8- Damar Dibawa Paksa

807 Words
Setelah kendaraan roda empat yang dikemudikan suami menghilang dari pandangan, Lisna berbalik. Tetapi niatnya yang kembali masuk pun urung saat di kejauhan ia melihat mobil yang melaju mendekat. Awalnya ia mengira suaminya kembali, mungkin karena ada barang yang tertinggal atau alasan lain. Tetapi semakin dekat ia tahu itu bukan mobil suaminya. "Kali ini apa tujuan papa," gumamnya saat mengenali mobil itu ternyata milik ayah mertua. Tak lama kemudian, Iswara turun dari mobil dan menghampiri menantunya. "Di mana cucuku?" "Damar di kamar. Dia masih tidur," jawab Lisna, tahu bahwa pria itu bertanya tentang Damar. Tanpa berkata lagi, Iswara menyerobot masuk, melewati menantu begitu saja. Lisna memejamkan mata sambil membuang napas kasar. Mencoba bersabar entah untuk yang keberapa kali. Segera ia menyusul ayah mertua yang entah apa tujuannya kali ini datang di kala suaminya tidak di rumah. "Papa mau ke mana?" tanya Lisna saat melihat ayah mertua membuka pintu kamar anak-anaknya. Tentu saja ia tidak mendapatkan jawaban. Segera ia percepat langkah hingga di depan pintu berpapasan dengan pria paruh baya itu. "Papa mau bawa Damar ke mana?" "Aku mau bawa cucuku pulang," jawab Iswara sembari melangkah melewati menantu. "Pa, jangan, Pa." Lisna menyusul. "Dia cucuku. Kamu gak bisa melarang aku membawanya." "Pa, tolong jangan bawa Damar kayak gini. Nanti dia nangis. Setidaknya kasih aku waktu buat bujuk supaya Damar mau ikut dengan sendirinya," mohon Lisna, terus mengekori ayah mertua hingga depan rumah. Iswara berhenti lalu menatap menantunya. "Bujuk? Selama ini juga gak berhasil kamu bujuk Damar untuk ikut aku. Atau jangan-jangan kamu emang gak pernah bujuk Damar," tudingnya. "Aku cuma gak mau Papa kerepotan mengurus Damar yang masih kecil. Lagi pula, almarhum Dita juga udah nitipin Damar sama aku," sahut Dania. Iswara menatap sinis. "Aku yakin kamu justru mencuci otak Damar agar dia tetap ingin tinggal sama kamu." "Aku gak mencuci otak Damar, Pa. Aku cuma memberikan kasih sayang yang selayaknya Damar dapat." "Kamu pikir aku gak bisa berikan kasih sayang buat cucuku?" Pria paruh baya itu menatap menantunya dengan kesal. "Bukan gitu maksud aku, Pa." "Terserah kamu mau bilang apa. Aku tetap akan bawa Damar pulang!" tegas Iswara. "Tapi, Pa. Kalau cara papa kayak gini, yang ada Damar tantrum nanti di rumah papa. Papa sendiri yang pusing nanti." "Ibu." Suara Damar yang serak khas bangun tidur, terdengar di saat kedua orang dewasa itu sedang berdebat. "Iya, Sayang," sahut Lisna sambil menatap anaknya. "Kakak mau sama Ibu." Damar merentangkan tangan ke arah ibunya. Lisna menyambut. Namun Iswara segera berjalan hingga menjauhkan cucu dari menantu. "Damar ikut kakek!" Ia terus melangkah menjauh. "Gak mau! Kakak mau sama Ibu!" Damar berusaha melepaskan diri hingga membuat langkah sang kakek tidak stabil. "Pa, tolong, Pa. Jangan bawa Damar," mohon Lisna sambil terus mengekori ayah mertua. Tetapi tentu saja tidak didengar. "IBU ...! KAKAK MAU SAMA IBU!" jerit Damar sambil mengulurkan tangan pada sang ibu. "Papa, tolong, Pa. Aku mohon, jangan bawa Damar." Lisna menghadang langkah sang mertua. "Ibu ...." Damar mulai menangis. "Minggir! Sudah Aku bilang. Suatu hari aku akan bawa Damar pulang dan ini saatnya." "Pa, tapi caranya gak kayak gini, Pa. Tolong jangan paksa Damar untuk ikut, Pa. Biarkan dia ikut karena keinginannya sendiri. Beri aku waktu untuk bicara dan bujuk Damar," mohon Lisna dengan wajah memelas. Ia tidak ingin apa yang dilakukan ayah mertua menyisakan trauma yang mungkin dirasakan anaknya. Namun bukannya tergerak, Iswara justru bergerak ke samping dan melewati menantunya. "IBU ... tolong kakak. Kakak mau sama Ibu!" Damar menjerit dan mulai histerisnya. Mencoba memberontak, meronta-ronta. Tetapi sang kakek yang menggendongnya di pundak, begitu kuat mencekal kakinya. "Papa ... tolong jangan paksa Damar." Lisna lagi-lagi memohon. "IBU ... tolong kakak. Kakak gak mau ikut kakek," pinta anak itu sembari menangis. Iswara tidak peduli. Ia membuka pintu mobil dan memasukkannya cucunya ke dalam. "Damar diam di sini. Ikut kakek pulang," ujarnya sambil duduk di kursi belakang lalu menutup pintu. "GAK MAU! KAKAK MAU TURUN. KAKAK MAU SAMA IBU AJA." Damar mencoba untuk keluar. "Kunci pintunya!" perintah Iswara pada sopir. Tidak ingin usaha sia-sia. Lisna mengetuk kaca pintu di samping ayah mertua. "Pa, tolong, Pa. Aku janji akan bujuk Damar agar mau tinggal sama papa, tapi jangan kayak gini caranya, Pa." Sekuat apa pun ia membujuk dan memohon, pria keras kepala itu tidak peduli. "Jalan!'' perintahnya dengan tegas. Mobil pun melaju. "IBU ...!" Damar menjerit, sambil menangis ia melihat ibunya berdiri melalui kaca belakang. Iswara acuh tak acuh. Membiarkan sang cucu terus menangis. Lisna berdiri pasrah dengan air mata mengucur membasahi pipi. Mengejar kendaraan yang melaju cepat, jelas tidak mungkin ia lakukan. Hal itu juga tidak akan membuat ayah mertua berubah pikiran. Ia pun tidak mungkin meninggalkan Aga sendiri di rumah. "Mas Darwin. Aku harus kasih tau Mas Darwin. Semoga aja Mas Darwin bisa bujuk papa biar mau kembaliin Damar," gumam Lisna sambil mengusap pipinya yang basah. Gegas lari ke dalam rumah. Ia harus segera memberitahu semua yang terjadi pada suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD