3- Bukan Menantu yang Diinginkan

996 Words
Masih dua tahun yang lalu. "Ibu ...!'' teriak Damar sambil mengulurkan tangan saat sang kakek membawanya masuk. "Papa ... jangan kayak gitu, dong. Kasian Damar. Dia baru aja kehilangan mamanya. Masa mau Papa jauhkan juga dari ibunya." Darwin segera menyusul sang ayah yang sudah kembali berulah. Lisna lagi-lagi hanya bisa membuang napas berat. Tetapi kemudian tersenyum saat melihat putranya. "Ayo! Ade makan dulu. Ibu suapin," ujarnya sambil mengangkat tubuh mungil Argawira yang masih berusia dua tahun. "Gak mau! Kakak mau sama ibu! Kakak gak mau sama Kakek! Kakek nakal!" Damar memberontak dari gendongan sang kakek. Karena tidak kuat menahan tenaga cucu yang terus meronta, Akhirnya Iswara melepaskan anak laki-laki itu dari cengkeramannya. "Ibu ...!" Damar berlari menuju ibu yang baru saja tiba di ruangan itu dan memeluk kakinya. "Kakak mau sama Ibu," rengeknya. Iswara menatap tidak suka pada sang menantu. "Kamu pasti ngajarin cucuku gak bener. Makanya dia sekarang jadi pembangkang," tudingnya dengan kesal. "Pa! Papa kenapa sih selalu nyalahin Lisna terus? Itu bukan salah Lisna, Pa. Kalau cara papa kayak gitu, ya wajar kalau Damar gak mau dekat-dekat sama papa." Darwin tentu saja membela istrinya. Iswara semakin kesal. Ditatapnya tajam anak lelakinya. "Kamu dan anak kamu sama saja. Sudah dicuci otaknya sama perempuan itu," sindirnya dengan ketus. "Papa—" "Mas," potong Lisna, "tolong jagain anak-anak. Aku mau masak dulu lauk buat mereka. Kasian mereka pasti lapar. Kita semua dari tadi pada sibuk." Ia tidak ingin suaminya terus berdebat dengan ayah mertua. Sekuat apa pun seseorang membelanya, tetap saja ia yang bersalah di mata pria paruh baya itu. Hanya Dita yang mampu membuat ayah mertua selalu mengalah. Memang sebesar itu rasa sayang Iswara pada Dita. Tetapi takdir punya jalan lain yang akhirnya memisahkan mereka. "Aga sama Kakak duduk di sini sama papa dulu, ya? Ibu mau masak," ujar Lisna saat sang suami sudah duduk di kursi makan, menemani anak-anak. "Kakak mau telur, Ibu." "Ade uga au," sahut Aga yang masih belajar bicara. "Oke." Damar tertawa sambil menutup mulut dengan telapak tangan. "Ade bicaranya lucu." Darwin terkekeh. "Kan masih belajar. Dulu juga Kakak begitu waktu lagi belajar bicara." "Anak dikasih makan telur terus. Lama-lama bisulan," gerutu Iswara sambil melirik sinis pada Lisna yang sedang berada di dapur. "Mas ... udah deh. Gak usah ngomel-ngomel terus. Lagian memang anaknya yang mau. Jangan besar-besarkan masalah kecil. Apa gak bosen jadi ayah mertua yang menyebalkan? Dalam suasana berkabung kayak gini Mas masih aja cari keributan. Heran deh, udah tua tapi masih suka ngomel-ngomel. Ingat penyakit tuh. Nanti tensi darahnya malah naik lagi," omel seorang wanita paruh baya yang baru saja memasuki ruang makan. "Halo cucu-cucu nenek. Lagi pada mau makan ya?!" Ia menyapa lalu mendaratkan kecupan di puncak kepala kedua cucunya. "Nenek marahin kakek?" tanya Damar pada sang nenek yang berdiri di samping kursi yang ia duduki. "Enggak, Sayang. Nenek lagi ngasih tau kakek biar gak nakal," kilah Nuri, ibunda Darwin. "Iya, Nek. Tadi kakek nakal sama kakak," adu Damar. "Nanti nenek jewer kakeknya," sahut Nuri sambil mengacak rambut cucunya. Iswara yang sedang malas berdebat dengan sang istri, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu dengan mulut komat-kamit. Entah sedang membaca mantra atau tengah menggerutu. "Sabar, ya, Sayang. Gak usah dengerin papa kamu," ujar Nuri sambil mengusap bahu menantu yang menghampiri dengan membawa piring berisi makanan untuk cucu-cucunya. "Iya, Ma," angguk Lisna sembari mengulas senyum. Di rumah itu hanya ayah mertua yang tidak menyukai keberadaannya meski sudah tiga tahun ia menjadi istri kedua dari suaminya. *** "Pa, aku mau bicara," ujar Darwin saat ia dan yang lain baru selesai makan malam dan masih berkumpul mengelilingi meja makan. "Mau bicara apa?" tanya Iswara. "Begini, Pa. Aku mau ajak Lisna dan anak-anak pindah dari sini. Sayang juga rumahku gak ditinggali sejak lama," jawab Darwin, mengutarakan niat. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu ia menyiapkan rumah pribadi untuk anak dan istri. Tetapi belum sempat ditinggali karena sang ayah melarang. Lisna menatap sang suami, rasanya hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Sebenarnya ia ingin mengatakan hal itu setelah Dita meninggal. Tetapi ragu karena takut sang suami menolak. Senang rasanya karena pria itu bisa memahami perasaannya meski tidak ia utarakan. Hanya ingin menjaga jarak dengan ayah mertua agar ia tetap waras. "Dulu, papa larang kami pindah karena Dita. Papa bilang akan lebih baik kalau dia ada di lingkungan yang baik dan dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia. Sekarang Dita udah gak ada, Pa. Aku harap papa bisa ngerti dengan keputusanku," imbuh Darwin Iswara mengangguk-anggukkan kepala. "Apa kamu sudah yakin dengan keputusan yang kamu ambil ini?" Darwin mengangguk dengan mantap. "Yakin, Pa." Ia tidak ingin lagi melihat istrinya diperlakukan tidak seharusnya oleh sang ayah meski wanita itu tidak pernah mengeluh. "Baik, kalau itu sudah menjadi keputusan kamu. Tapi ada syaratnya." "Syarat? Apa itu, Pa?" Darwin berniat untuk memenuhi apa pun syarat yang diberikan sang ayah selama itu masih mampu ia lakukan, demi sang istri. "Tinggalkan Damar di sini! Kalian kalau mau pindah, ya silakan, pindah saja. Tapi jangan bawa Damar bersama kalian." "Memangnya Mas bisa ngurus anak usia tiga tahun yang lalu tantrum-tantrumnya kayak Damar?" komentar Nuri. Iswara menatap istrinya. "Banyak jasa pengasuh anak." "Yakin Damarnya bakal seanteng sama ibunya? Sejak bayi yang ngurus Damar itu Lisna loh. Bukan cuma ngurusin. Lisna juga yang kasih ASI. Ikatan mereka lebih kuat ketimbang pengasuh," balas Nuri lagi. "Lalu?" iswara menatap sang istri tajam. "Lalu apa? Ya aku tanya sama Mas. Mas sanggup merawat Damar yang masih balita itu dengan baik? Yakin bisa berperan sebagai ayah dan ibunya sekaligus?" Nuri bertanya balik. "Yang anak butuhkan bukan cuma materi tapi juga kasih sayang kedua orang tua. Anak punya orang tua lengkap tapi malah mau dipisahin," omelnya kemudian. Iswara Diam. "Kapan kalian rencananya mau pindah? Mama nanti masih boleh nengokin cucu-cucu mama 'kan?" tanya Nuri, menatap anak dan menantu bergantian. "Ya tentu aja boleh, Mama. Kami ini cuma pindah rumah bukan pindah planet," sahut Darwin sambil terkekeh. "Oke. Kalian ajak aja Damar sekalian. Jangan dengerin papa," ujar Nuri yang mendapatkan tatapan tajam dari suami, tetapi ia abaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD