7- Kegelisahan Lisna

810 Words
"Anak-anak belum bangun kan?" tanya Darwin setelah mengecup kening sang istri. Lisna menggeleng. Sang pria mengernyit ketika melihat raut wajah sang istri yang tidak secerah biasanya. "Apa ada yang terjadi selama aku pergi?" Lisna mengangguk kemudian duduk di kursi yang ada di ruang tamu. "Papa datang lagi setelah Mas berangkat." "Papa? Mau apa?" Darwin ikut duduk di samping istri. "Papa ...." Lisna menceritakan semua yang terjadi. Tak ia kurangi, tak juga dilebihkan. "Astaghfirullah ... papa ...." Darwin memijat kepala setelah mendengar cerita istri. "Aku gak habis pikir. Sebenarnya apa sih yang ada di kepala papa?" Ia geram. Beruntung istrinya adalah Lisna. Mungkin jika orang lain, sudah tergiur dengan tawaran sang ayah. Dihelanya napas panjang. "Besok pulang kerja aku ke rumah papa untuk bicara. Aku udah kesel banget sama sikap papa. Coba kalau mama sehat, udah pasti aku laporin." "Oh iya, gimana sekarang keadaan mama, Mas?" tanya Lisna, mengingat setelah urusan pekerjaan selesai, sang suami menjenguk ibu mertua terlebih dahulu sebelum pulang. "Begitu lah, Sayang. Masih sama aja. Belum ada perkembangan," lirih Darwin. sudah beberapa minggu ibunya yang mengalami kecelakaan, tidak sadarkan diri dan dinyatakan koma. "Papa." Aga menghampiri sambil menguap. "Eh, anak papa baru bangun. Kakak mana, Sayang?" Darwin mengangkat tubuh putra kedua dan mendudukkannya di pangkuan. Dirapikannya rambut sang anak yang berantakan. "Kakak masih tidur," sahut Aga sambil menyandarkan diri dalam dekapan sang ayah. "Loh? Ini gimana ceritanya malah tidur lagi," komentar Darwin sambil terkekeh saat Aga kembali tertidur. "Ini sih namanya pindah tempat tidur." "Anak-anak belum makan siang loh, Mas. Bangunin Aga. Jangan tidur lagi. Biar Damar aku yang bangunin," ujar Lisna sambil bangkit berdiri kemudian beranjak meninggalkan suami dan putranya. *** "Jangan cemberut. Kamu tadi dengar sendiri kan, aku harus berangkat lebih awal," kata Darwin sembari membelai kepala sang istri yang tertutup kerudung. Lisna menghela napas panjang. "Aku gak tau kenapa, tapi perasaan aku gak enak terus," lirihnya. "Mungkin karena papa yang ujug-ujug datang kemarin. Kamu tenang aja. Nanti aku bicara sama papa. Aku juga udah mulai geram," ujar Darwin, mencoba menenangkan sang istri. "Mungkin," sahut Lisna, singkat. "Jangan terlalu dipikirkan. Bukan cuma sekali kan papa bersikap kayak gitu. Tapi kita mampu melewati semuanya." Pria itu meraih tangan sang istri dan mengecupnya. "Aku tau, Mas. Tapi gak tau kenapa sekarang itu perasaan aku gelisah aja. Kayak ... kayak ada yang bakal terjadi gitu. Aduh ... aku bingung jelasinnya," balas Lisna lagi, wajahnya menampakkan kecemasan yang jelas. "Udah, ya, udah. Lihat aku!" Darwin membingkai wajah sang istri dan menatapnya lekat hingga wanita itu tampak lebih tenang. "Kamu jangan over thinking kayak gini terus, Sayang. Gak akan ada apa-apa. Itu cuma pikiran burruk kamu. Semua akan baik-baik aja. Percaya sama aku, ya?" Lisna diam sembari menatap wajah sang suami. Beberapa saat kemudian ia mengangguk. Mungkin benar, semua hanya pikiran buruknya saja karena khawatir setelah kedatangan ayah mertua kemarin. Darwin menarik sang istri dalam pelukan. "Aku akan melakukan apa pun yang terbaik untuk keluarga kita. Kamu berdoa saja. Jangan mikir macam-macam," ujarnya sambil mengusap punggung sang istri dan mengecup kepala belakangnya. Lisna membalas pelukan pria itu dengan erat. Rasanya ingin terus seperti itu. Entah kenapa selalu ada perasaan bahwa esok lusa, ia tak lagi bisa memeluk suami seperti sekarang. Darwin mengurai pelukan. Ditatapnya wajah istri yang masih tampak muram. "Udah, jangan cemberut aja. Cantiknya nanti berkurang," godanya sambil mencubit pelan pipi wanita itu. "Apa Mas gak bisa cencel kerjaan hari ini? Temenin aku," rengek Lisna, yang perasaannya belum sepenuhnya tenang. Ia takut terjadi apa-apa, entah pada siapa. "Aku udah pernah cerita kan? Aku ada proyek kerja sama dengan perusahaan besar. Pak Wildan selaku pimpinan, minta meeting dimajukan karena Beliau ada urusan lain. Setelah meeting, kalau gak ada kerjaan yang urgen, aku langsung pulang," ujar Darwin sembari mengusap bahu sang istri. Lisna membuang napas panjang. Ia tahu seberapa penting kerja sama itu untuk perusahaan milik sang suami. "Ya udah. Tapi Mas cepat pulang kalau udah selesai." "Iya, Sayang," angguk Darwin kemudian mengecup puncak kepala wanitanya. "Kamu kalau tantrum bujuknya lebih susah daripada anak-anak." Ia terkekeh. Lisna tersenyum sembari memukul pelan lengan sang suami. "Nah gitu, dong. Senyum. Masa suami mau berangkat kerja, istrinya malah cemberut.. Nanti yang ada aku malah gak fokus kerja dan bikin gak bisa pulang cepat," komentar Darwin. Untuk kesekian kalinya, Lisna menghela napas panjang tanpa mengatakan apa-apa. "Ini aku udah boleh berangkat kan?" tanya Darwin. Lisna mengangguk kemudian memeluk suami tanpa ada kata terucap. Dipeluknya erat seakan itu adalah pelukan mereka yang terakhir. Darwin mengusap punggung wanita itu, Dikecupnya beberapa kali kepala sang istri. "Ini kalau kamu peluk terus, aku gak jadi terus berangkatnya." Dengan terpaksa Lisna melepas pelukan. "Cepat pulang." "Iya, Sayang. Aku usahakan pulang secepatnya," angguk Darwin kemudian mengecup singkat bibir sang istri. "Udah boleh berangkat kan?" Lisna mengangguk. "Gak pakai peluk lagi kan?" goda pria itu sambil terkekeh. Lisna ikut terkekeh sambil menepuk lengan suami. "Ya udah sana berangkat. Nanti aku keburu berubah pikiran."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD