memberikan sebuah kotak. "Ini apa, Kek?" tanya Damar sambil membuka kotak tersebut. "Sini, kakek bantu bukain." "Waaah ... pesawat besar. Ini buat kakak, Kek?" tanya Damar dengan wajah berbinar. "Iya dong. Ini untuk cucu kesayangan kakek," angguk Iswara. Tepat saat itu Lisna muncul dengan membaw nampan berisi minuman. "Silakan diminum, Pa," ujarnya dengan sopan meskipun tidak dianggap. "Mainan untuk ade mana, Kek?" tanya Aga yang baru bangun tidur dan langsung pergi ke ruang tamu saat tahu kakaknya ada di sana. "Gimana? Bagus kan? Damar suka?" tanya Iswara, mengabaikan cucunya yang lain. Lisna kemudian mendekati putranya lalu mengangkat tubuh mungil anak berusia empat tahun itu. "Ayo, ade ikut ibu aja." Ia bisa tahan saat ayah mertua tidak menganggapnya ada. Tetapi rasanya sakit hati melihat perlakuan pria itu pada anak kandungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD