9- Talak

802 Words
Setelah mendapat kabar dari Lisna, Darwin segera meninggalkan kantor. Ia bahkan menunda rapat penting yang seharusnya dilaksanakan beberapa menit lagi. Dengan cepat mengendarai mobil menuju rumah sang ayah. Beruntung jalanan tidak terlalu padat karena sudah memasuki jam kerja. Sementara itu, Iswara menggendong cucunya yang masih menangis, masuk ke dalam rumah dan membawanya ke kamar Damar saat masih tinggal di sana. "Damar diam di sini. Jangan nangis lagi," ujar Iswara sambil mengusap pipi cucunya yang sudah basah dengan air mata. "Kakak mau ke ibu, Kek. Kakak gak mau tinggal di sini," sahut Damar sambil terus menangis. "Damar tinggal di sini aja sama kakek, Sayang," bujuk Iswara. "Gak mau. Kakak gak mau di sini. Kakak udah janji sama Ade, kakak mau jagain Ade." Anak berusia lima tahun itu menolak. "Udah, jangan nangis lagi. Kalau Damar gak mau nurut sama kakek, kakek akan buang Ade ke laut biar dimakan sama ikan hiu, Mau?" ancam pria itu dengan lembut tanpa membentak sama sekali. Damar yang masih menangis sesenggukan, menggeleng. Seketika berhenti meski masih terdengar isakan. "Bagus. Damar sayang sama Ade kan?" "Sayang." "Kalau sayang, Damar harus nurut sama kakek. Kalau enggak, Adenya kakek buang ke laut. Damar gak mau kan Ade dimakan sama ikan hiu?" "Gak mau. Jangan buang Ade, Kek." "Kalau gitu, Damar harus nurut sama kakek." Damar mengangguk. "Iya. Kakak mau nurut sama Kakek. Tapi Kakek jangan buang Ade." "Iya. Kalau Damar nurut, kakek gak akan buang Ade." "Iya, Kakak nurut." "Bagus. Sekarang masuk kamar. Nanti bibi siapin makanan untuk Damar," titah Iswara. Damar mengangguk kemudian masuk ke dalam kamar tanpa perlawanan. Ia tidak ingin adiknya celaka jika ia tidak menurut pada sang kakek. "Papa!" Iswara segera menutup pintu dan mengunci dari luar saat mendengar suara anaknya memanggil. "Datang ke rumah orang tua, teriak-teriak. Udah lupa sopan santun?" sindirnya sambil menjauhi pintu kamar cucu. "Di mana Damar?" tanya Darwin, abai dengan sindiran ayahnya. "Kamu gak usah khwatir. Dia baik-baik aja. Papa sayang sama dia. Gak mungkin mencelakai dia," sahut Iswara. Darwin yang tidak puas dengan jawaban sang ayah, pergi ke kamar anaknya dan membuka pintu. Tetapi terkunci. "Kakak, Sayang! Kakak di dalam?" Ia mengetuk pintu. "Papa! Tolong kakak, Papa!" Suara Damar terdengar diiringi pukulan tangan kecil anak itu di pintu. Darwin mengerti. Pintu itu dikunci dari luar. "Kakak tunggu papa di situ, ya, Sayang." Ia kembali menghampiri sang ayah yang sedang duduk santai di kursi ruang tengah. "Mana kunci kamar Damar, Pa?" Iswara menatap putra satu-satunya tersebut. "Duduk dulu. Papa punya penawaran kecil buat kamu," titahnya dengan santai, seperti tidak ada yang terjadi. Darwin mendengkus kesal. Tetapi tak urung jua ia duduk berhadapan dengan ayahnya. *** Lisna gegas berlari ke depan rumah saat mendengar suara deru mesin kendaraan. Berdiri di depan pintu saat melihat suami keluar dari mobil. "Damar mana, Mas? Kenapa gak diajak pulang?" tanyanya dengan Khawatir. Raut wajah suaminya tampak terluka dengan langkah gontai saat menghampirinya. Darwin menatap sendu istri yang lima tahun terakhir telah menemaninya dalam suka dan duka. Tanpa kata, dipeluknya dengan erat wanita itu, menghujani kepalanya dengan kecupan. Jelas Lisna bingung dengan sikap suami. Pikiran buruk pun menghampiri. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan putra sulungnya. "Mas? Ada apa? Mana Damar? Kenapa gak pulang sama Mas?" tanya Lisna lagi sambil mendorong tubuh sang suami. Tetapi pria itu tidak melepasnya, seakan enggan. "Dia ada di rumah papa," jawab Darwin, semakin memeluk erat sang istri. Lisna semakin bingung dengan tingkah aneh suaminya. Tetapi ia akhirnya membalas pelukan suami. Setelah beberapa saat, Darwin mengurai pelukan. Ditatapnya lekat wajah sang istri yang terlihat merah dengan mata sedikit sembab. Ia yakin wanita itu sudah banyak menangis karena ulah sang ayah. Pria itu membingkai wajah sang istri lalu mendaratkan kecupan di keningnya, cukup lama. "Mas ini kenapa sih?" tanya Lisna, menatap penuh tanya. "Kamu tau, aku sayang sama kamu dan anak-anak." "Aku tau itu, Mas." "Apa pun yang aku lakukan, itu yang terbaik yang bisa aku lakukan." "Ada apa, Mas? Damar baik-baik aja kan?" Darwin menghela napas panjang. "Papa mengurung Damar di kamar. Aku gak diizinkan buat ketemu dia, kecuali ...." "Kecuali apa, Mas?" "Kecuali aku mengikuti keinginan papa dan kamu pasti tahu apa maunya papa." Ia meraih tangan sang istri lalu mengecup punggung dan telapaknya beberapa kali. Lisna diam. Ia sudah bisa menduga apa keinginan ayah mertua. Meski tahu pria itu tidak akan menyakiti Damar secara fisik, tetapi ia yakin putranya kini sedang tertekan. Darwin mundur menjauhi sang istri saat ponselnya berdering. Jempol tangannya bergerak menggeser tombol hijau pada layar ponsel. "Lisna Adriana, aku talak kamu. Mulai hari ini kamu bukan lagi istriku." Suara Darwin bergetar saat mengatakan kalimat sakral itu. Netra yang telah digenangi cairan bening itu menatap sang istri penuh sesal. Sesal karena keadaan membuatnya harus mengambil jalan terakhir. Bagai mendengar petir di siang bolong, Lisna diam membeku. Ia sedang khawatir dan memikirkan putra sulungnya.Tetapi ternyata kenyataan pahit justru sedang menantinya di depan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD