5- Cucu yang Tak Dianggap

848 Words
"Papa kelewatan banget. Aku gak masalah kalau papa gak suka sama aku. Tapi kenapa sih papa selalu kayak gitu sama Aga? Kalau cuma beli mainan buat Damar, kenapa harus dianterin ke sini? Sengaja banget pengen dilihat Aga," kesal Lisna saat tiba di kamar sambil menggendong Aga yang masih merengek ingin mainan. Darwin mengambil alih putranya dari tangan sang istri. "Ade beli mainan sama papa nanti, ya?" ujarnya kemudian mengecup kepala sang anak. "Ade mau yang seperti Kakak, Papa," celoteh Aga. "Iya, Sayang. Nanti papa belikan." Darwin mengangguk. "Kakek gak sayang Aga, ya, Papa. Kakek sayang Kakak aja," celoteh anak kecil itu, karena ini bukan baru pertama kali sang kakek bersikap seperti itu. Lisna menitikkan air mata mendengar perkataan anaknya yang masih kecil itu. Semua adalah salahnya. Ia yang membuat Aga lahir dengan status anak dari istri kedua meski pernikahan mereka sah secara hukum dan agama. Darwin tersenyum getir. Anaknya sudah beranjak besar dan mulai mengerti situasi. "Mungkin uang kakek kurang kalau beli mainan dua. Kan kalau beli mainan uangnya harus banyak," kilahnya, tidak ingin sang anak merasa tidak disayangi oleh kakeknya. "Oh iya. Kasihan kakek. Uangnya habis. Ade mau turun, Papa. Ade mau ambil uang buat kakek. Ade punya uang di celengan." "Gak usah. Itu uang Ade. Nanti papa yang kasih kekek uang," Kata Darwin lagi sambil mengecup pipi anak yang masih ia gendong. Ia lalu mengusap punggung sang istri yang berdiri di sampingnya. "Maafin papa, ya, Sayang. Nanti aku bicara sama papa. Jangan nangis. Kamu mau jawab apa aku anak kita tanya," bisiknya di telinga wanita itu. Lisna tidak menyahuti. Ia memilih duduk di tepi ranjang sambil meredakan emosi tertahan. Rasa kesal dan juga sedih selalu muncul saat ayah mertua datang berkunjung. "Ade ...! Ade di mana? Ade ...!" "Papa, Ade mau ke Kakak." Aga ingin turun dari gendongan sang ayah saat mendengar suara kakaknya. "Ade di sini, Kak," sahut Darwin sambil membuka pintu kamar lalu menurunkan Aga dari gendongan. "Kakek mana?" tanyanya pada si anak sulung. "Udah pulang, Papa," jawab Damar kemudian mendekati sang adik. "Ini mainan untuk Ade," ujarnya sambil memberikan mainan yang tadi diberikan kakek. Aga menggeleng. "Itu mainan punya Kakak. Ade nanti mau beli sama papa." "Ini punya kita berdua, Ade. Kita main sama-sama, ya?" Aga diam sambil menatap mainan yang disodorkan padanya. Yang ia tahu mainan itu diberikan kakek untuk kakak. "Ini, mainannya buat Ade aja. Kakak udah bosen," ujar Damar lagi, bersikukuh memberikan mainan miliknya untuk sang adik. Aga kali ini menerimanya. "Ini buat Ade?" "Iya." Damar mengangguk. Aga tersenyum lebar. "Makasih, Kakak. Ayo kita main sama-sama," ajaknya sambil menuntun tangan sang kakak keluar dari kamar orang tua mereka. Lisna hanya bisa menghela napas panjang melihat tingkah kedua anaknya. Tentu ia senang karena mereka saling menyayangi. Damar pun selalu mengalah pada adiknya. Darwin menghampiri sang istri. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Papa memang kayak gitu," ujarnya kemudian mengecup puncak kepala wanita itu. "Aku keluar dulu sebentar." "Mas mau ke mana?" tanya Lisna yang sudah tidak seemosi sebelumnya. "Mau beli mainan. Aku kan udah bilang mau balikan mainan sama Aga," jawab Darwin. Lisna hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Menatap punggung suami yang melangkah menjauh. Dihelanya napas panjang untuk yang kesekian kali. Entah sampai kapan ayah mertua menjadi duri dalam rumah tangganya. *** Lisna tersenyum saat membuka pintu dan mendapati sebuah buket bunga. Meski tidak terlihat, ia tahu orang dibalik benda yang tampak indah itu pasti suaminya. "Bunga ini buat aku?" tanya Lisna. "Buat siapa lagi kalau bukan buat wanita tercantik di rumah ini," jawab Darwin sembari menyodorkan buket itu pada istrinya. "Makasih, Mas." "Sama-sama, Sayang," balas Darwin lalu mengecup kening sang istri. "Anak-anak di mana?" "Di kamar mereka." "Ya udah. Aku nyamperin anak-anak dulu. Mau kasih ini," ujar Darwin yang menjinjing sebuah kantung keresek berwarna putih. Berlalu tanpa menunggu jawaban sang istri. Lisna menyusul masuk setengah menutup pintu. Diletakkannya buket bunga di atas meja ruang tengah lalu kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Wanita itu tersenyum saat mendengar suara tawa suami dan kedua anaknya dari ruangan lain. "Butuh bantuan?" Lisna melonjak terkejut saat mendengar suara suaminya yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya. "Mas ... kebiasaan deh. Suka banget ngagetin istrinya." Darwin terkekeh lalu mengecup kepala sang istri. "Abis makan siang aku ke luar senbentar. Ada urusan kerjaan." "Ini kan hari libur, Mas." "Iya, Sayang. Tapi ada yang harus aku bereskan. Aku usahakan untuk pulang secepatnya kalau udah selesai." Lisna mengangguk. "Tapi Mas bilang sendiri sama anak-anak. Nanti mereka tantrum kalau Mas pergi gak bilang-bilang.'' ''Iya, Sayang nanti aku bilang sendiri sama mereka," angguk Darwin. "Tapi ... kok sepi, ya, Mas? Suara Aga sama Damar gak kedengaran loh." "Iya, ya. Padahal tadi waktu aku tinggal mereka lagi pada ketawa-ketawa," sahut Darwin kemudian berlalu untuk memeriksa keadaan anaknya. Ia khawatir. Lisna yang juga merasakan kekhawatiran yang sama, meninggalkan pekerjaannya dan menyusul suami. Sungguh, mendengar suara berisik kedua anaknya lebih menenangkan karana itu berarti mereka sedang asik bermain. Darwin segera membuka lebar pintu kamar. ''Aga! Damar!'' Dengan cemas gegas ia berlari mendekati saat melihat kedua anaknya sedang berbaring di atas karpet lantai. "Anak-anak kenapa, Mas?" tanya Lisna yang berada di belakang suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD