6- Tawaran Ayah Mertua

875 Words
Lisna menjatuhkan tubuh di kursi yang ada di kamar kedua putranya. Dihelanya napas panjang. "Jantungku rasanya hampir copot tadi, Mas." "Sama, Sayang. Aku juga rasanya mau pingsan. Bisa-bisanya mereka tidur pas lagi main," sahut Darwin seraya menoleh pada sang istri. Sesaat pasangan suami istri itu saling menatap kemudian tertawa bersama mengingat tingkah kedua anak mereka. Darwin dan Lisna begitu terkejut ketika kedua anak lelaki itu sedang berbaring dengan mainan berserakan di sekeliling. Pikiran burruk menyergap keduanya. Tetapi ternyata Damar dan Aga tertidur karena lelah bermain. Darwin pun memindahkan kedua anaknya ke tempat tidur. "Sayang. Aku kayaknya gak akan sempat pamit sama anak-anak. Tapi aku akan usahakan pulang sebelum anak-anak bangun," ujar Darwin ketika ia dan istrinya keluar dari kamar anak. "Kalau mereka bangun sebelum Mas pulang, tantrum pasti mereka karena papanya gak pamit." "Kamu telpon aku aja. Biar aku bicara sama mereka." Lisna mengangguk. "Ya udah deh. Tapi Mas makan siang di rumah dulu kan?" "Iya. Aku berangkat abis makan siang. Kamu juga kan udah masak," sahut Darwin. Lisna tersenyum. "Ya udah. Mas mandi dulu deh biar aku siapin makan siangnya." *** "Cepat pulang biar anak-anak bangun Mas udah di sini," ujar Lisna saat mengantar suaminya yang hendak berangkat. "Iya, Sayang. Aku usahakan," angguk Darwin kemudian mengecup puncak kepala sang istri. "Aku pergi dulu. Titip anak-anak." "Iya. Mas hati-hati." Lisna berdiri di depan pagar rumah hingga kendaraan roda empat yang dikemudikan oleh sang suami hilang dari pandangan. Saat hendak melangkah masuk, Lisna melihat mobil lain yang mendekat ke arah rumahnya. Ia pun urung dan memilih berdiri menunggu. "Mas Darwin baru aja pergi, Pa," ujar wanita itu saat ayah mertua turun dari mobil yang baru saja berhenti di depannya. "Saya datang ke sini untuk bicara sama kamu," sahut Iswara sembari menatap menantunya. Lisna mengangguk. "Silakan." Dengan sopan ia mempersilakan pria paruh baya itu masuk lebih dahulu. Iswara melangkah melewati menantu dan duduk di kursi yang ada di teras rumah. Diikuti oleh Lisna yang menyusul dan mendaratkan diri di hadapannya. "Papa mau dibuatkan minum?" tanya Lisna. "Tidak perlu. Langsung saja. Saya ingin menawarkan sebuah kesempatan," ujar Iswara, menatap serius ke arah menantu. "Kesepakatan?" "Iya." "Kesepakatan seperti apa?" tanya Lisna ingin tahu. "Tinggalkan anak saya dan kamu bisa mendapatkan apa Yang kamu inginkan. Berapa pun!" tegas Iswara. Lisna yang sudah bisa menduga bahwa yang akan dibicarakan pria itu masih seputar masalah yang sama, tersenyum. "Kenapa? Bukannya kemarin Papa ngasih saya tawaran untuk jadi istri pertama?" tanyanya terlihat tenang. "Bukannya kamu tidak bersedia?" "Papa tau saya tidak akan bersedia makanya Papa mendesak Mas Darwin agar meminta saya menjadi istri pertama hingga kami bertengkar dan akhirnya berpisah? Begitu yang Papa ingin?" Untuk beberapa detik, Iswara terkejut karena ternyata sang menantu seperti sudah bisa membaca rencananya. Tetapi bagaimana bisa? "Saya bisa menerima anakmu sebagai cucu saya dan tidak masalah jika kamu tak mau meninggal anak saya. Asal kamu mau jadi istri pertama secara diam-diam. Jangan sampai Fani tahu bahwa kalian masih menikah,'' balas Iswara. Lisna terkekeh. "Permintaan Papa makin ke sini makin gak masuk akal, ya? Kenapa? Apa Papa baru tahu kalau Fani gak mau dimadu? Papa pikir wanita yang besar di luar negeri seperti dia bakal mau dimadu? Ternyata enggak, ya?!" sindirnya dengan sarkas. "Saya bukan datang untuk mendengarkan ocehan kamu. Tinggal kamu terima tawaran saya dan kamu bisa pergi tanpa harus memikirkan biaya hidup. Kamu bisa minta sebanyak apa pun. Bahkan saya bisa memberikan kamu materi untuk kamu hidup selama puluhan tahun ke depan dengan anakmu." Iswara kesal karena menantu yang ia kira mudah ditaklukkan itu ternyata tidak selemah yang ia pikir. Bahkan saat ini wanita itu tampak seorang orang yang berbeda, lebih tegas. Bahkan berani menyindirnya. "Maaf, Pa. Saya gak bisa ninggalin Mas Darwin. Saya gak tertarik dengan materi yang Papa tawarkan. Dan ... Papa kan tau, jadi istri pertama secara terang-terangan aja saya tidak bersedia, Pa. Kenapa Papa bisa berpikir saya akan menerima tawaran Papa untuk jadi istri pertama rasa simpanan?" Lisna menatap sang mertua dengan tajam. Ah, ini kali pertama ia bicara sekasar itu pada mertua yang sebenarnya ia anggap seperti ayah sendiri. Tetapi mau bagaimana lagi? Pria itu tidak bersedia menganggapnya sebagai anak. Sementara itu, "IBU!" jerit Aga sambik bangkit. Ia pun menangis. Damar yang masih tidur akhirnya terbangun karena mendengar sang adik menangis. "Ade kenapa?" tanyanya sambil bangkit dan duduk di samping adiknya. Aga memeluk sang kakak. "Ade takut, Kakak. Ade mimpi' buruk," adunya sambil menangis sesenggukan. "Ade jangan takut. Kakak di sini sama Ade. Kakak gak akan ninggalin Ade. Kakak janji," ujar Damar sambil balas memeluk sang adik penuh kasih sayang. Aga pun menjadi lebih tenang, tak lagi menangis. "Ayo, tidur lagi. Kakak masih ngantuk," ajak Damar sambil berbaring kembali dab menarik tangan sang adik. Aga menurut. Berbaring bersama. Ditatapnya wajah kakak dengan tatapan polosnya. "Jangan nangis lagi, Ade. Jangan takut. Ada kakak di sini," ujar Damar sambil mengusap pipi sang adik. Aga mengangguk. Membalas pelukan sang kakak yang lebih dulu memeluknya erat. Di depan rumah, Lisna berdiri sambil menatap punggung ayah mertua yang pergi tanpa kata setelah ia menolak tawaran konyolnya. Menghela napas lelah lalu masuk ke dalam rumah. Sedangkan Iswara, sudah duduk di kursi belakang mobil mewah yang ia tumpangi. Wajahnya tampak merah menahan amarah. "Kamu pikir kamu sudah menang? Lihat saja. Aku masih punya cara lain," gumamnya dengan tangan terkepal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD